Jumat, 12 April 2013

Hukum Islam di Era Reformasi

(Positivisasi Syariat Islam Dalam Hukum Nasional Indonesia)

Oleh :Fery Ramadhansyah, Lc.

Sejarah mencatat, pergumulan yang terjadi antara politik dan hukum menjadi realitas sosial yang tidak terpisahkan satu sama lain. Terkhusus dalam hukum Islam sendiri, perjuangan panjang yang ditempuh oleh para ulama sejak zaman penjajahan hingga merdeka, perlahan mengalami kemajuan. Dari masa ke masa, Syariat yang kemudian diasosiasikan sebagai hukum Islam ini megharuskan Negara turut mengakomodir kehendak hukum yang digali dari masyarakatnya. Dari sini, umat Islam yang menempati persentase terbanyak dibanding umat lainnya di Negara Republik Indonesia, perlahan namun pasti, mulai menampakkan taringnya dalam hal perundang-undangan nasional.
 
Hal ini bisa dilihat pada penghujung kekuasaan rezim orde baru. Di tahun 90-an, ketika suara umat Islam mulai diperhitungkan dalam kencah perpolitikan, dan melalui lobi-lobi politik serta sikap kooperatif pemerintah saat itu lebih mendekat pada Islam, Syariat / hukum Islam tidak lagi dipandang sebelah mata. Khususnya di lingkungan peradilan agama, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam.

Pada tahun 1991 juga keluar surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 29 dan 47/1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS). Dan berdirinya Bank Mu’amalat yang diprakarsai oleh ICMI pada tahun yang sama, menjadi Icon bangkitnya Syariah dalam sekup nasional. Bahkan, perkembangan itu disambut dengan mendominasinya tokoh-tokoh Islam dalam keanggotaan MPR 1992-1997 sebagai hasil pemilu 1992.

Lalu, bagaimana sepak terjang hukum Islam selanjutnya pada era reformasi (1998). Mana yang dimaksud dengan hukum Islam. Apakah syariat Islam terus melaju dengan baju hukum nasional, atau sebaliknya. Sejauh mana syariat Islam bisa diimplementasikan dalam bernegara.

Corak Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara yang melandaskan semua kebijakannya dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan atas hukum (rechstaats) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaats). Namun dalam penerapannya, Indonesia tidak mendasarkan atas satu hukum tertentu yang berasal dari satu agama, dan bukan pula serta merta menyampingkan nilai-nilai agama pada pembentukan hukum yang ada. Dengan kata lain, bahwa Indonesia bukan negara agama bukan pula negara sekuler. Lebih tepatnya Indonesia adalah negara Pancasila.

Relasi agama dan negara di Indonesia amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Legitimasi keberadaan agama di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing dilindungi secara konstitusional.[1] Hal ini dijumpai pada UUD 1945 Pasal 29.[2]

Dilihat dari pembentukan hukum yang ada, bisa dikatakan bahwa Indonesia banyak mengadopsi dari sistem hukum Belanda yaitu Roman law system.[3] Ini disebabkan karena Belanda lama menjajah Indonesia dan sempat membuat tata hukum sedemikian rupa demi melanggengkan kekuasaannya. Sebagai negara bekas jajahannya, maka Indonesia mendapatkan warisan sistem hukum  tersebut.[4]

Sistem Roman law melahirkan jenis sistem hukum yang disebut civil law. Sistem ini mendasarkan pada tersusunnya peraturan perundang-undangan dan lebih menekankan pada sistematis rasional. Hal lain yang bisa dilihat untuk menandainya adalah yurisprudensi, yaitu kebiasaan dan doktrin atau pendapat ahli hukum sebagai sumber hukum dalam pradilan; sumber hukum selain undang-undang.[5]

Baik Roman law ataupun Civil law, secara formal keduanya lebih cenderung pada aliran positivisme. Sistem kerucut yang dikembangkan oleh Kelsen[6] juga diikuti oleh sistem hukum kita. Yaitu, semula kita menyebut dengan sumber tertib Hukum, yang didasarkan pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978. Sistem kerucut itu kini disebut dengan “ Sumber hukum dan tata aturan peraturan perundang-udangan” yang didasarkan pada TAP MPR No. III/MPR/2000. Dalam pasal 2 TAP MPR tahun 2000 tersebut, disebutkan tentang tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
  1. Undang – undang Dasar 1945
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
  3. Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
  5. Peraturan Pemerintah
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah

Sistem hukum seperti ini umumnya memberlakukan peraturan-peraturan tertulis. Satu hukum baru bisa diberlakukan jika sebelumnya telah tercatat dalam undang-undang. Bagi penganut aliran positivisme legal, hukum adalah sama dengan undang-undang.[7] Hukum muncul berkaitan dengan negara, dan hukum yang benar adalah hukum yang berlaku di dalam negara.

