Selasa, 16 April 2013

Kaidah Turunan al-Masyaqqah Tajlib at-Taysir

Kaidah al-masyaqqah tajlib at-taysir ini banyak menghasilkan kaidah-kaidah turunan. Diantara kaidah turunan yang umum sebagai berikut:

·         الضرورة تبيح المحظورات   (keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang)   

Ini adalah kaidah turunan yang penting dari masyaqqah tajlib taysir. Syariat diturunkan untuk menjaga kemaslahatan manusia dan mencegah kemafsadatan. Dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya hal-hal yang tidak terduga dan darurat dirasakan oleh manusia. Sehingga untuk menghindari hal-hal yang dilarang menjadi suatu yang sangat sulit. Dilain sisi, agama diturunkan untuk kemudahan bukan suatu kesusahan. Dalam keadaan seperti itu bagaimana posisi seorang muslim menjalankan agamanya?


Melalui kaidah ini, yang dirumuskan dari Alquran dan sunnah bahwa dalam keadaan darurat seseorang dapat mengerjakan hal-hal yang  dilarang. Namun bukan berarti kaidah ini dapat dipakai seenaknya tanpa batasan-batasan yang perlu diperhatikan. Untuk itu, batasan-batasan darurat perlu diketahui.

Adapun ketentuan dan batasan darurat itu adalah:[1] (1) keadaan darurat benar-benar terjadi, (2)  Tidak ada media/jalan mubah lain untuk mencegah kemudaratan tersebut, (3) Darurat menyangkut kebinasaan/kerusakan jiwa dan tubuh, (4) orang yang mengalami keadaan darurat itu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan akidah Islam, dan melanggar hak-hak orang lain, (4) mahzurat yang dibolehkan itu dalam ukuran sedikit, (5) diketahui wali al-amr ketika darurat umum
Kaidah dharurah tubih al-mahzurat diambil dari kata-kata pengecualian yang terdapat dalam nash Alquran[2]. Diantara dalilnya,

Ayat Alquran yang artinya, “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya (إلا مااضطررتم به ).[3]
“...Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[4]

Contoh dari kaidah ini: makan bangkai untuk mencegah kebinasaan diri, boleh mengucapkan kalimat kufur (hati tetap beriman).[5]

·         إذا ضاق الأمر إتسع  (bila suatu perintah itu menyusahkan, maka meluas [mudah] )

Makna kaidah ini adalah apabila seorang mukallaf ditimpa kesusahan yang menyebabkan sulit untuk mengerjakan sesuatu, maka ia mendapatkan keluasan dan kemudahan. Kaidah ini semakna dengan kaidah induknya. Kaidah ini pertama sekali dilontarkan oleh Imam Syafii dengan kata-katanya yang menjadi rumusan kaidah fiqih itu sendiri.[6] Contoh fiqih kaidah ini, dimaafkannya najis-najis yang sedikit dan darah. Boleh mencegah pencuri dari perbuatan jahatnya bahkan memungkinkan untuk membunuh ( bila susah untuk dicegah)[7].

·         إذا اتسع ضاق (Apabila keluasan kembali maka persoalan kembali kesemula)
Kaidah ini kebalikan dari sebelumnya. Apabila keadaan darurat atau kesusahan itu sudah hilang, maka perkara kembali kepada semula.[8]

·         ما أبيح للضرورة يتقدر بقدرها (sesuai yang dibolehkan karena darurat sesuai dengan ukuran kedaruratan itu)

Kaidah ini merupakan batasan bagi kaidah adh-dharurah tubih al-mahzurat. Bahwa keringanan yang dibolehkan karena darurat hanya sebatas untuk menghilangkan keadaan darurat saja, tidak boleh berlebihan. Orang yang terpaksa makan bangkai hanya dibolehkan sebatas hilangnya rasa lapar yang membinasakan saja. Tidak boleh lebih.[9] 

·         ما جاز لعذر بطل بزواله (apa yang dibolehkan karena uzur, akan batal dengan hilangnya ke uzuran itu)

Kebolehan sesuatu yang dilarang itu hanya sebatas adanya kedaruratan. Ketika darurat hilang, maka hilang pula kebolehan itu.[10] Orang dapat bertayamum karena tidak ada air. Namun ketika ada air maka setelah itu tidak boleh lagi bertayamum

·         الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت خاصة ( kebutuhan itu dapat menempati posisi kedaruratan umum ataupun khusus)

