Kata tawakal
diambil dari fi’il ‘wakkala’ yaitu mewakilkan urusan kepada
seseorang. Seperti orang mewakilkan dagangannya kepada orang lain untuk dijual
belikan. Sederhananya, tawakal ’alallah berarti menyandarkan diri
sepenuhnya kepada Allah SWT terhadap
sebuah aktifitas yang dilakukan oleh mutawakkil.
Imam Ghazali
menulis, bahwa tawakkal termasuk bagian dari keimanan dan menyangkut masalah
ketauhidan. Hal Ini dapat dimengerti karena seluruh kejadian dan fenomena yang
ada di alam sepenuhnya tunduk pada kekuasaan Allah. Kenyang setelah makan,
pintar bila belajar, merupakan hukum kausalitas (sebab-akibat) yang diciptakan
Allah. Kenyang memang disebabkan oleh nasi yang dimakan, namun penyebab nasi
dapat mengenyangkan merupakan akibat yang diberikan Allah kepada nasi. Jadi
semuanya tetap bermuara kepada Allah. Dengan tawakal, seorang mutawakil
menyandarkan kekenyangannya disebabkan rahmat Allah bukan kepada nasi yang dimakannya.
Lantas, dimana
letak peranan penting tawakal dalam kehidupan keseharian manusia (muslim)? kita
sering mendengar “manusia berusaha, Allah juga yang menentukan. Dengan memiliki
sifat tawakal, seseorang menyadari bahwa hasil usaha yang dilakukannya tidak
serta merta berdiri-sendiri akibat usahanya semata, namun di sana terdapat
'faktor luar' yang Maha bijak ikut andil menentukan hasil tersebut. Berbekal
ketawakalan, seseorang menyadari bahwa dirinya bukanlah pusat penentu dari
hasil kerjanya, ia perlu bantuan Allah yang menyebabkan ingatannya (dzikir) kepada Allah terus
berlangsung dan tetap terjaga.
Dalam aktifitas
keseharian, tawakal memiliki 2 peranan penting yang saling terkait, yaitu
peranan awal dan peranan akhir. Tawakal dalam peranan awal berfungsi sebagai
doa. Sementara dalam pandangan akhir berfungsi sebagai kekuatan penjaga agar
tetap memiliki semangat usaha maksimal dalam meniti proses sebab-akibat.
Contohnya ketika seorang memulai usahanya dengan ketawakalan, dalam peranan awal
ia berharap (doa) bahwa Allah akan membantu setiap proses usaha yang
dilakukannya. Dalam peranan kedua, ia menyadari, apapun hasil usaha yang
diterimanya gagal atau sukses merupakan sunatullah yang tidak akan
membuatnya putus-asa. Barangkali dengan mengalami kegagalan sebenarnya ia
menuju kepada kesuksesan yang lebih besar lagi. Jadi tawakal memberikannya
sebentuk optimisme yang kuat bahwa Allah memiliki rencana di balik kegagalannya
yang pertama.
Bagaimana pun,
setiap aktifitas atau usaha yang akan dijalani
meniscayakan dua hasil akibat yang didapati, bisa gagal ataupun sukses.
Betapa pun maksimalnya seseorang berusaha, tetap saja menyisakan dua akibat
tadi. Orang yang berusaha mati-matian dalam berdagang misalnya dapat saja
bangkrut, bisa disebabkan tidak tepatnya dalam mekanisme menjalani ‘sebab’
ataupun dikarenakan faktor lain yang tidak dapat diprediksi sebelumnya,
misalnya bencana alam yang menimpa dagangnya. Dalam keadaan seperti ini, sulit
rasanya kita mengatakan bahwa usaha maksimal pasti berhasil. Nah disinilah
peranan tawakal bermain.
Namun, kita perlu
dan harus mewanti-wanti agar tawakal tidak disalah-artikan sebagai bentuk sikap
‘kepasrahan dan kemalasan’ dalam menjalani proses sebab-akibat, karena hukum
kausalitas adalah fakta, dan Allah telah menetapkannya bagi manusia. “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sehingga kaum tersebut merubah apa yang
ada pada dirinya’’ begitulah Allah menegaskan manusia agar berusaha sekuat daya-upaya meniti jalan sebab-akibat
yang diciptakanNya. Jika Allah mau, mudah saja menjadikan seluruh manusia
kaya-raya, sehat dan bersatu-padu tanpa perpecahan. Tapi Allah tidak
menginginkan demikian. Ia memberikan kesempatan
manusia untuk berbuat dan berusaha serta menguji kesungguhan hambanya
menjalani kehidupan yang baik dengan mekanisme yang telah ditentukanNya.
Orang yang
mengira dirinya bertawakal dengan cara meninggalkan proses sebab-akibat- dalam
bahasanya al Ghazali- bukan saja bodoh tapi juga gila. Mungkin karena inilah kata tawakal kurang diminati
orang, terlebih di zaman teknologi dan sains di mana manusia bertumpu pada
eksperimen dan hukum kausalitas. Kekeliruan makna tawakal ini bila tidak
diantisipasi, dapat menyeret kaum muslim ke jurang kemalasan, pasrah dan bahkan
kehancuran. Wallahu a’lam bisshowab. (Aidil Susandi, Lc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar