Secara bahasa qiyas bermakna al-qadru, ukuran.[1]
Juga bermakna taswiyah, ta’dil dan tanzir. [2]
Qiyas adalah membandingkan satu hal dengan yang lain, atau penyamaan
terhadap dua hal.[3]
Secara istilah, ada banyak ragam defenisi yang
dibuat para ulama. Mengutip Qadhi
Abu Bakr, Imam Fahhruddin ar-Razi menyebut qiyas:
"حمل معلوم على معلوم فى إثبات حمكم لهما ، أو نفيه عنهما
بأمر جامع بينهما من إثبات حكم أو صفة أو نفيهما عنهما "[4]
Sementara Imam Baidhawiy mendefenisikan:
" إثبات مثل حكم معلوم فى معلوم أخر لاشتراكهما فى علة الحكم عند المثبت
" [5]
Dr. Wahbah Zuhaily, mengutip
al-Luma’ karangan Imam Syirazi memberi defenisi qiyas:
Tanpa mengulas dan
memperdebatkan masing-masing defenisi, secara umum qiyas merupakan
penetapan suatu hukum yang tidak memiliki nash, berdasarkan analogi hukum
yang memiliki nash, dengan syarat adanya kesamaan illah.
RUKUN-RUKUN
QIYAS
Istinbath hukum berdasarkan qiyas
harus memunuhi empat rukun. Bila salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka analogi
hukum menjadi cacat.
Rukun tersebut adalah: al-ashl, al-far’u, hukm al-ashl, dan al-‘illah.
Masing-masing rukun ini akan dibahas satu persatu.
Al-ashl:
Al-ashl memiliki dua pengertian : (1) ma
bunia alaihi ghairuhu (sesuatu yang dibangun diatasnya), (2) Sesuatu yang dapat diketahui dengan
sendirinya tanpa butuh bantuan lain.[7]
Ulama berbeda pendapat mengenai ashl
bagi qiyas. Dalam contoh keharaman nabiz yang dikiaskan pada
keharaman khamar, maka mana yang menjadi ashl
qiyas?
Apakah nash yang mengharamkan khamar, atau khamar
itu sendiri,
atau hukum yang terdapat dalam khamar- haram?[8]
Bagi mutakallimun: Ashl adalah nash yang menunjukkan keharaman khamar. Karena nash
merupakan
sandaran atas keharamannya. Sedangkan fuqaha
perpendapat,
yang menjadi ashl adalah khamar
yang haram itu. Dan menurut pendapat lain, ashl adalah hukum yang terdapat dalam khamar.[9]
Ketiga
pendapat tersebut menyisakan celah kritikan, sebab defenisi mesti jami’ wa
mani’.[10] Dan
tanpa terlibat jauh dalam perdebatan di atas. Pendapat yang lebih kuat adalah
apa yang dikemukakan oleh para fuqaha yaitu ashl bagi qiyas
adalah khamar, yaitu perkara hukum (mahal al hukm) yang
memiliki nash. Al-ashl disebut al maqis alaih, al-mahmul alaih, dan
al-musyabbah alaih. Sedangkan far’u adalah al-maqis (yang
dikiaskan)[11] .
Para ulama ushuliy memberi banyak syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh ashl. Namun syarat yang dikemukakan tumpang
tindih dengan syarat hukum ashal. Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, syarat ashal
hanya satu saja yaitu, bahwa ashl bukan merupakan far’u bagi ashl yang lain.[12]
Al-Far’u
Al-far’u adalah perkara yang belum
memiliki nash dan ijma’[13]
dan perkara yang dituntut penetapan hukumnya.[14]
Posisi al-far’u sebagai al-maqis bagi ashl.[15]
Jadi al-far’u adalah peristiwa dan kejadian yang belum memiliki status
hukum, dan hendak dicari keputusan hukumnya melalui metode qiyas.
Al-far’u dapat menjadi al maqis bagi
ashl bila memenuhi syarat-syarat tertentu. Pada hakikatnya syarat al-far’u yaitu:
Bila
syarat-syarat-syarat di atas tidak dipenuhi al-far’u maka qiyas
menjadi cacat. Karena al-far’u
adalah perkara yang belum ada penetapan hukumnya dan dianalogikan kepada ashl.
