·
الضرورة تبيح
المحظورات (keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang)
Ini adalah
kaidah turunan yang penting dari masyaqqah tajlib taysir. Syariat
diturunkan untuk menjaga kemaslahatan manusia dan mencegah kemafsadatan.
Dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya hal-hal yang tidak terduga dan darurat
dirasakan oleh manusia. Sehingga untuk menghindari hal-hal yang dilarang
menjadi suatu yang sangat sulit. Dilain sisi, agama diturunkan untuk kemudahan
bukan suatu kesusahan. Dalam keadaan seperti itu bagaimana posisi seorang
muslim menjalankan agamanya?
Melalui
kaidah ini, yang dirumuskan dari Alquran dan sunnah bahwa dalam keadaan darurat
seseorang dapat mengerjakan hal-hal yang dilarang. Namun bukan berarti
kaidah ini dapat dipakai seenaknya tanpa batasan-batasan yang perlu
diperhatikan. Untuk itu, batasan-batasan darurat perlu diketahui.
Adapun
ketentuan dan batasan darurat itu adalah:[1]
(1) keadaan darurat benar-benar terjadi, (2) Tidak ada media/jalan mubah
lain untuk mencegah kemudaratan tersebut, (3) Darurat menyangkut
kebinasaan/kerusakan jiwa dan tubuh, (4) orang yang mengalami keadaan darurat
itu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan akidah Islam, dan melanggar
hak-hak orang lain, (4) mahzurat yang dibolehkan itu dalam ukuran
sedikit, (5) diketahui wali al-amr ketika darurat umum
Kaidah dharurah
tubih al-mahzurat diambil dari kata-kata pengecualian yang terdapat dalam nash Alquran[2]. Diantara
dalilnya,
Ayat Alquran
yang artinya, “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya (إلا مااضطررتم به ).[3]
“...Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[4]
Contoh dari kaidah ini: makan bangkai untuk mencegah
kebinasaan diri, boleh mengucapkan kalimat kufur (hati tetap beriman).[5]
·
إذا ضاق الأمر إتسع (bila suatu
perintah itu menyusahkan, maka meluas [mudah] )
Makna kaidah
ini adalah apabila seorang mukallaf ditimpa kesusahan yang menyebabkan sulit
untuk mengerjakan sesuatu, maka ia mendapatkan keluasan dan kemudahan. Kaidah
ini semakna dengan kaidah induknya. Kaidah ini pertama sekali dilontarkan oleh
Imam Syafii dengan kata-katanya yang menjadi rumusan kaidah fiqih itu sendiri.[6]
Contoh fiqih kaidah ini, dimaafkannya najis-najis yang sedikit dan darah. Boleh
mencegah pencuri dari perbuatan jahatnya bahkan memungkinkan untuk membunuh (
bila susah untuk dicegah)[7].
·
إذا اتسع ضاق (Apabila
keluasan kembali maka persoalan kembali kesemula)
Kaidah ini kebalikan dari sebelumnya. Apabila keadaan
darurat atau kesusahan itu sudah hilang, maka perkara kembali kepada semula.[8]
·
ما أبيح
للضرورة يتقدر بقدرها (sesuai yang
dibolehkan karena darurat sesuai dengan ukuran kedaruratan itu)
Kaidah ini merupakan batasan bagi kaidah adh-dharurah
tubih al-mahzurat. Bahwa keringanan yang dibolehkan karena darurat hanya
sebatas untuk menghilangkan keadaan darurat saja, tidak boleh berlebihan. Orang
yang terpaksa makan bangkai hanya dibolehkan sebatas hilangnya rasa lapar yang
membinasakan saja. Tidak boleh lebih.[9]
·
ما جاز لعذر بطل بزواله (apa
yang dibolehkan karena uzur, akan batal dengan hilangnya ke uzuran itu)
Kebolehan sesuatu yang dilarang itu hanya sebatas adanya
kedaruratan. Ketika darurat hilang, maka hilang pula kebolehan itu.[10]
Orang dapat bertayamum karena tidak ada air. Namun ketika ada air maka setelah
itu tidak boleh lagi bertayamum
·
الحاجة تنزل
منزلة الضرورة عامة كانت خاصة (
kebutuhan itu dapat menempati posisi kedaruratan umum ataupun khusus)
Rukhsah dan kemudahan yang diberikan
Allah bukan hanya terbatas pada peorsoalan darurat saja. Namun kemudahan itu
juga dapat disebabka karena kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun khusus. Tapi tentu saja ada
aturan dan syarat-syarat yang dibuat para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu
sama posisinya dengan keadaan darurat. Contohnya bai’ salam yang
dibolehkan karena kebutuhan manusia terhadap akad ini.[11]
·
الإضطرار لا
يبطل حق الغير (Menepis kedaruratan tidak boleh
