1. Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya
berdasarkan syar’i.
2. Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql menunjukkan
kehujjahan qiyas.
3. Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal:
a. Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ (الإيماء)
b. Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman
memukul orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.
4. Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat,
meski secara akal bisa.
5. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa kehujjahan qiyas
mustahil secara akal.
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat dikelompokkan dalam dua pendapat yatiu antara menerima kehujjahan qiyas dan kelompok yang menolaknya.
Berikut dalil-dalil masing-masing.
1. Dalil mazhab kehujjahan qiyas
a. Alquran:
·
Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka kembalikan kepada
Allah dan RasulNya yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum
yang menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari alquran dan sunnah
untuk dikiaskan kepada hukum yang diperselisihkan yang ada nashnya,
karena keduanya memiliki illat yang sama yaitu adanya hukum yang
diperselisihkan.[2]
·
Surat Ali Imran ayat 59. Allah menyamakan
penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa seorang bapak, keterkaitan sama-sama tidak
punya bapak merupakan illah penyamaan kedua Nabi tersebut.[3]
b. Sunnah:
·
Rasulullah mengutus Muaz dan Abu musa ke Yaman
sebagai qadhi. Rasulullah bertanya pada mereka. “ بما تقضيان؟ فقالا إذا لم نجد الحكم فى السنة نقيس الأمر بالأمر فما
كان أقرب إلى الحق عملنا به. فقال عليه الصلاة والسلام : أصبتما "
Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah saw
membenarkan qiyas[4]
c. Ijma’:
·
Para sahabat ada mengeluarkan pendapat dengan
cara qiyas seperti Abu Bakr dan Umar. Pendapat mereka tidak ada yang
mengingkari. Maka ini dipandang sebagai ijma’.[5]
d. Aqliy:
·
Akal
tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan sama dalam hukum. Pengingkaran
terhadap qiyas merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.
2. Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas
a. Alquran:
·
“ ولا تقف ما ليس لك
به علم”. Dalam qiyas,
hukum far’u belum diketahui status hukumnya, dan qiyas adalah zhanniy,
mengikuti qiyas berarti mengikuti sesuatu yang tidak diketahui.[6]
·
يأيها اللذين أمنوا لا تقدموا بين يدي الله
ورسوله " ”.[7]
Ayat ini melarang beramal dengan selain Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas
berarti mendahului Alquran dan sunnah.[8]
b. Sunnah:
·
Sabda Rasulullah " تعمل هذه الأمة برهة بالكتاب وبرهة
بالسنة وبرهة بالقياس فإذا فعلوا ذالك فقد ضلوا" Beramal dengan qiyas akan berakibat
kepada kesesatan.[9]
c. Ijma’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyas.
Dan tidak ada pengingkaran hal tersebut. Maka ini menjadi sebuah ijma’.[10]
d. Aqliy:
Menggunakan qiyas akan menyebabkan
perselisihan dan pertikaian[11].
Dan ini dilarang oleh Allah, ولا
تنازعوا " "[12]
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan
hangat dan panjang. Masing-masing pihak membantah dan menjawab balik kritikan yang
ada.
Diantara
ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah Ibn Hazm.
Dalam bukunya ia menjelaskan argumentasi penolakannya terhadap qiyas.
“nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa
nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah
ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi fi zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza
wajalla bi irad al barahin al wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.[13]
Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn
Hazm terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
a.
Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya
dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak
disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti membuat
hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.[14]
b.
Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas bukan
karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang
tidak tepat. Misalnya, firman Allah,
Ayat di sini tidak
menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada kebolehan
makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah anak bukan karena
penerapan qiyas, tapi karena adanya nash yang membolehkan hal
tersebut yaitu, hadits nabi saw,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar