Sebab-Sebab Turunnya Ayat | Alquranul
karim tidaklah diturunkan sekaligus kepada Rasulullah saw. namun diturunkan
secara berangsung-angsur. Alquran yang memuat 30 juz ayat itu disampaikan
kepada Nabi Muhammad dengan memakan waktu antara 20, 23 dan 25 tahun.[1]
Perbedaan waktu ini terjadi disebabkan perbedaan mengenai penetapan masa
tinggal Rasullullah di Makkah dan Madinah. Dan berdasarkan hitungan para
peneliti sejarah, didapati bahwa lamanya turun Alquran lebih dekat kepada
pendapat yang menyatakan selama 23 tahun.[2]
Turunnya Alquran dengan
berangsur-angsur memiliki makna dan tujuan tersendiri. Persoalan keberangsuran
ini pernah menjadi pertanyaan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dalam firman
Allah, [3]“
وقال اللذين كفروا لو لا
أنزل عليه القرأن جملة واحدة "
(Berkatalah orang-orang yang
kafir: "Mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?" )
(…demikian itu supaya
Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil [teratur dan
benar]).
Ayat-ayat Alquran yang diturunkan
dapat berupa jawaban dari pertanyaan, pengingkaran, perbuatan yang harus
dilakukan, penjelasan dan proses pematangan (tadarruj) sebuah hukum. [5]
Dan beberapa ayat Alquran diturunkan karena adanya suatu sebab (asbab an-nuzul).
Dalam
tulisan ini akan dipaparkan persoalan asbab an-Nuzul itu, baik
pengertian, cara mengetahui, urgenstitas memahaminya, dan tak ketinggalan ulasan
satu kaidah tafsir, “ al-ibrah bi umum al-lafzi la bi khusus as-sabab”
Pengertian Sebab Turunnya Ayat (Asbab an-Nuzul)
Para ulama sepakat bahwa Alquran
diturunkan (munazzal). Namun mereka berselisih mengenai makna dari al-inzal.
Setidaknya ada dua pendapat dalam hal ini. Pertama, makna inzal
adalah menampakkan bacaan (izhar al-qiraah). Kedua, bahwa Allah
swt. memberi ilham dan mengajarkan bacaan Alquran kepada Jibril, yang berada
dilangit atau tempat yang tinggi, lalu Jibril turun ke bumi untuk
menyampaikannya.[6]
Tampaknya pendapat kedua lebih mendekati pemahaman.
Asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang menjadi
latar belakang penyebab turunnya ayat Alquran. Latar belakang itu bisa berupa
peristiwa yang terjadi ataupun jawaban dari sebuah pertanyaan yang ditujukan
kepada Nabi Muhammad.[7]
Kejadian yang menjadi latar belakang turunya ayat itu, diantaranya dapat
dilihat dari peristiwa perselisihan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj
yang dibuat oleh orang Yahudi. Kejadian ini menjadi latar belakang turunnya
firman Allah,
“
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang
yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang
kafir sesudah kamu beriman.”
Atau peristiwa yang menimpa Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah dimana
suaminya Aus bin Shamit menzhiharnya. Dengan kejadian itu lalu turun ayat al-Mujadilah 1-4
mengenai zhihar.
Sementara asbab an-nuzul dari
bentuk pertanyaan, dapat kita lihat langsung dari isi ayat Alquran itu sendiri
dalam bentuk kalimat (يسألونك ) dalam beberapa ayat Alquran seperti, يسألونك عن المحيض ...[9]
، يسألونك عن الروح ...[10]
، يسألونك عن ذى القرنين[11]
Ilmu asbab an-nuzul
merupakan bagian dari ilmu tafsir. Ilmu ini membahas
mengenai sebab-sebab turunnya surat atau ayat, waktu dan tempatnya.[12]
Namun tidak semua ayat turun berdasarkan adanya asbab an-nuzul. Untuk
itu berdasarkan nuzulnya, Alquran terbagi kepada dua macam.