Rukhsah dan kemudahan yang diberikan Allah bukan hanya terbatas pada peorsoalan darurat saja. Namun kemudahan itu juga dapat disebabka karena kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun khusus. Tapi tentu saja ada aturan dan syarat-syarat yang dibuat para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu sama posisinya dengan keadaan darurat. Contohnya bai’ salam yang dibolehkan karena kebutuhan manusia terhadap akad ini.[11]

·         الإضطرار لا يبطل حق الغير (Menepis kedaruratan tidak boleh menghilangkan hak orang lain)

Kaidah ini merupakan bentuk pengecualian dari kaidah adh-dharurah tubih al-mahzurat. Bahwa jika seseorang terpaksa memakan harta orang lain, ia tetap harus mengganti barang yang dimakannya itu.[12] Kaidah ini juga terkait dengan kaidah adh-dharar la yuzal bi adh-dharar.[13]

·         الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu perintah yang tidak dapat dikerjakan secara sempurna tidak berarti harus ditinggalkan. Tetapi tetap mengerjakan hal-hal yang mampu dikerjakan. [14]
Kaidah ini diambil dari Alquran, فاتقواالله ماستطعتم[15]  dan juga hadits Rasulullah saw, yang artinya, “sesuatu yang aku larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian…)[16]

Penerapan dari kaidah ini adalah, apabila seseorang tidak mampu membaca al-fatihah keseluruhan, ia tetap harus membaca potongan ayat al-fatihah lainnya. Akan tetapi kaidah ini tidak dapat diterapkan pada puasa. Karena puasa harus satu hari penuh tanpa sebagian-sebagian.[17]
(Aidil Susandi, Lc.)



[1]  Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 250


[2] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah.., cet. 3  (Beirut:Dar at-Tirmidzi, 1989) hal. 43
[3] Q.S. al-An’am 119
[4] Q.S. al-Maidah: 3
[5] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 43. Lihat juga Abdul Hamid Hakim, Mabadi’, hal. 32
[6] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 42. Lihat juga Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 266

[7] Ahmad bin Syaikh Muhammad..., Syarh al-Qawaid..., hal.164
[8] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 266

[9] Ibid., hal. 272
[10] Ahmad bin Syaikh Muhammad..., Syarh al-Qawaid..., hal.189
[11] [11] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 288
[12] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 44
[13] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 298
[14] Ibid., hal. 314
[15] Q.S. at-Taghabun: 16
[16] Ibid., hal. 315 mengutip Shahih Muslim
[17] Ibid., 321

Kaidah al-masyaqqah tajlib at-taysir ini banyak menghasilkan kaidah-kaidah turunan. Diantara kaidah turunan yang umum sebagai berikut:

·         الضرورة تبيح المحظورات   (keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang)   

Ini adalah kaidah turunan yang penting dari masyaqqah tajlib taysir. Syariat diturunkan untuk menjaga kemaslahatan manusia dan mencegah kemafsadatan. Dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya hal-hal yang tidak terduga dan darurat dirasakan oleh manusia. Sehingga untuk menghindari hal-hal yang dilarang menjadi suatu yang sangat sulit. Dilain sisi, agama diturunkan untuk kemudahan bukan suatu kesusahan. Dalam keadaan seperti itu bagaimana posisi seorang muslim menjalankan agamanya?


Melalui kaidah ini, yang dirumuskan dari Alquran dan sunnah bahwa dalam keadaan darurat seseorang dapat mengerjakan hal-hal yang  dilarang. Namun bukan berarti kaidah ini dapat dipakai seenaknya tanpa batasan-batasan yang perlu diperhatikan. Untuk itu, batasan-batasan darurat perlu diketahui.

Adapun ketentuan dan batasan darurat itu adalah:[1] (1) keadaan darurat benar-benar terjadi, (2)  Tidak ada media/jalan mubah lain untuk mencegah kemudaratan tersebut, (3) Darurat menyangkut kebinasaan/kerusakan jiwa dan tubuh, (4) orang yang mengalami keadaan darurat itu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan akidah Islam, dan melanggar hak-hak orang lain, (4) mahzurat yang dibolehkan itu dalam ukuran sedikit, (5) diketahui wali al-amr ketika darurat umum
Kaidah dharurah tubih al-mahzurat diambil dari kata-kata pengecualian yang terdapat dalam nash Alquran[2]. Diantara dalilnya,

Ayat Alquran yang artinya, “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya (إلا مااضطررتم به ).[3]
“...Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[4]

Contoh dari kaidah ini: makan bangkai untuk mencegah kebinasaan diri, boleh mengucapkan kalimat kufur (hati tetap beriman).[5]

·         إذا ضاق الأمر إتسع  (bila suatu perintah itu menyusahkan, maka meluas [mudah] )

Makna kaidah ini adalah apabila seorang mukallaf ditimpa kesusahan yang menyebabkan sulit untuk mengerjakan sesuatu, maka ia mendapatkan keluasan dan kemudahan. Kaidah ini semakna dengan kaidah induknya. Kaidah ini pertama sekali dilontarkan oleh Imam Syafii dengan kata-katanya yang menjadi rumusan kaidah fiqih itu sendiri.[6] Contoh fiqih kaidah ini, dimaafkannya najis-najis yang sedikit dan darah. Boleh mencegah pencuri dari perbuatan jahatnya bahkan memungkinkan untuk membunuh ( bila susah untuk dicegah)[7].

