Selasa, 16 April 2013

Amar dalam Ushul Fiqh (1)

Dalam kajian ushul fiqh, pembahasan tentang  Amar (perintah) penting untuk diperdalam. Sebab, salah satu cara untuk mengetahui sebuah hukum, diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang tunjukan tersebut. Apalagi, ketika ingin mengetahui salah satu jenis hukum taklifi (wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah)
. 
Definisi
Menurut bahasa, kata amar (الأمر) berarti suatu perintah. Disebut perintah karena biasanya ada pembebanan kepada pihak lain.[1] Maka bagi pihak yang diperintahkan harus melaksanakan sesuai perintah tersebut. Jika tidak terlaksana, ada konsekwensi yang harus diterima olehnya.


Menurut istilah ushul fiqih, sebuah amar (perintah) yang bermuatan hukum syar’i adalah nash-nash syariat yang menuntut suatu perbuatan pada diri seorang mukallaf.[2]

Sebagian ulama ushul mensyaratkan “isti’la’[3] agar  amar bermakna perintah. Karena secara umum, amar mengandung pengertian tuntutan (thalab). Dan sebuah tuntutan bisa bermakna doa atau iltimas. Jika antara pihak yang menuntut dengan yang dituntut memiliki kedudukan yang setara, maka disebut iltimas. Dan jika pihak yang menuntut lebih rendah kedudkannya maka disebut doa.[4] Karena amar (perintah) berasal dari Allah swt sebagai Syari’, dan kedudukannya lebih tinggi dari pada hambaNya yang diperintah, maka setiap perintah disyaratkan isti’la’’.

Diantara mazhab yang mensyaratkan isti’la’ tersebut adalah Mu’tazilah, Abu Ishaq as Syairazi, dan mayoritas Hanabilah. Mereka memandang agar  amar memiliki muatan perintah maka disyaratkan antara subjek dan objeknya, harus lebih tinggi kedudukan subjek dari pada objek.[5]
 
Begitu juga halnya pendapat Abu al Husain al Bashri mazhab Mu’tazilah, ar Razi dan al Amidi mazhab Syafii, al Qarafi dan Ibnu Hajib Mazhab Maliki, Kamal bin hamam dan Ibn abd as Syakur Mazhab Hanafi, mereka mengharuskan isti’la’ dalam sebuah amar.[6]
 
Namun, pensyaratan ini tidak lebih dari pada perbedaan yang mencuat lebih banyak di kalangan ulama nahwu dan pakar bahasa saja. Sebab, ketika berbicara amar pada ushul fikih, maka aspek yang dikaji adalah nash-nash syar’i. dan seperti yang dipahami, bahwa sumber nash tersebut tidak lain kecuali Allah dan rasulNya.

Ini bisa dilihat dari cerita Firaun perihal musyawarah kaumnya untuk mengusir Musa.[7] Para pemuka kaumnya berusah meyakinkan Fir’aun dengan mengatakan bahwa Musa adalah tukang sihir dan ingin mengeluarkan Fir’aun dari negerinya. Lantas Fir’aun menanggapi dengan mengatakan “ Apa yang kamu perintahkan”. Dan perintah ini datang bukan dari pihak yang lebih tinggi, melainkan lebih rendah. Namun tetap dikatakan dengan sebuah perintah.

Sighat-sighat  Amar
Untuk menunjukkan sebuah  amar, ada beberapa sighat yang dipakai. Secara umum, sighat amar terbagi dua; sharahatan ( tersurat ) dan istilzaman ( tersirat ).[8]

Sighat Sharahatan
1.      Kata kerja bentuk perintah (Fi’l amar), contohnya Firman Allah SWT: “ أقم الصلاة” artinya : “Dirikanlah Shalat” (QS:2:78).
2.      Fi’il mudhari’ yang disertai dengan lam amar (huru lam yang menunjukkan perintah); contohnya Firman Allah SWT : “فمن شهد منكم الشهر فليصمه” artinya: “ Barang siapa diantara kamu yang menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa”(QS:2:185).
3.      Isim fi’l amar, contohnya firman Allah SWT :“عليكم أنفسكم من ضل إذا اهتديتم” artinya : “Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”(QS:5:105).
4.      Mashdar pengganti fi’il yang menunjukkan suatu perintah, contoh perintah Allah SWT : “فإذا لقيتم الذين كفروا فضرب الرقاب” artinya : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka.” (QS:47:4).

Sighat istilzaman
1.      Berita (khabar) yang mengandung arti perintah. Contohnya firman Allah SWT:
"يأيها الذين أمنوا هل أدلكم على تجارة تنجيكم من عذاب أليم تؤمنون بالله وتجاهدون في سبيل الله بأموالكم وأنفسكم"
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, (QS. 61:10-11)
2.      Pemberitahuan akan kewajiban suatu perbuatan pada manusia. Contohnya firman Allah SWT: "ولله على الناس حج البيت من استطاتع إليه سبيلا"  artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. 3:97).
3.      Pemberitahuan bahwa suatu perbuatan merupakan kewajiban. Contohnya firman Allah SWT: "كتب عليكم الصيام" artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang” (QS. 2:216).
4.      Pemberitahuan bahwa suatu perbuatan dipandang baik. Contohnya firman Allah SWT: "ويسألونك عن اليتامى قل إصلاح لهم خير" artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik” (QS. 2:220).
5.      Pemberitahuan perihal seseorang terhadap satu perbuatan yang dituntut darinya. Contoh  firman Allah SWT: "والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا" artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”. (QS. 2:234)
6.      Pensifatan suatu pekerjaan yang menerangkan bahwa pekerjaan tersebut adalah wajib. Contohnya firman Allah swt : " قد علمنا ما فرضنا عليهم فى أزواجهم " artinya: “. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka”. (QS. 33:50)
7.      Penyebutan suatu perbuatan (fi’l) sebagai balasan dari syarat yang ditentukan. Contohnya firman Allah swt: " فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي "  artinya : “Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat”. (QS. 2:196)
8.      Penyertaan pahala terhadap satu perbuatan. Contohnya firman Allah swt :
  "ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات"   artinya : “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga” (QS. 4:13)
9.      Adanya pujian bagi pelaku ataupun perbuatan yang dilakukan. Contohnya Firman Allah Swt : "والذين أمنوا بالله ورسوله أولئك هم الصديقون والشهداء عند ربهم " artinya: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang yang Shiddiqin dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka”. (QS. 57:19)
10.  Penyertaan sebuah ungkapan ancaman jika tidak melakukan perbuatan yang dimaksud. Contohnya Firman Allah Swt:  "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون"  artinya : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44).

(Fery Ramadhansyah, Lc.)



[1] Lihat Mu’jam al wasith terbitan Majma’ al lughat al arabiyyat, Mesir. h, 26
[2] Hamdi Shabah Taha, mabahis ushuliyyah, (diktat fakultas Syariah tahun 3 universitas Al azhar –Kairo) lihat pada pembahasan “ mafhum al amr”.
[3] Tuntutan yang berasal dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.
[4] Muhammad bin Shalih al usaimin, Syarh al ushul min ilm al ushul, (Manshurah; Maktabah al Aiman), h.124
[6] Lihat kitab al mu’tamid karya abu husain al bashri, Tanqih al fushul karya al qarafi, Nihayat as sul karya Asnawi.
[7] Lihat surat AL a’raf :110.
[8] Hamdi Shabah Taha, op.cit., h.132-135



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About