- Pertama, ayat-ayat yang diturunkan tanpa adanya atau didahului oleh sebab-sebab (asbab) khusus. Ayat seperti ini banyak seperti ayat-ayat hukum, adab, ataupun petunjuk-petunjuk meraih kebahagian dunia akhirat.[13]
- Kedua, ayat-ayat yang turun berkaitan dengan adanya sebab khusus yang terjadi.[14]
Namun tidak semua peristiwa dan
kejadian dalam Alquran termasuk dalam kategori asbab an-nuzul. Seperti
kisah-kisah nabi Adam, Nuh, atau sejarah
suatu bangsa semisal bangsa ‘Ad, Tsamud dan lain sebagainya.[15]
Signifikansi Asbab an-Nuzul
Memahami sebab-sebab turunya ayat
sangat penting untuk diketahui oleh para pengkaji Alquran khususnya. Banyak
manfaat yang didapati dari ilmu asbab an-nuzul yaitu:
- Memahami hikmah disyariatkan hukum-hukum.[16]
- Sebagai takhsis al-hukm. Ini bagi orang yang berpendapat al-ibrah bi khusus as-sabab la bi umum al-lafz. Dalam kasus Khaulah binti Hakim, maka hukum zhihar hanya berlaku untuk mereka berdua saja.
- Jalan untuk mengetahui makna ayat.
- Menepis prasangkaan atas pembatasan zahir ayat. Allah berfirman, artinya,
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua
itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah[17]
Ayat ini
turun sebagai respon dari perbuatan orang kafir yang mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Ayat itu turun
bukan untuk membatasi atau pengkhususan bahwa yang haram hanya bangkai, darah,
babi, dan sembelihan selain Allah.
- Menepis kesamaran. Allah berfirman, " ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله"[18]
Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah.
Secara
zahirnya, ayat ini akan menafikan kewajiban menghadap kiblat dalam sholat, baik
ketika bermukim maupun dalam perjalanan. Namun dengan memahami sebab turunya
ayat ini, maka diketahui bahwa yang dimaksud dalam ayat di atas adalah khusus
bagi orang yang dalam perjalanan. Ayat ini turun ketika Rasulullah dalam
perjalanan dari Mekah menuju Madinah.
Selain fungsi-fungsi di atas,
Syaikh M. Abdul Azim az-Zarqawi juga menambah:[19]
- Memahami bahwa asbab an-nuzul tidaklah keluar dari hukum ayat bila terdapat pengkhususan terhadap ayat. Pengkhususan hanya berlaku bagi kekhususan itu saja.
- Untuk mengetahui orang-orang yang berada dalam nash suatu ayat. Allah berfirman,
"
والذى قال لوالديه أف لكما [20]
Dan
orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya...”
Dengan mengetahui sebab turunnya ayat, maka tidak akan terjadi tuduhan
terhadap orang yang bukan dimaksud ayat tersebut.
·
Untuk mempermudah
hafalan dan pemahaman, serta penguat bagi wahyu.
Orang yang mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat, akan
lebih memahami maksud ayat yang diturunkan. Para ulama menetapkan apabila
terjadi perbedaan pendapat mengenai tafsir sebuah ayat, maka yang lebih didahulukan adalah tafsir yang sesuai dengan sabab
nuzul shahih-sharih.[21]
Cara mengetahui Asbab an-Nuzul
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa sebagian ayat-ayat yang diturunkan
Allah memiliki asbab an-nuzul, namun bagaimana cara mengetahui asbab
an-nuzul suatu ayat itu?
Tampaknya tidak ada cara lain
untuk mengetahui asbab an-nuzul ayat kecuali dengan periwayatan shahih
yang bersumber dari Rasulullah saw atau sahabat. Bahkan para ulama menegaskan
bahwa tidak dibolehkan penjelasan tentang sebab-sebab turunnya ayat kecuali
dengan periwayatan atau sima’ dari orang yang menyaksikan sebab turunnya
ayat itu.[22]
Mengenai hal ini, terbentuk sebuah kaidah tafsir, sabab an-nuzul lahu hukm
ar-raf’u (sebab nuzul sutu ayat harus memiliki periwayatan)[23]
Sedangkan periwayatan dari tabiin
dianggap mursal. Namun periwatan tersebut dapat diterima jika sanadnya
shahih dari para pembesar-pembesar ahli tafsir seperti Mujahid, Ikrimah,
Sa’id bin Jubair dan lain sebagainya.[24] Ini dikarenakan kemungkinan besar mereka
mendapatinya dari para sahabat.