menghilangkan hak orang lain)
Kaidah ini merupakan bentuk pengecualian dari kaidah adh-dharurah
tubih al-mahzurat. Bahwa jika seseorang terpaksa memakan harta orang lain,
ia tetap harus mengganti barang yang dimakannya itu.[12]
Kaidah ini juga terkait dengan kaidah adh-dharar la yuzal bi adh-dharar.[13]
·
الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu perintah yang tidak dapat dikerjakan secara
sempurna tidak berarti harus ditinggalkan. Tetapi tetap mengerjakan hal-hal
yang mampu dikerjakan. [14]
Kaidah ini
diambil dari Alquran, فاتقواالله
ماستطعتم[15] dan juga hadits Rasulullah saw, yang artinya,
“sesuatu yang aku larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku
perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian…)[16]
Penerapan
dari kaidah ini adalah, apabila seseorang tidak mampu membaca al-fatihah keseluruhan, ia tetap harus
membaca potongan ayat al-fatihah lainnya. Akan tetapi kaidah ini tidak dapat
diterapkan pada puasa. Karena puasa harus satu hari penuh tanpa
sebagian-sebagian.[17]
(Aidil Susandi, Lc.)
[1] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 250
[5] Izzat Ubaid
ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 43. Lihat juga Abdul Hamid
Hakim, Mabadi’, hal. 32
[6] Izzat Ubaid
ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 42. Lihat juga Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah,
1417 H) hal. 266
[8] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 266
[11] [11] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 288
[13] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 298
·
الضرورة تبيح
المحظورات (keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang)
Ini adalah
kaidah turunan yang penting dari masyaqqah tajlib taysir. Syariat
diturunkan untuk menjaga kemaslahatan manusia dan mencegah kemafsadatan.
Dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya hal-hal yang tidak terduga dan darurat
dirasakan oleh manusia. Sehingga untuk menghindari hal-hal yang dilarang
menjadi suatu yang sangat sulit. Dilain sisi, agama diturunkan untuk kemudahan
bukan suatu kesusahan. Dalam keadaan seperti itu bagaimana posisi seorang
muslim menjalankan agamanya?
Melalui
kaidah ini, yang dirumuskan dari Alquran dan sunnah bahwa dalam keadaan darurat
seseorang dapat mengerjakan hal-hal yang dilarang. Namun bukan berarti
kaidah ini dapat dipakai seenaknya tanpa batasan-batasan yang perlu
diperhatikan. Untuk itu, batasan-batasan darurat perlu diketahui.
Adapun
ketentuan dan batasan darurat itu adalah:[1]
(1) keadaan darurat benar-benar terjadi, (2) Tidak ada media/jalan mubah
lain untuk mencegah kemudaratan tersebut, (3) Darurat menyangkut
kebinasaan/kerusakan jiwa dan tubuh, (4) orang yang mengalami keadaan darurat
itu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan akidah Islam, dan melanggar
hak-hak orang lain, (4) mahzurat yang dibolehkan itu dalam ukuran
sedikit, (5) diketahui wali al-amr ketika darurat umum
Kaidah dharurah
tubih al-mahzurat diambil dari kata-kata pengecualian yang terdapat dalam nash Alquran[2]. Diantara
dalilnya,
Ayat Alquran
yang artinya, “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya (إلا مااضطررتم به ).[3]
“...Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[4]
Contoh dari kaidah ini: makan bangkai untuk mencegah
kebinasaan diri, boleh mengucapkan kalimat kufur (hati tetap beriman).[5]
·
إذا ضاق الأمر إتسع (bila suatu
perintah itu menyusahkan, maka meluas [mudah] )
Makna kaidah
ini adalah apabila seorang mukallaf ditimpa kesusahan yang menyebabkan sulit
untuk mengerjakan sesuatu, maka ia mendapatkan keluasan dan kemudahan. Kaidah
ini semakna dengan kaidah induknya. Kaidah ini pertama sekali dilontarkan oleh
Imam Syafii dengan kata-katanya yang menjadi rumusan kaidah fiqih itu sendiri.[6]
Contoh fiqih kaidah ini, dimaafkannya najis-najis yang sedikit dan darah. Boleh
mencegah pencuri dari perbuatan jahatnya bahkan memungkinkan untuk membunuh (
bila susah untuk dicegah)[7].