Proses analogi akan sempurna bila terdapat kesamaan illah antara ashl
dan far’u.
Bagi
orang Indonesia, beras dikiaskan dengan gandum dalam pengeluaran zakat. Beras
merupakan far’u yang ketetapan hukumnya belum ada dalam nash dan
ijma’ serta penetapan hukumnya berlangsung setelah hukum ashl. Beras
dan diqiaskan terhadap gandum dikarenakan kedua-duanya merupakan makanan
pokok bagi penduduk setempat.
Hukm
al-Ashl
Hukm
ashl adalah Hukum syar’I pada ashl
yang diperoleh dari nash.[19]
Dalam contoh qiyas nabiz terhadap khamar, yang menjadi hukum ashl
adalah keharaman khamar. Keharaman ini diperoleh dari nash.
Hukm
ashl memiliki syarat-syarat
tertentu. Imam al-Amidi membuat delapan syarat hukum ashl, yaitu:[20]
1. Hukum ashl bersifat
syar’I
2. Hukum ashl tsabit
tidak mansukh
3. Dalil penetapannya bersifat
syar’i
4. Hukum ashl tidak lahir
(cabang) dari hukum ashl lainnya
5. Hukum ashl tidak lari
(ma’dul) dari hukum-hukum qiyas. Lari dari hukum qiyas
terbagi dua. (1). Sesuatu yang tidak diketahui maknanya seperti bilangan rakaat
sholat, jumlah nishab dan kafarat. Hal ini tidak bisa menjadi qiyas
bagi yang lain. (2). Sesuatu yang telah disyariatkan sejak awal dan tidak ada
menyerupainya. Seperti rukshah safar dan mengangkat tangan kanan ketika
bersumpah. Ini juga tidak dapat menjadi qiyas.
6. Hukum ashl disepakati
7. Dalil penetapan hukum ashl
bukan dalil penetapan atas hukum far’u
8. Adanya dalil atas illah
hukum ashl (terjadi perbedaan pendapat)
Dan
Syaikh Wahbah Zuhailiy menambahkan beberapa syarat lainnya:[21]
1. Hukum ashl tidak
bersifat khusus. Contoh: kekhususan yang diperoleh Nabi saw atau diterimanya
kesaksian Khuzaimah sendirian –seharusnya dua saksi. Hal-hal khusus ini tidak
dapat dikiaskan dengan orang lain.
2. Hukum ashl mendahului
hukum far’u.
Al-‘Illah
Pembahasan
illah merupakan pembahasan yang banyak menyedot perhatian para ulama.
Karena illah merupakan rukun yang paling menentukan dalam proses analogi hukum.
Defenisinya saja sudah banyak perdebatan.
Imam
Ghazali memberi defenisi: al-washfu al-muatssiru fi al-ahkam bi ja’li
asy-syari’I la lizatihi (sifat yang berkesesuaian terhadap hukum yang dibuat
oleh Allah, bukan karena sifat itu sendiri). Sedangkan Mu’tazilah mengatakan: al-muatssiru
li zatihi fi al-hukm. [22]
Al-Amidi
mendefenisikan illah sebagai al-ba’its ala al-hukm (alasan
hukum). Sedangkan ar-Razi: al-Muarrif lil hukm.[23]
Defenisi
diatas bercorak kalam dan mengundang banyak perdebatan. Pengertian yang lebih
mudah apa yang ditulis oleh Abdul Wahhab Khallaf: Suatu sifat yang dibangun
diatasnya hukum ashl dan keberadaan sifat itu pada far’u dapat
disamakan dengan hukum ashl.[24]
Illah merupakan asas utama bagi qiyas,
dan kesamaan sifat yang terdapat pada ashl dan far’u menghasilkan
hukum pada far’u.[25]
Illah adalah pondasi hukum dan keberadaannya menyebabkan keberadaan
hukum lain.[26] Nabiz
menjadi haram disebabkan adanya illah
keharaman yang sama pada khamar, yaitu memabukkan.