Akal tidak dapat dijadikan
sandaran dalam penetapan sabab an-nuzul, mengingat sifat akal yang
spekulasi. Sementara kejadian-kejadian atau peristiwa tidak dapat direkayasa
atau dimanipulasi sedikitpun. Bagaimana mungkin akal dapat mengetahuinya bila
tidak melihat langsung kejadian, atau mendapatkan berita shahih dari
orang yang menyaksikan asbab an-nuzul. Namun bukan berarti akal tidak
berfungsi sama sekali. Perannya lebih kepada meneliti kebenaran sejarahnya dan
memberikan pen-tarjih-an bagi riwayat-riwayat yang berlainan
terhadap asbab an-nuzul suatu ayat.
Lalu bagaimana cara mengetahui
periwayatan yang mengandung informasi asbab an-nuzul ayat itu? Dalam hal ini perlu memahami shighah-shighah
atau ungkapan-ungkapan (ta’birat) yang mengandung informasi adanya sabab
an-nuzul itu.
Adapun shighah[25] yang mengandung informasi asbab an-nuzul
terbagi kepada shighah sharihah dan muhtamilah.[26]
- Shighah ash-sharihah. Yaitu ungkapan jelas mengenai informasi adanya asbab an-nuzul ayat dalam sebuah periwayatan. Shighah ini menunjukkan validitas kebenaran adanya sabab nuzul al-ayah. Hal ini dapat dilihat dari:
·
Ungkapan
dengan memakai kata “as-sabab” misalnya periwayat yang menyatakan, “sabab
nuzul hazihi al-ayah kaza”.
·
Adanya
huruf " ف " setelah pertanyaan atau penyebutan sebuah peristiwa. Misalnya, " سئل رسول الله
صلى الله عليه وسلم عن كذا فنزلت "
- Shighah muhtamilah: Yaitu ungkapan yang tidak memakai kata “sabab” atau pun memakai huru “fa”. Shighah ini dapat mengandung informasi adanya sabab nuzul al-ayah dan bisa pula hanya sebagai penjelas ayat-ayat hukum. Untuk memastikannya, diperlukan karinah-karinah lainnya.[27] Contoh shighah ini, “ ahsabu hazihi al-ayah nuzilat fi kaza”, atau “ ma ahsabu hazihi al-ayah illa fi kaza”.[28]
Adakalanya informasi sebab turunnya suatu ayat memiliki banyak riwayat-riwayat
yang berbeda, maka dalam hal ini perlu klasifikasi sebagai berikut:[29]
- Apabila ada riwayat-riwayat yang memakai shighah ghair sharih, maka hal tersebut tidak dipandang sebagai sabab nuzul al-ayah, namun sebagai penjelasan.
- Apabilah ada riwayat-riwayat yang satu shighah sharih dan yang lainnya shigah ghair sharih maka yang dipandang adalah riwayat shighah sharih. Contohnya ayat " نسائكم حرث لكم ..." memiliki riwayat-riwayat yang berbeda shighahnya. Mengenai ayat ini, riwayat ibn Umar memakai ungkapan ghair sharih, “ nuzilat fi ityan an-nisa’ fi adbarihinna ”. Sedangkan riwayat Jabir menggunakan lafaz sharih, “ fanuzilat “. Maka ayat ini memiliki sebab nuzul, karena diriwayatkan oleh Jabir yang memakai shighah sharihah
- Apabila ada riwayat-riwayat yang satu shahih dan yang lain ghair shahih, maka yang dipakai adalah riwayat yang shahih.
- Apabilah terdapat riwayat-riwayat yang sama-sama shahih, maka yang dipakai adalah riwayat yang memiliki kadar keshahihan yang lebih tinggi, seperti hadirnya periwat dalam kejadian atau peristiwa. Contohnya Ibn Mas’ud yang melihat langsung turunnya ayat 85 dari surat al-Isra’ kepada nabi saw setelah Rasulullah ditanya mengenai masalah ruh oleh sekelompok yahudi.