·
إذا اتسع ضاق (Apabila
keluasan kembali maka persoalan kembali kesemula)
Kaidah ini kebalikan dari sebelumnya. Apabila keadaan
darurat atau kesusahan itu sudah hilang, maka perkara kembali kepada semula.[8]
·
ما أبيح
للضرورة يتقدر بقدرها (sesuai yang
dibolehkan karena darurat sesuai dengan ukuran kedaruratan itu)
Kaidah ini merupakan batasan bagi kaidah adh-dharurah
tubih al-mahzurat. Bahwa keringanan yang dibolehkan karena darurat hanya
sebatas untuk menghilangkan keadaan darurat saja, tidak boleh berlebihan. Orang
yang terpaksa makan bangkai hanya dibolehkan sebatas hilangnya rasa lapar yang
membinasakan saja. Tidak boleh lebih.[9]
·
ما جاز لعذر بطل بزواله (apa
yang dibolehkan karena uzur, akan batal dengan hilangnya ke uzuran itu)
Kebolehan sesuatu yang dilarang itu hanya sebatas adanya
kedaruratan. Ketika darurat hilang, maka hilang pula kebolehan itu.[10]
Orang dapat bertayamum karena tidak ada air. Namun ketika ada air maka setelah
itu tidak boleh lagi bertayamum
·
الحاجة تنزل
منزلة الضرورة عامة كانت خاصة (
kebutuhan itu dapat menempati posisi kedaruratan umum ataupun khusus)
Rukhsah dan kemudahan yang diberikan
Allah bukan hanya terbatas pada peorsoalan darurat saja. Namun kemudahan itu
juga dapat disebabka karena kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun khusus. Tapi tentu saja ada
aturan dan syarat-syarat yang dibuat para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu
sama posisinya dengan keadaan darurat. Contohnya bai’ salam yang
dibolehkan karena kebutuhan manusia terhadap akad ini.[11]
·
الإضطرار لا
يبطل حق الغير (Menepis kedaruratan tidak boleh
menghilangkan hak orang lain)
Kaidah ini merupakan bentuk pengecualian dari kaidah adh-dharurah
tubih al-mahzurat. Bahwa jika seseorang terpaksa memakan harta orang lain,
ia tetap harus mengganti barang yang dimakannya itu.[12]
Kaidah ini juga terkait dengan kaidah adh-dharar la yuzal bi adh-dharar.[13]
·
الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu perintah yang tidak dapat dikerjakan secara
sempurna tidak berarti harus ditinggalkan. Tetapi tetap mengerjakan hal-hal
yang mampu dikerjakan. [14]
Kaidah ini
diambil dari Alquran, فاتقواالله
ماستطعتم[15] dan juga hadits Rasulullah saw, yang artinya,
“sesuatu yang aku larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku
perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian…)[16]
Penerapan
dari kaidah ini adalah, apabila seseorang tidak mampu membaca al-fatihah keseluruhan, ia tetap harus
membaca potongan ayat al-fatihah lainnya. Akan tetapi kaidah ini tidak dapat
diterapkan pada puasa. Karena puasa harus satu hari penuh tanpa
sebagian-sebagian.[17]
(Aidil Susandi, Lc.)
[1] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 250
[5] Izzat Ubaid
ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 43. Lihat juga Abdul Hamid
Hakim, Mabadi’, hal. 32
[6] Izzat Ubaid
ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 42. Lihat juga Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah,
1417 H) hal. 266
[8] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 266
[11] [11] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 288
[13] Dr. Shalih Ibn
Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar
al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 298
مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ) [الأنعام:119].
BalasHapus