·         إذا اتسع ضاق (Apabila keluasan kembali maka persoalan kembali kesemula)
Kaidah ini kebalikan dari sebelumnya. Apabila keadaan darurat atau kesusahan itu sudah hilang, maka perkara kembali kepada semula.[8]

·         ما أبيح للضرورة يتقدر بقدرها (sesuai yang dibolehkan karena darurat sesuai dengan ukuran kedaruratan itu)

Kaidah ini merupakan batasan bagi kaidah adh-dharurah tubih al-mahzurat. Bahwa keringanan yang dibolehkan karena darurat hanya sebatas untuk menghilangkan keadaan darurat saja, tidak boleh berlebihan. Orang yang terpaksa makan bangkai hanya dibolehkan sebatas hilangnya rasa lapar yang membinasakan saja. Tidak boleh lebih.[9] 

·         ما جاز لعذر بطل بزواله (apa yang dibolehkan karena uzur, akan batal dengan hilangnya ke uzuran itu)

Kebolehan sesuatu yang dilarang itu hanya sebatas adanya kedaruratan. Ketika darurat hilang, maka hilang pula kebolehan itu.[10] Orang dapat bertayamum karena tidak ada air. Namun ketika ada air maka setelah itu tidak boleh lagi bertayamum

·         الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت خاصة ( kebutuhan itu dapat menempati posisi kedaruratan umum ataupun khusus)

Rukhsah dan kemudahan yang diberikan Allah bukan hanya terbatas pada peorsoalan darurat saja. Namun kemudahan itu juga dapat disebabka karena kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun khusus. Tapi tentu saja ada aturan dan syarat-syarat yang dibuat para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu sama posisinya dengan keadaan darurat. Contohnya bai’ salam yang dibolehkan karena kebutuhan manusia terhadap akad ini.[11]

·         الإضطرار لا يبطل حق الغير (Menepis kedaruratan tidak boleh menghilangkan hak orang lain)

Kaidah ini merupakan bentuk pengecualian dari kaidah adh-dharurah tubih al-mahzurat. Bahwa jika seseorang terpaksa memakan harta orang lain, ia tetap harus mengganti barang yang dimakannya itu.[12] Kaidah ini juga terkait dengan kaidah adh-dharar la yuzal bi adh-dharar.[13]

·         الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu perintah yang tidak dapat dikerjakan secara sempurna tidak berarti harus ditinggalkan. Tetapi tetap mengerjakan hal-hal yang mampu dikerjakan. [14]
Kaidah ini diambil dari Alquran, فاتقواالله ماستطعتم[15]  dan juga hadits Rasulullah saw, yang artinya, “sesuatu yang aku larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian…)[16]

Penerapan dari kaidah ini adalah, apabila seseorang tidak mampu membaca al-fatihah keseluruhan, ia tetap harus membaca potongan ayat al-fatihah lainnya. Akan tetapi kaidah ini tidak dapat diterapkan pada puasa. Karena puasa harus satu hari penuh tanpa sebagian-sebagian.[17]
(Aidil Susandi, Lc.)



[1]  Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 250


[2] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah.., cet. 3  (Beirut:Dar at-Tirmidzi, 1989) hal. 43
[3] Q.S. al-An’am 119
[4] Q.S. al-Maidah: 3
[5] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 43. Lihat juga Abdul Hamid Hakim, Mabadi’, hal. 32
[6] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 42. Lihat juga Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 266

[7] Ahmad bin Syaikh Muhammad..., Syarh al-Qawaid..., hal.164
[8] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 266

[9] Ibid., hal. 272
[10] Ahmad bin Syaikh Muhammad..., Syarh al-Qawaid..., hal.189
[11] [11] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 288
[12] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah..., hal. 44
[13] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 298
[14] Ibid., hal. 314
[15] Q.S. at-Taghabun: 16
[16] Ibid., hal. 315 mengutip Shahih Muslim
[17] Ibid., 321

1 komentar:

  1. مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ) [الأنعام:119].

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll

About