Sedangkan menurut istilah ushul fikih, sebuah nahi (larangan) yang bermuatan hukum syar’i adalah nash-nash syariat yang melarang mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan.[3] Seperti firman Allah swt : "ولا تاكلوا أموالكم بينكم بالباطل" artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil”. (QS. 2:188)
Sighat – sighat nahi
Umumnya pada sebuah larangan
di dalam nash-nash syari’ (al quran dan hadis) menggunakan “lam an nahi”
(لا النهي) yang masuk pada fi’il mudhari. Seperti
firman Allah swt : "ولا
تقربوا الزنا إنه كان فحشة"
artinya: dan jangan dekati zina, sesungguhanya itu adalah perbuatan yang
keji”. (QS.17:32).[4]
Selain menggunakan “lam an nahi” tersebut,
ada beberapa sighat lain yang digunakan untuk menunjukkan suatu larangan
yaitu:[5]
Pertama : menggunakan lafaz (kata) tahrim ( larangan).
Contohnya firman Allah swt: "حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير" artinya: “Diharamkan bagi kamu memakan
bangkai, darah dan daging babi”. (QS.5:3)
Kedua : Penolakan terhadap kehalalan sesuatu. Contohnya firman
Allah swt: "ولايحل
لكم أن تأخذوا مما أتيتموهن شيأ" artinya: “Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka”. (QS.
2:229)
Ketiga: Perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Contohnya firman Allah swt:"فااجتنبوا الرجس من
الأوثان واجتنبوا قول الزور"
artinya: “Maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan yang dusta”. (QS. 22:30)
Makna-makna yang terkandung
dalam nahi
Seperti yang disebutkan oleh
Ghazali dan al Amidi, ada enam makna yang terkandung dalam nahi
(larangan).[6]
Pertama: Haram, contohnya firman Allah swt: "ولا تقتلوا النفس التي حرم
الله إلا بالحق" artinya: “Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar”. (QS. 17:33)
Kedua: Makruh, contohnya firman Allah swt: "لا يمسك أحدكم ذكره بيمينه وهو
يبول" artinya: “janganlah
salah seorang diantara kamu memengah kemaluannya dengan tangan kanan ketika
buang air kecil (istinja’)”
Ketiga: Doa, contohnya firman Allah swt: "ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذهديتنا
" artinya : "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami”. (QS.
3:8)
Keempat: Petunjuk, contohnya firman Allah swt: " يأيها الذين أمنوا لا تسألوا عن
أشياء إن تبد لكم تسؤكم"
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”. (QS.
5:101)
Kelima : Penghinaan,
contohnya firman Allah swt: "ولا تمدن عينيك إلى ما متعنا أزواجا منهم" artinya: “Dan janganlah kamu tujukan kedua
matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka”. (QS.
20:131)
Keenam: Balasan perbuatan,
contohnya firman Allah swt: "ولا تحسبن الله غافلا عما يعمل الظالمون" artinya: “Dan janganlah sekali-kali
kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang yang zalim”. (QS. 14:42)
Ke tujuh: Putus asa,
contohnya firman Allah swt: "لا تعتذروا اليوم إنما تجزون ما كنتم تعملون" artinya: “janganlah kamu mengemukakan
uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hana diberi balasan menurut apa yang kamu
kerjakan”. (QS. 66:7)
Mengenai sighat dan
makna yang digunakan pada larangan (nahi) ini, pada dasarnya memiliki
dua konsekwensi hukum ; Haram atau Makruh. Sama halnya dengan perintah (amar)
yang memiliki konsekwensi hukum ; Wajib dan sunnah. Biasanya sebuah larangan
yang disertai dengan sebuah indikasi (qarinah) maka hukumnya digolongkan
ke dalam haram. Sedangkan larangan yang tidak disertai dengan indikasi
tertentu, maka hukumnya digolongkan pada makruh.[7]
Ini bisa dilihat dari Firman Allah swt QS Al Maidah: 87 yang berbunyi ; يا أيها الذين
أمنوا لا تحرموا طيبات ماأحل الله لكم " Artinya: “ Janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu”,. (QS. 5:87) .
Pengharaman di sini maknanya adalah makruh, karena mengkonsumsi hal-hal yang
baik adalah mubah.
Kemudian apakah sebuah
larangan menuntut pengulangan (tikrar) dan penyegeraan (faur),
dalam hal ini ulama berbeda pendapat; pertama; ada yang mengatakan bahwa larangan itu tidak menunjukkan atas
pengulangan dan penyegeraan. Ini diwakili oleh ar Razi dan al Baidhawi dari
golongan ulama Syafii. Kedua; ada yang mengatakan bahwa sebuah larangan
menunjukkan atas pengulangan dan penyegeraan. Ini diwakili oleh al Amidi, Ibnu Hajib
dan al Qarafi.
Dan pendapat yang paling rajih
(kuat) adalah pendapat ke dua. Karena sebuah larangan menuntut adanya
penyegeraan dan pengulangan. Sebab, jika Allah melarang suatu maka itu artinya
bahwa seorang mukallaf tidak diperkenankan untuk mengerjakannya sampai kapanpun
dan harus segera meninggalkannya dengan segera.
Adapun efek hukum yang
ditimbulkan dari larangan ini, bisa membuat pekerjaan tersebut menjadi fasad
dan bisa menjadi batal. Fasad berarti pekerjaan yang semula sah, kemudian
menjadi tidak sah dan harus dihentikan, jika diteruskan maka pekerjaan tersebut
tidak terhitung, terutama dalam mua’malah, maka seluruh pemindahan hak yang ada
menjadi tidak sah. Contoh yang fasad ini adalah jual beli yang dilakukan oleh
salah seorang ‘aqidain (penjual atau pembleli) adalah anak-anak. Maka
jual belinya tidak sah (fasad).
Adapun sebuah perbuatan
menjadi batal, jika perbuatan tersebut tidak memenuhi persyaratan sedari awal,
atau antara syarat yang ada tidak terpenuhi, maka ini adalah batal. Contohnya
jual beli yang tidak ada barangnya.
(Fery Ramadhan, Lc.)
[2]
Lihat ; musallam as subut oleh Ibn abd asyakur, syarh al asnawi,
kasyf al asrar oleh al bukhari, irsyad al fuhul oleh as syaukani.
[3]
Hamdi Shabah Taha, op.cit., h.211
[4]
Khalid ramadhan hasan, Mu’jam Ushul al fiqh, (Kairo: ar Raudha), h.314.
[6]
Ibid., h. 233-234
[7]
Wahbah az zuhaily, Op,cit., 234
Tidak ada komentar:
Posting Komentar