Kamis, 18 April 2013

Adilkah Hukum Waris Islam?


Oleh: Aidil Susandi, Lc.

Adilkah Hukum Waris Islam? | Diantara tuduhan yang dialamatkan pada islam adalah ketidak berpihakkan islam terhadap wanita. Bagian perempuan satu banding dua dalam pewarisan dipakai sebagai bukti dan pijakkan untuk menyangga pandangan tersebut. Bahkan anggapan ini tersebar dan diterima oleh sebagian kalangan muslim begitu saja. Tak heran, percobaan mengotak-atik pembagian warisan dilakukan dengan terang-terangan seolah-olah membenarkan anggapan bahwa islam tidak memandang perempuan, embari menyatakan hukum waris tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.  Yang benar adalah kesamaan pembagian seperti yang diinginkan oleh penganut persamaan gender, bahasa kerennya 'gender equality'. Benarkan tuduhan itu?   

Sebelum terlalu jauh hendaknya diketahui, hukum waris yang diterapkan dalam islam merupakan pembatalan terhadap tradisi perwarisan harta dalam budaya jahiliah yang murni hanya untuk laki-laki. Dalam budaya pra-islam, wanita dan anak kecil tidak termasuk orang yang mendapatkan warisan, malahan wanita yang menjadi barang warisan saat itu. Turunnya hukum waris memperlihatkan keberpihakkan islam terhadap perempuan dan kaum lemah sekaligus memberikan status penghargaan bagi mereka dalam keluarga dan kerabat yang merupakan cerminan kecil dari masyarakat luas.

Sekarang, tuntutan-tuntutan persamaan makin merebak. Disatu sisi, hal ini baik bahkan sejalan dengan prinsip keadilan islam, namun tak sedikit pula sikap keterlaluan dan kebablasan menghinggapi para aktifis itu sehingga mengabaikan teks-teks keagaamana yang sudah final (qoth'iy) dan tak jarang hanya melahirkan kontraproduktif ditengah masyarakat.

Dalam kasus pembagian waris, Dr Ali Jum'ah mengulas, bahwa terjadinya pembedaan dalam jumlah waris bukan dikarenakan status gender tapi lebih disebabkan oleh faktor lain. Ada tiga faktor tulisnya. Pertama, Derajat kekerabatan antara pemaris dan ahli waris. Kedua, kedudukan ahli waris, dan ketiga, tanggungjawab ekonomi. Masalah  ekonomi dan tanggung jawab laki-laki dalam memberikan nafkah anak istri dan kerabat dekat, setidaknya hal yang menyebabkan perbedaan bagian laki-laki dan perempuan, dan perbedaan yang terjadi tidak selayaknya dipandang sebagai sebuah kezaliman. Karena keadilan tidaklah harus selalu diidentik dengan penyamarataan secara ketat.

Bahkan Jika dilihat secara keseluruhan mengenai hukum waris, terdapat empat keadaan dimana 1) bagian perempuan setengah dari pria, 2) bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki, 3) bagian wanita lebih banyak dari pria dan 4) wanita mendapat warisan dan laki-laki tidak mendapatinya. Jadi tidak tepat bila wanita selalu mendapat bagian terkecil. Contohnya, jumlah warisan untuk suami lebih kecil dibanding bagian anak perempuan satu-satunya. Dan jumlah warisan buat saudara laki-laki dan perempuan seibu (akhun wa ukhtun lilum) sama besarnya. Dan masih banyak contoh kasus lainnya dimana bagian wanita tidak selalu lebih kecil dari bagian pria.

Menyinggung tanggungjawab ekonomi, tidaklah berlebihan bila bagian anak laki-laki diatas bagian perempuan. Karena tanggungjawab diberikan kepada pihak laki-laki mulai dari mahar, sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang menjadi tanggungan wajib bagi keluarga dan kerabatnya. 

Alasan para pegiat paham gender menyamakan pembagaian warisan pria dan wanita, bahwa disebagian tempat di Indonesia malah kaum perempuan yang teratas dalam memikul beban ekonomi dibanding laki-laki yang hanya hongkang-hongkah  dirumah. Argumen seperti ini terlalu mengeneralisir masalah. Berdasar  zuruf 'am dan ketentuan yang ada, laki-lakilah yang memikul beban kebutuhan. Pahit-pahitnya Letaklah misalnya pada suatu masa tertentu yang menjadi kodisi umum adalah  wanita yang memikul tanggungjawab keuangan yang semestinya dipikul laki-laki, apakah keadaan ini dapat menganulir ketentuan waris dalam islam? Misalnya setengah-setengah dalam pembagian atau dibalik, bagian wanita lebih besar dibanding pria?

Sekalipun kondisi ini terjadi, tidak dapat dijadikan hujjah untuk menghapuskan ketentuan waris islam. Itu disebabkan:

Pertama, ayat waris adalah qot'iy ad dilalah dimana besar kecil bagian telah ditentukan secara jelas dan detail.

Kedua, dalam islam yang memikul beban keuangan adalah pihak laki-laki dan bila sampai pihak perempuan menggantikan pria, berarti ada kerusakan dimasyarakat. Dan kerusakan ini tidak bisa dijadikan alasan penggantian hukum yang berlaku. Tentunya kesalahan memikul tanggunjawab ini akan memberi dampak buruk bagi tatanan sosial masyarakat. Langkah tepat adalah memperbaiki kondisi tersebut sesuai fitrah dan job masing-masing. Sama halnya bila korupsi menjadi kondisi umum dan membudaya di setiap lapisan masyarakat, tidak lantas korupsi berubah menjadi halal. (Aidil Susandi, Lc.)


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About