Dan Adakalanya pula ayat-ayat
yang berbeda diturunkan dengan satu sebab yang sama. Ini bukanlah menjadi
persoalan. Malah mempertegas kejadian, pertanyaan atau kebutuhan yang menjadi
latar belakang turunnya ayat.[30]
" إن المسلمين والمسلمات[32]
" memiliki sabab an-nuzul yang sama, yaitu
pertanyaan Ummu Salamah kepada Rasulullah saw tentang mengapa Allah menyebut
laki-laki namun tidak menyebut wanita dalam firmanNya.[33]
Kaidah al-Ibrah bi Umum al-Lafz
La bi Khusus as-Sabab
Kalimat al-Ibrah bi Umum
al-Lafz La bi Khusus as-Sabab merupakan diantara kaidah tafsir. Kaidah
tafsir berbeda dengan tafsir itu sendiri. Kaidah tafsir adalah dhawabit-dhawabit
serta pernyataan umum yang dapat mengantarkan kepada makna yang dituju. Sementara
tafsir adalah penjelasan terhadap makna yang dibangun berdasarkan ushul dan kaidah
tafsir.[34]
Kaidah tafsir adalah bagian (juz)
dari ulum al-quran. Namun kaidah ini sering juga disebut dengan ulum
al-quran itu sendiri. Penyamaan ini boleh jadi karena ithlaq al-juz ala
al-kull atau bisa juga bahwa ulum al-quran itu berisi dan terdiri
dari banyak kaidah-kaidah.[35]
Makna al-Ibrah bi Umum
al-Lafz La bi Khusus as-Sabab adalah, bahwa keumuman lafaz yang terdapat
dalam ayat lebih dipandang dari pada kekhususan yang ada pada sabab an-nuzul.
Namun para ulama berselisih
pendapat mengenai kaidah ini. Apakah yang dipandang itu (al-mu’tabar)
keumuman lafaz atau kekushususan sabab? Perbedaan ini berkaitan dengan dalil yang menjadi landasan keputusan sebuah
hukum dari segi keumuman, kekhususan, ithlaq maupun ta’yid.[36]
Sebelum membahas perbedaan
tersebut, terlebih dahulu akan dikemukakan keadaan-keadaan sabab dan lafaz dari segi keumuman dan kekhususannya. Ada
empat keadaan, yaitu:[37]
1.
Masing-masing
sabab an-nuzul dan lafaz yang turun bersifat khusus
2.
Masing-masing
sabab dan lafaz bersifat umum
3.
Sabab bersifat umum dan lafaz khusus
4.
Sabab bersifat khusus dan lafaz umum
Perdebatan mencuat berkenaan dengan
keumuman lafaz dan kekhususan sabab. Mana yang lebih dipandang dari
keduanya?
Perbedaaan
tersebut sebagai berikut:
- Pendapat jumhur ulama.
berpendapat
bahwa al-ibrah bi umum lafz la bi khusus as-sabab. Ayat zihar
yang turun disebabkan kasus Khaulah binti Hakim yang dizihar suaminya
Aus bin Shamit adalah bersifat umum. Dan itu berlaku baik bagi orang yang
menjadi sebab turunnya ayat (khusus) maupan bagi orang lain yang berkasus
serupa dengan Khaulah, karena ayat sangat jelas
diturunkan untuk umum.[38]
Pendapat para jumhur
tersebut didasarkan pada dalil:
o
Riwayat
Abdullah bin Mas’ud bahwa, “ seorang laki-laki mendapat ciuman dari seorang perempuan, lalu ia
mendatangi nabi saw, dan menceritakan persoalannya. Maka Allah menurunkan (fa
anzalallah-shihgah sharih) ayat,
وأقم الصلاة
طرفى النهار وزلفا من الليل إن الحسنات يذهبن السيأت) [39]) maka laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah apakah itu untuk
ku? Rasulullah berkata, “untuk seluruh ummatku”[40]
o
Allah
tidak menetapkan hukumNya berdasarkan sebab nuzul ayat yang khusus, tapi
bersifat umum.
- Pendapat selain jumhur: bahwa al-ibrah bi khusus sabab la bi umum lafz. Artinya bahwa ayat terbatas hanya untuk penyebab turunnya ayat saja. Dalam kasus ayat zihar, hanya dikhususkan bagi Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah dan suaminya. Adapun untuk orang lain dengan perkara serupa, maka hukumnya tidak diambil dari ayat zihar tersebut, melainkan dengan jalan qiyas atau ijtihad.[41] Dengan begitu, sabab an-nuzul memiliki faidah, dan adanya kecocokan antara sebab dan akibat, serta pertanyaan dan jawaban.[42]
Namun perlu diperhatikan, bahwa
akar perbedaan pendapat di atas terletak pada perbedaan dalam memahami ketidak
adaan karinah kekhususan pada lafaz umum ayat. Tapi bila ada karinah yang
menunjukkan kekhususan sabab nuzul, maka para ulama sepakat bahwa hukum
hanya terbatas bagi sabab, tidak untuk umum[43]
Selain itu, perbedaan antara jumhur
dan ghair jumhur bukan karena tidak sepakat atas keumuman hukum
ayat, tapi perbedaan terjadi menyangkut dari mana keumuman hukum ayat itu
diambil. Bagi jumhur keumuman itu didasarkan pada ayat tersebut.
