Oleh: Aidil Susandi, Lc.
Adilkah Hukum Waris Islam? | Diantara tuduhan yang dialamatkan pada islam adalah ketidak berpihakkan islam terhadap wanita. Bagian perempuan satu banding dua dalam pewarisan dipakai sebagai bukti dan pijakkan untuk menyangga pandangan tersebut. Bahkan anggapan ini tersebar dan diterima oleh sebagian kalangan muslim begitu saja. Tak heran, percobaan mengotak-atik pembagian warisan dilakukan dengan terang-terangan seolah-olah membenarkan anggapan bahwa islam tidak memandang perempuan, embari menyatakan hukum waris tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Yang benar adalah kesamaan pembagian seperti yang diinginkan oleh penganut persamaan gender, bahasa kerennya 'gender equality'. Benarkan tuduhan itu?
Sebelum terlalu
jauh hendaknya diketahui, hukum waris yang diterapkan dalam islam
merupakan pembatalan terhadap tradisi perwarisan harta dalam budaya jahiliah
yang murni hanya untuk laki-laki. Dalam budaya pra-islam, wanita dan anak kecil
tidak termasuk orang yang mendapatkan warisan, malahan wanita yang menjadi
barang warisan saat itu. Turunnya hukum waris memperlihatkan keberpihakkan islam
terhadap perempuan dan kaum lemah sekaligus memberikan status penghargaan bagi
mereka dalam keluarga dan kerabat yang merupakan cerminan kecil dari masyarakat
luas.
Sekarang,
tuntutan-tuntutan persamaan makin merebak. Disatu sisi, hal ini baik bahkan
sejalan dengan prinsip keadilan islam, namun tak sedikit pula sikap keterlaluan
dan kebablasan menghinggapi para aktifis itu sehingga mengabaikan teks-teks
keagaamana yang sudah final (qoth'iy) dan tak jarang hanya melahirkan
kontraproduktif ditengah masyarakat.
Dalam kasus
pembagian waris, Dr Ali Jum'ah mengulas, bahwa terjadinya pembedaan dalam
jumlah waris bukan dikarenakan status gender tapi lebih disebabkan oleh faktor
lain. Ada tiga
faktor tulisnya. Pertama, Derajat kekerabatan antara pemaris dan ahli
waris. Kedua, kedudukan ahli waris, dan ketiga, tanggungjawab
ekonomi. Masalah ekonomi dan tanggung
jawab laki-laki dalam memberikan nafkah anak istri dan kerabat dekat,
setidaknya hal yang menyebabkan perbedaan bagian laki-laki dan perempuan, dan
perbedaan yang terjadi tidak selayaknya dipandang sebagai sebuah kezaliman.
Karena keadilan tidaklah harus selalu diidentik dengan penyamarataan secara
ketat.
Bahkan Jika
dilihat secara keseluruhan mengenai hukum waris, terdapat empat keadaan
dimana 1) bagian perempuan setengah dari pria, 2) bagian perempuan sama dengan
bagian laki-laki, 3) bagian wanita lebih banyak dari pria dan 4) wanita mendapat
warisan dan laki-laki tidak mendapatinya. Jadi tidak tepat bila wanita selalu
mendapat bagian terkecil. Contohnya, jumlah warisan untuk suami lebih kecil
dibanding bagian anak perempuan satu-satunya. Dan jumlah warisan buat saudara
laki-laki dan perempuan seibu (akhun wa ukhtun lilum) sama besarnya. Dan
masih banyak contoh kasus lainnya dimana bagian wanita tidak selalu lebih kecil
dari bagian pria.
Menyinggung
tanggungjawab ekonomi, tidaklah berlebihan bila bagian anak laki-laki diatas
bagian perempuan. Karena tanggungjawab diberikan kepada pihak laki-laki mulai
dari mahar, sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang menjadi
tanggungan wajib bagi keluarga dan kerabatnya.
Alasan para pegiat
paham gender menyamakan pembagaian warisan pria dan wanita, bahwa disebagian
tempat di Indonesia
malah kaum perempuan yang teratas dalam memikul beban ekonomi dibanding laki-laki
yang hanya hongkang-hongkah dirumah.
Argumen seperti ini terlalu mengeneralisir masalah. Berdasar zuruf 'am dan ketentuan yang ada,
laki-lakilah yang memikul beban kebutuhan. Pahit-pahitnya Letaklah misalnya
pada suatu masa tertentu yang menjadi kodisi umum adalah wanita yang memikul tanggungjawab keuangan
yang semestinya dipikul laki-laki, apakah keadaan ini dapat menganulir
ketentuan waris dalam islam? Misalnya setengah-setengah dalam pembagian atau
dibalik, bagian wanita lebih besar dibanding pria?
Sekalipun kondisi
ini terjadi, tidak dapat dijadikan hujjah untuk menghapuskan ketentuan waris islam.
Itu disebabkan:
Pertama, ayat waris
adalah qot'iy ad dilalah dimana besar kecil bagian telah ditentukan
secara jelas dan detail.
Kedua, dalam islam
yang memikul beban keuangan adalah pihak laki-laki dan bila sampai pihak
perempuan menggantikan pria, berarti ada kerusakan dimasyarakat. Dan kerusakan
ini tidak bisa dijadikan alasan penggantian hukum yang berlaku. Tentunya kesalahan
memikul tanggunjawab ini akan memberi dampak buruk bagi tatanan sosial
masyarakat. Langkah tepat adalah memperbaiki kondisi tersebut sesuai fitrah dan
job masing-masing. Sama halnya bila korupsi menjadi kondisi umum dan membudaya
di setiap lapisan masyarakat, tidak lantas korupsi berubah menjadi halal. (Aidil
Susandi, Lc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar