Kamis, 18 April 2013

Memaknai Tawakal

Memaknai Tawakal | Bila disebutkan kata tawakal atau mendengar 'aku tawakal' kira-kira gambaran apa-sebelum mememikirkannya lebih dalam- yang muncul dalam pikiran Kita? Tawakal tidak sama dengan penyerahan hasil urusan tanpa berbuat atau berusaha. Sebuah kekeliruan bila orang yang bertawakal disamakan dengan orang yang berbuat tanpa perhitungan atau memperhatikan masalah sebab-akibat. Tidak dikatakan tawakal seseorang yang meyerahkan nasib untanya kepada Allah tanpa terlebih dahulu berusaha mengikatnya. Demikianlah Nabi SAW pernah mengajari umatnya.


Kata tawakal diambil dari fi’ilwakkala’ yaitu mewakilkan urusan kepada seseorang. Seperti orang mewakilkan dagangannya kepada orang lain untuk dijual belikan. Sederhananya, tawakal ’alallah berarti menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT  terhadap sebuah aktifitas yang dilakukan oleh mutawakkil.

Imam Ghazali menulis, bahwa tawakkal termasuk bagian dari keimanan dan menyangkut masalah ketauhidan. Hal Ini dapat dimengerti karena seluruh kejadian dan fenomena yang ada di alam sepenuhnya tunduk pada kekuasaan Allah. Kenyang setelah makan, pintar bila belajar, merupakan hukum kausalitas (sebab-akibat) yang diciptakan Allah. Kenyang memang disebabkan oleh nasi yang dimakan, namun penyebab nasi dapat mengenyangkan merupakan akibat yang diberikan Allah kepada nasi. Jadi semuanya tetap bermuara kepada Allah. Dengan tawakal, seorang mutawakil menyandarkan kekenyangannya disebabkan rahmat Allah bukan kepada nasi yang dimakannya.

Lantas, dimana letak peranan penting tawakal dalam kehidupan keseharian manusia (muslim)? kita sering mendengar “manusia berusaha, Allah juga yang menentukan. Dengan memiliki sifat tawakal, seseorang menyadari bahwa hasil usaha yang dilakukannya tidak serta merta berdiri-sendiri akibat usahanya semata, namun di sana terdapat 'faktor luar' yang Maha bijak ikut andil menentukan hasil tersebut. Berbekal ketawakalan, seseorang menyadari bahwa dirinya bukanlah pusat penentu dari hasil kerjanya, ia perlu bantuan Allah yang menyebabkan  ingatannya (dzikir) kepada Allah terus berlangsung dan tetap terjaga.

Dalam aktifitas keseharian, tawakal memiliki 2 peranan penting yang saling terkait, yaitu peranan awal dan peranan akhir. Tawakal dalam peranan awal berfungsi sebagai doa. Sementara dalam pandangan akhir berfungsi sebagai kekuatan penjaga agar tetap memiliki semangat usaha maksimal dalam meniti proses sebab-akibat. Contohnya ketika seorang memulai usahanya dengan ketawakalan, dalam peranan awal ia berharap (doa) bahwa Allah akan membantu setiap proses usaha yang dilakukannya. Dalam peranan kedua, ia menyadari, apapun hasil usaha yang diterimanya gagal atau sukses merupakan sunatullah yang tidak akan membuatnya putus-asa. Barangkali dengan mengalami kegagalan sebenarnya ia menuju kepada kesuksesan yang lebih besar lagi. Jadi tawakal memberikannya sebentuk optimisme yang kuat bahwa Allah memiliki rencana di balik kegagalannya yang pertama.

Bagaimana pun, setiap aktifitas atau usaha yang akan dijalani  meniscayakan dua hasil akibat yang didapati, bisa gagal ataupun sukses. Betapa pun maksimalnya seseorang berusaha, tetap saja menyisakan dua akibat tadi. Orang yang berusaha mati-matian dalam berdagang misalnya dapat saja bangkrut, bisa disebabkan tidak tepatnya dalam mekanisme menjalani ‘sebab’ ataupun dikarenakan faktor lain yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, misalnya bencana alam yang menimpa dagangnya. Dalam keadaan seperti ini, sulit rasanya kita mengatakan bahwa usaha maksimal pasti berhasil. Nah disinilah peranan tawakal bermain.

Namun, kita perlu dan harus mewanti-wanti agar tawakal tidak disalah-artikan sebagai bentuk sikap ‘kepasrahan dan kemalasan’ dalam menjalani proses sebab-akibat, karena hukum kausalitas adalah fakta, dan Allah telah menetapkannya bagi manusia. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sehingga kaum tersebut merubah apa yang ada pada dirinya’’ begitulah Allah menegaskan manusia agar berusaha  sekuat daya-upaya meniti jalan sebab-akibat yang diciptakanNya. Jika Allah mau, mudah saja menjadikan seluruh manusia kaya-raya, sehat dan bersatu-padu tanpa perpecahan. Tapi Allah tidak menginginkan demikian. Ia memberikan kesempatan  manusia untuk berbuat dan berusaha serta menguji kesungguhan hambanya menjalani kehidupan yang baik dengan mekanisme yang telah ditentukanNya.

Orang yang mengira dirinya bertawakal dengan cara meninggalkan proses sebab-akibat- dalam bahasanya al Ghazali- bukan saja bodoh tapi juga gila.  Mungkin karena inilah kata tawakal kurang diminati orang, terlebih di zaman teknologi dan sains di mana manusia bertumpu pada eksperimen dan hukum kausalitas. Kekeliruan makna tawakal ini bila tidak diantisipasi, dapat menyeret kaum muslim ke jurang kemalasan, pasrah dan bahkan kehancuran.  Wallahu a’lam bisshowab. (Aidil Susandi, Lc.)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About