Sementara ghair jumhur, bahwa keumuman hukum diambil dengan jalan
qiyas atau istidlal lainnya.[44]
Penutup
Asbab an-nuzul penting untuk diketahui agar mudah memahami dilalah
ayat, dan terhindar dari kekeliruan pemahaman. Dan kekhususan sabab pada
ayat tidak menjadi penghalang bagi keumuman dan ketercakupan hukum bagi perkara
lain yang serupa dengan sabab an-nuzul ayah. Wallahu a’lam bisshawab.
[1] Shalah
ad-Din Arqahudan, Mukhtazhar al-Itqan fi Ulum al-Quran li as-Suyuthi,
cet. 2 (Beirut: Dar an-Nafais, 1978) h. 46-47
[2] M.
Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,
1995) juz 1, h. 46
[3] Q.S. al-Furqan:32
[4] Ibid.
[5] Shalah
ad-Din.., Mukhtazhar al-Itqan.., h. 45
[6] Ibid.,
48
[7] M.
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal li dirasah al-Quran al-Karim, cet. 3 (
Riyadh:Dar al-Liwa’, 1995) hal. 131
[9] Q.S.
al-Baqarah: 222
[10] Q.S. al-Isra’: 85
[11] Q.S. al-Kahfi: 83
[12]
Khalid Abdur Rahmah al-‘Ak, Ushul at-Tafsir wa Qawaiduh, cet. 2 (Beirut:
Dar an-Nafai, 1986) hal. 99
[13]
M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 131
[14] Ibid.
[15] Shalah
ad-Din.., Mukhtazhar al-Itqan.., h. 82
[16]
Zarkasy, al-Burhan fi Ulum al-Quran, (Kairo: Dar at-Turats, t.th) hal.
22-30
[17]
Q.S. al-An’am: 145
[18] Q.S. al-Baqarah: 115
[20] Q.S. al-Ahqaf: 17
[21]
Husain bin Ali bin Husain al-Harbiy, Qowaid at-Tarjih, (Riyadh: Dar
al-Qasim, 1996) hal. 241
[22]
M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 134
[23]
Khalid bin Utsman as-sabt, Qawaid at-Tafsir, (t.tp: Dar ibn Affan, 1421
H) juz 1, hal. 54
[25]
Para ulama menggunakannya dengan berbagai istilah seperti shighah, lafz ataupun ta’bir.
Namun maknanya tetap sama.
Yaitu bagaimana bentuk kata atau kalimat yang mengandung informasi asbab
an-nuzul ayah.
[26]
Lihat Manna’ al-Qotton, Mabahits fi Ulum al-Quran, cet.11 (Kairo:Maktabah
Wahbah, 2000) hal. 81
[28]
Manna’ al-Qotton, Mabahits fi Ulum al-Quran, hal. 81
[31] Q.S. Ali Imran: 195
[32] Q.S. al-Ahzab: 35
[33] M.
Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, juz 1, h. 103
[34]
Khalid bin Utsman as-sabt, Qawaid at-Tafsir, hal. 33
[35] Ibid.
[36]
M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 154
[37]
Lihat lebih jelas M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 155
[39] Q.S. al-Hud: 114
[41]
M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 156
[42]
Manna’ al-Qotton, Mabahits fi Ulum al-Quran, hal. 80
[43]
M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 156
[44] Ibid.,
hal. 156
Alhamdulillah, artikelnya membantu sekali. Terimakasih sekali, saya jadi terinspirasi untuk ikut menghidupkan al Qur'an di dunia maya. ini salah satu tulisan sederhana terkait dengan QS al Isra' 17 http://asbabunnuzulquran.blogspot.com/2014/06/asbabunnuzul-qs-al-isra-17-85.html
BalasHapus