Oleh karenanya, Indonesia yang memakai sistem hukum romawi yang menerapkan civil law dengan aliran positivisme legal, memahami hukum hanya sebatas undang-undang (statutes). Sistem ini hanya mengenal sebutan law is statute enacted by the legislative power. Adapun proses perwujudan hukumnya ditempuh dengan memenuhi tiga unsur ; Statutes (Undang-undang), regulation (lembagai legislatif) dan Custom (norma masyarakat yang tidak tertulis). Dari sinilah sebuah hukum dilahirkan yang kemudian akan diberlakukan di tengah masyarakat.

Itu artinya bahwa apapun norma hukum yang ada,  jika belum diundang-undangkan maka itu belum berbentuk hukum (undang-undang)  dan tidak bisa dipakai dalam bernegara. Inilah yang menjadi satarting point bagi para ulama yang memiliki intensitas perhatian terhadap  pemberlakukan hukum Islam dalam sekup nasional, bagaimana  seharusnya memanfaatkan moment yang ada untuk masuk dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam hukum nasional, yang selanjutnya disebut dengan positivisasi hukum Islam.

Sejak masa kemerdekaan Indonesia, baik hukum Islam, hukum Barat dan hukum adat sama-sama menjadi bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menghendaki adanya unifikasi. Hukum Islam dan hukum Adat untuk bisa berlaku dalam sebuah negara terlebih dahulu harus melalui positivisasi, yakni memasukkan prinsip-prinsip hukum (Islam maupun adat) ke dalam peraturan perundang-undangan.[8]

Menurut A.Qodri Azizy,  positivisasi jika ditinjau dari aspek akademik tetap melalui proses keilmuan dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence), dan tetap dalam koridor demokratisasi jika  ditinjau dari segi sistem politik yang demokratis. Tentu ada strategi dan pendekatan yang lain yang biasanya dilaksanakan oleh pemerintah di negara yang mengklaim sebagai negara yang menjalankan syari’at Islam yaitu dengan menggunakan logika dan dasar bahwa setiap orang Islam harus menjalankan syariat Islam.[9]

Oleh karenanya, ketika hukum Islam hendak dijadikan sebagai sumber hukum nasional, maka diperlukan sistem kerja positivisasi hukum Islam yang dapat diterima secara keilimuan dan dalam proses demokratisasi, bukan indoktrinasi.[10] Setelah hukum Islam tersebut di undang-undangkan, maka jadilah hukum tersebut menjadi hukum nasional, yang bersifat mengikat.

Antara Fiqh dan Qanun
Berbicara tentang hukum Islam, terlebih dahulu harus didudukkan pengertian dua terma di atas; Fiqh dan Qanun. Jika diharuskan memilih, mana sebenarnya yang lebih tepat disebut dengan hukum Islam. Apakah fiqh yang dimaksud hukum Islam, atau qanun.
Fiqh dalam bahasa arab mengandung arti paham, memahami atau mengerti tentang sesuatu.[11] Kata ini bisa ditemukan di dalam al qur’an sebanyak 20 kali.[12] Sedangkan menurut istilah adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syariat yang menyangkut perbuatan mukallaf, yang diperoleh dari dalil-dalil (nash) terperinci.[13]

Fikih merupakan hasil ijtihad ulama dalam penemuan sebuah hukum.  Melalui proses memahami dan deduksi terhadap nash (al qur’an dan hadis)[14] dimaksudkan agar ditemui  satu kepastian hukum berkaitan dengan aktifitas seorang mukallaf. Kemudian ditetapkanlah apakah perbuatan tersebut tergolong dalam salah satu hukum taklifi (wajib, sunah, haram, makruh dan mubah). Dan dijadikanlah sebuah disiplin keilmuan.

Dalam perkembangannya, fiqh memliki aliran atau mazhab sesuai dengan penggagasnya. Ada empat mazhab fiqh yang terkenal dan masih eksis hingga sekarang. Keempat mazhab itu adalah Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali. Masing-masing mazhab fikih tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam memahami hukum. Oleh karenanya bisa disebut bahwa fiqh merupakan produk Fuqaha (ahli fiqh).