Para
ulama berbeda pendapat dalam merumuskan syarat-syarat illah sebagai asas
terwujud qiyas. Secara keseluruhan ada 24 syarat yang mereka rumuskan[27].
Sebagian syarat disepakati dan sebagian lain terjadi perbedaan .Menurut Dr.
Abdul Halim yang disepakati sangat sedikit sekali -kalau tidak dikatakan tidak
ada sama sekali.[28]
Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf ada empat syarat yang disepakati:[29]
1. Illah harus bersifat zhahir (washfan
zhahiran). Yaitu dapat diketahui oleh panca indra. Seperti zat memabukkan
yang terdapat dalam khamar dan juga nabiz
2. Illah bersifat mundhabit.
Maksudnya bahwa illah memiliki ketetapan sifat yang tidak berbeda pada
setiap kondisi dan keadaan. Seperti zat memabukkan dalam khamar dan nabiz,
yang siapa saja meminumnya akan membuat mabuk. [30]
3. Illah bersifat munasib.
Bahwa illah memiliki keterkaitan dengan maqasid syari’ah.
4. Illah tidak bersifat terbatas pada ashl
semata. Karena jika hanya terdapat pada ashl maka tidak akan bisa
menjadi kiasan bagi far’u
[1] Ibn Manzhur, Lisan
al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif), hal. 3793
[2] Al-Hadiy al-Kirru, Ushul at-Tasyri’ al-Islamiy, cet. 3 (Dar
al-Arabiah lil Kitab, tth), hal. 46
[3] Khalid
Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul al-Fiqh, cet. 1 (Raudhah, 1998) hal. 226
[4] Defenisi yang dikutip Imam Fakhruddin ar-Razi dari Qadhi Abu Bakr
dan ikuti oleh mayoritas muhaqqiq. Lihat Fakhruddin ar-Razi, al-Mahshul fi
‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Muassisah ar-Risalah, t.th) juz 5, h. 5
[5] lihat Al Isnawiy, Nihayah as Suul Syarah Minhaj al Wushul li al Qadiy
al Baidhawiy, cet I (Beirut: Dar al Kutub al- Ilmiah, 1999) h. 303
[6] Wahbah
az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, cet. I (Damaskus: Dar al-Fikr,
1986 ), juz 1, hal. 603
[10] Lebih jelasnya lihat al mahshul, al-Amidiy 238-240. Bagi al-Amidi perbedaan ini
hanya perbedaan lafzhi, kesemuanya dapat menjadi ashl.
[12] Wahbah…, Ushul
al-Fiqh…, 1/634
[13] Ibid.,
606.
[15] Al-Hadiy…, Ushul at-Tasyri’…, hal. 47. Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul…, 60
[16] Lihat Wahbah…,
Ushul al-Fiqh…, 1/645
[17] Ibid.
Lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu al-Ushul…, 61
[18] As-Subkiy, Jam’u
al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh, cet. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,2003)
h. 82. Ar-Razi, al-Mahshul…, 5/371
[19] Lihat Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu al-Ushul…, 61. Wahbah…, Ushul al-fiqh…, 1/606
[20] Al-Amidi, al-Ihkam…,
5/243-245
[21]
Wahbah…, Ushul
al-Fiqh…1/637-638
[23]
Ibid.
[24]
Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu al-Ushul…, 60
[25]
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul al-Fiqh, hal. 187
[27]
Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, cet.1 (Riyadh: Dar al-Fadhilah, 2000) juz
2, hal. 872. Wahbah…,
Ushul al-Fiqh…, 1/652. Zarkasyi, al-Bahr
al-Muhith, cet.2 (Ghardaqah: Dar ash-shafwah, 1992) juz 5, hal. 132
[28]
Abdul Halim Abdur Rahman, Mabahits al-Illah fi al-Qiyas, cet.2 (Beirut:
Dar al-Basyair al-Islamiyah, 2000) hal. 190
[29]
Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu al-Ushul…, 68-70
[30]
Lihat Wahbah, Ushul at-Tasyri’…, 1/655
Tidak ada komentar:
Posting Komentar