Rabu, 10 April 2013

Kehujjahan Qiyas

Kehujjahan Qiyas | Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima pendapat mengenai hal ini.[1]
1.      Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya berdasarkan syar’i.
2.      Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql menunjukkan kehujjahan qiyas.
3.      Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal:
a.       Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ (الإيماء)
b.      Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.

4.      Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski secara akal bisa.
5.      Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa kehujjahan qiyas mustahil secara akal.

Secara garis besar, lima pendapat ini dapat dikelompokkan dalam dua pendapat yatiu antara menerima kehujjahan qiyas dan kelompok yang menolaknya. Berikut dalil-dalil masing-masing.
1.      Dalil mazhab kehujjahan qiyas
a.       Alquran:
·         Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka kembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum yang menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari alquran dan sunnah untuk dikiaskan kepada hukum yang diperselisihkan yang ada nashnya, karena keduanya memiliki illat yang sama yaitu adanya hukum yang diperselisihkan.[2]
·         Surat Ali Imran ayat 59. Allah menyamakan penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa seorang bapak, keterkaitan sama-sama tidak punya bapak merupakan illah penyamaan kedua Nabi tersebut.[3]
b.      Sunnah:
·         Rasulullah mengutus Muaz dan Abu musa ke Yaman sebagai qadhi. Rasulullah bertanya pada mereka. “ بما تقضيان؟ فقالا إذا لم نجد الحكم فى السنة نقيس الأمر بالأمر فما كان أقرب إلى الحق عملنا به. فقال عليه الصلاة والسلام : أصبتما "
Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah saw membenarkan qiyas[4]
c.       Ijma’:
·         Para sahabat ada mengeluarkan pendapat dengan cara qiyas seperti Abu Bakr dan Umar. Pendapat mereka tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang sebagai ijma’.[5]
d.      Aqliy:
·         Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan sama dalam hukum. Pengingkaran terhadap qiyas merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.
2.      Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas
a.       Alquran:
·         ولا تقف ما ليس لك به علم”. Dalam qiyas, hukum far’u belum diketahui status hukumnya, dan qiyas adalah zhanniy, mengikuti qiyas berarti mengikuti sesuatu yang tidak diketahui.[6]
·         يأيها اللذين أمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله  " ”.[7] Ayat ini melarang beramal dengan selain Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas berarti mendahului Alquran dan sunnah.[8]

b.      Sunnah:
·         Sabda Rasulullah " تعمل هذه الأمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فإذا فعلوا ذالك فقد ضلوا"  Beramal dengan qiyas akan berakibat kepada kesesatan.[9]
c.       Ijma’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyas. Dan tidak ada pengingkaran hal tersebut. Maka ini menjadi sebuah ijma’.[10]

d.      Aqliy:
Menggunakan qiyas akan menyebabkan perselisihan dan pertikaian[11]. Dan ini dilarang oleh Allah, ولا تنازعوا "  "[12]
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan hangat dan panjang. Masing-masing pihak membantah dan menjawab balik kritikan yang ada.
Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah Ibn Hazm. Dalam bukunya ia menjelaskan argumentasi penolakannya terhadap qiyas.
nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi  fi zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.[13]
Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
a.    Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.[14]  
b.   Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas bukan karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah,
"[15]  " أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم
Ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah anak bukan karena penerapan qiyas, tapi karena adanya nash yang membolehkan hal tersebut yaitu, hadits nabi saw,
 ان أطيب ماأكل أحدكم من كسبه وان ولد أحدكم من كسبه  " [16]

(Aidil Susandi, Lc.)

[1] Lihat Al Isnawiy, Nihayah as Suul..., 305-306. 
[2] Al-Hadiy al-Kirru, Ushul at-Tasyri’…, 50
[3] Ibid., 51
[4] Al Isnawiy, Nihayah as Suul..., 307-308
[5] Ibid., 308
[6] Al-Hadiy al-Kirru, Ushul at-Tasyri’…, 54
[7] Q.S. al-Hujurat: 1
[8] Wahbah, Ushul akat-Tasyri’…, 1/610-611
[9] Ibid., 614
[10] Ibid., 617
[11] Al Isnawiy, Nihayah as Suul..., 310
[12] Q.S. al-Anfal: 47
[13] Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.) juz 7, h. 56
[14] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, ter. Halid Alkaf (Jakarta:Penerbit Lentera, 2001), hal. 190
[15] Q.S. an-Nur: 61
[16] Lebih jelasnya lihat al-Ihkam pada bab 30 tentang pembatalan qiyas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About