Jika dilihat dengan kacamata ilmu hukum, fiqh lebih menunjukkan pada produk perorangan secara mandiri. Dan bisa dikatakan bahwa fiqh sebagaimana tersusun dalam kitab-kitab turats, disamakan dengan yurisprudensi. Selama masih belum diolah ke dalam bentuk undang-undang –Roman law- atau menjadi sebuah produk pengadilan –Common law- maka fikih bersifat tidak mengikat. Oleh karenanya esensi hukum Islam itu hanya sebatas fatwa.

Adapun qanun, berasal dari bahasa Yunani yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani, yang berarti “alat pengukur”, kemudian berarti “kaidah”. Dalam bahasa arab kata kerjanya qanna yang artinya membuat hukum (to make law, to legislate). Kemudian qanun- baca; Kanun- berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation) undang-undang (statute, code). Dan istilah qanun memiliki beberapa sinonim; hukm, qaidah, dustur, dhabithah dan rasm.[15]

Pada mulanya pemakaian istilah qanun ini tidak dijumpai di kalangan masyarakat Islam. Dulunya hukum hanya dikenal dengan istilah syara’ dan tasyri’. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah ini mulai dipergunakan dalam perumusan hukum dan undang-undang.[16]

Pemakaian istilah qanun tersbut bisa di jumpai dalam buku “ al ahkam as sulthaniyat” karangan al mawardi. Beliau menggunakan istilah qawanin al siyasah (hukum publik) dan qawanin al muqarrarah (undang-undang). [17]

Dalam penggunaannya, Mahmassani menyebutkan bahwa qanun mempunyai tiga arti;
1.      Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Istilah ini dipakai seperti Qanun Pidana Usmani (KUH Pidana Turki Usmani), Qanun Perdata Libanon (KUH Perdata Libanon), dan lainnya.
2.      Istilah yang merupakan padanan dengan hukum. Jadi kita dapat menggunakan isitilah ilmu Qanun sama dengan ilmu hukum. Qanun Islam sama dengan Hukum Islam.
3.      Undang-undang. Perbedaan pengertian yang ketiga ini dengan pengertian pertama adalah bawa yang pertama lebih umum dan mencakup banyak hal, sedangkan ketiga ini khusus untuk permasalahan tertentu.[18]

Dari sini bisa disimpulkan, berdasarkan ilmu hukum yang ada, jika disejajarkan dengan sistem hukum yang berlaku di satu negara, maka hukum Islam yang dimaksud adalah qanun. Yaitu fiqh yang telah dipositivisasikan ke dalam undang-undang.

Positivisasi Syariat Islam
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa fiqh dan qanun adalah dua kata yang memiliki pengertian berbeda. walaupun dalam proses pembentukan keduanya tidak bisa dipisahkan, tapi setelah dua hal tersebut berbentuk produk, maka masing-masing keduanya memiliki wilayah dan fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, bahwa keduanya memiliki hubungan interdependensi.

Baik fiqh maupun Qanun,  jika ditinjau dari proses pembentukannya, sama-sama terlahir dari pemahaman fuqaha mengenai esensi syariat. Syariat adalah sebuah koridor yang Allah tetapkan kepada hambaNya, selama hidup di dunia, baik yang berkaitan ibadah maupun muamalah.[19] Dan dari syariat ini nanti dijabarkan apa itu fiqh dan bagaimana itu qanun. Oleh karenanya, syariat Islam sering diasosiakan oleh kebanyakan orang sebagai hukum Islam.

Satu hal yang perlu difahami di sini, ketika kita menempatkan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di negara dan memiliki sifat mengikat, maka hukum tersebut harus mengikuti aturan main yang dibuat oleh negara. Oleh karena itu, yang semula hukum Islam itu berbentuk fiqh, maka harus dirubah menjadi qanun. Dan proses perubahan inilah yang disebut positivisasi syariat Islam atau hukum Islam.

Positivisasi ini sudah dimulai pada awal kemerdekaan. Meskipun tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, sekurang-kurangnya rumusan pancasila yang digagas oleh BPUPKI ketika itu[20] yang menempatkan sila ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi titik tolak bagi positivisasai tersebut.  Begitu juga dengan Piagam Jakarta yang menjadi spirit Islam dalam bernegara. Ini artinya, usaha menerapkan hukum Islam ke dalam bentuk undang-undang telah dilakukan sejak awal berdirinya negara Indonesia.

Meskipun pada masa Orde Lama, perkembangan posistivisasi hukum Islam kurang terlihat, namun pada Orde Baru mulai terlihat sedikit demi sedikit. Ini dikarenakan bahwa umat Islam sadar, untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia sangat lah sulit, maka berangkat dari spirit Piagam Jakarta itu pula, mereka merubah haluan kepada mewujudkan masyarakat Islam. Yang pertama perjuangan bergerak pada pendirian negara secara formal, namun berikutnya berjuang secara kultural. Oleh karena itu, usaha memasukkan unsur-unsur Islam dalam undang-undang nasional terus dilakukan.[21]

Kita bisa lihat pada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di pasal 2 ayat (1) jelas disebutkan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”

Kemudian bisa dilihat juga Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991  diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan  memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan departemen agama yang  melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.[22]

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[23] yang menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 jo. Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.[24]

Hukum Islam di Era Reformasi
Era reformasi ditandai dengan berakhirnya era orde baru yang dipimpin oleh Suharto sebagai presiden republik Indonesia. Turunnya Presiden Suharto dari tampuk pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998 sekaligus membuka era baru bagi Indonesia , sebagai populasi muslim terbanyak di dunia, yang menuntut peran muslim dalam ranah ekonomi, hukum dan poliitik. Hal ini terlihat dengan munculnya 48 partai politik, yang sebelumnya pada masa Suharto hanya  3 parpol, 19 diantaranya adalah partai Islam[25]. Juga, pada masa ini, asas tungal tidak diberlakukan lagi.[26]

Sejak pemberlakuan asas tunggal dicabut, baik ormas maupun orsospol yang sebelumnya berasas Islam, namun karena penyeragaman asas tunggal, kini kembali kepada asas Islam.  Dari kesemua partai yang ikut dalam pemilu 1999, tidak sedikit partai yang berasaskan Islam. Di sinilah, partai-partai Islam semisal PPP dan PBB kembali mengusungkan pemberlakuan syariat di indonesia dalam konstitus, dengan mengamandemen pasal 29 UUD, namun kandas ditengah jalan. Suara mereka yang tidak lebih dari 12 persen (sekitar 71 kursi) di parlemen, harus menerima kekalahan. [27]

Meskipun hukum Islam tidak berkembang lewat jalur struktural partai, namun hukum Islam pada era reformasi sebagai kelanjutan dari era sebelumnya dapat berkembang pesat melalui jalur kultural. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum muslim di bidang ekonomi dan pendidikan.[28] Perkembangan Islam budaya pada era reformasi diikuti perkembangan hukum Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh lahirnya beberapa undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji, dan UU No. 38 Tahun1999 tentang pengelolaan zakat.[29]

Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional.[30] Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan.[31]

Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang diantaranya yaitu ; [32]
1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang Perbankan,
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam.
7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1999.
8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankan Syariah.
9) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.

Disamping berbagai undang-undang di atas, pada masa reformasi juga muncul berbagai peraturan daerah yang memuat nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah diantaranya yaitu ;
No
Asal Peraturan
Jenis
Nomor/ Tahun
Perihal
1.
NAD
Qanun
11/2002
Syariat bidang ibadah, akidah, dan syiar Islam di
Aceh.


Qanun
13/2003
Maisir (judi)


Qanun
14/2003
Khalwat (mesum)


Qanun
7/2004
Pengelolaan zakat
2.
Propinsi
Sumbar
Perda
11/2001
Pemberantasan dan
pencegahan maksiat
3.
Kota Solok
(Sumbar)
Perda
10/2001
Kewajiban membaca Al-
Qur’an bagi siswa dan
pengantin
\4.
Padang
Pariaman
(Sumatera
Barat)
Perda
2/2004
Pencegahan penindakan
dan pemberantasan
maksiat
5.
Kota Padang
(sumbar)
Perda
3/2003
Wajib baca Al-Qur’an


Insruksi
Walikota
451.442/
BINSOSIII/
2005
Kewajiban berbusana
muslimah
6.
Pasaman
Barat
(Sumbar)
Perda

Aturan berbusana muslim
di sekolah
7.
Kota
Bengkulu
Perda
Perda
Larangan pelacuran dalam
Kota Bengkulu
8.
Riau
Surat
Gubernur
003.1/UM
/08.01.20
03
Pembuatan papan nama
arab
9.
Kota Batam
Perda
6/2002
Ketertiban sosial (berisi
pemberantasan pelacuran,
pengaturan pakaian
warga, dan
pemberantasan kumpul
kebo)
10
Kota Pangkal
Pinang
Perda
6/2006
Pengawasan dan
pengendalian minuman
beralkohol
11.
Sumatera
Selatan
Perda
13/2002
Pemberantasan maksiat
12.
Kota
Palembang
Perda
2/2004
Pemberantasan pelacuran
13.
Kota
Banjarmasin
Perda
4/2005
Perubahan atas Peraturan
Daerah Kota Banjarmasin
No. 13/2003 tentang
larangan kegiatan pada
Bulan Ramadhan
14.
Kabupaten
Bandung
Perda
9/2005
ZIS
15.
Cirebon
Perda
77/2004
Pendidikan madrasah
diniah awaliyah


Perda
5/2002
Larangan perjudian,
prostitusi, minuman keras
16.
Kota Cilegon
Perda
7/2005
Perusahaan daerah BPR
Syariah Kota Cilegon
17.
Kabupaten
Serang
Perda
1/2006
Ketentuan
penyelenggaraan wajib
belajar madrasah diniyah
awaliyah
18.
Kodya
Yogyakarta
Keputusan
Walikota
169/2006
Pembentukan tim
kebijakan dan tim
pemberantasan perjudian,
kemaksiatan,
penyalahgunaan
narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif, minuman
keras, kenakalan remaja,
pornografi serta bentuk kekerasan lainnya
19.
Prop. Banten
Prop. Banten
4/2004
Pengelolaan zakat
20.
Cilegon
Perda
4/2001
Pengelolaan ZIS
21.
Kab. Serang
Perda
6/2002
Pengelolaan zakat
22.
Kab.
Tangerang
Perda
24/2004
Pengelolaan ZIS
23.
Pengelolaan ZIS
Perda
7/2005
Pelarangan pengedaran
dan penjualan minuman
beralkohol


Perda
8/2005
Pelarangan pelacuran
24.
Prop. Jabar
Keputusan
Gubernur
73/2001
Pengelolan zakat,
pengurus BAZ Prop.
Jabar
25.
Sukabumi
Kep.
Bupati
114/2003
Susunan organisasi dan
personalia pengurus
Badan Pengkajian Dan
Pengembangan Syariat
Islam (BPPSI) Sukabumi


Instruksi
Bupati
04/2004
Pemakaian busana
muslim bagi siswa dan
mahasiswa di Sukabumi


Perda
11/2005
Penertiban minuman
beralkohol
26.
Kab.
Inderamayu
Perda
7/1999
Prostitusi


Perda
30/2001
Pelarangan peredaran dan
penggunaan minuman
keras


Perda
2/2003
Wajib belajar madrasah
diniyah awaliyah


Perda
7/2005
Pelarangan minuman
beralkohol


Edaran
Bupati

Wajib busana muslimah
dan pandai baca Al-
Qur’an untuk siswa
sekolah
27.
Kab. Cianjur
Perda
7/2000
Pengelolaan zakat
28.
Jember
Perda
14/2001
Penanganan pelacuran
29.
Gresik
Perda
7/2002
Larangan praktik
prostitusi
30.
Pamekasan
Perda
18/2001
Larangan peredaran
minuman beralkohol

Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi demokratis. Sistem emerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung dalam Amandemen UUD 1945. Disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat menjadikan pemerintah daerah lebih otonom.

Penutup
Perjuangan umat islam dalam menerapkan hukum islam di negara, walaupun belum secara total namun telah mengalami perkembangan pesat. Usaha demi usaha yang terus digalakkan oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama politisi muslim yang gigih memperjuangkan islam melalui jalur formal, kian terlihat titik terang. Apalagi sejak era reformasi bergulir, kebebasan masyarakat muslim untuk menerapkan syariat tidak lagi bisa dibendung. Hingga munculah Perda – perda yang bernuansa islami untuk mendukung aspirasi masyarakat.

Ini membuktikan bahwa islam telah berhasil menempuh jalur formal. Dengan seragam  hukum nasional, hukum islam mulai mewarnai konstitusi yang ada. Dan islam bukan lagi sekedar kajian fikih semata, namun sedikit demi sedikit telah di positivisasikan ke dalam bentuk undang-undang.

Tapi, perkembangan tersebut tidaklah berhenti begitu saja. Kini umat memiliki banyak PR bagaimana menuntaskan formalisasi syariah tersebut dalam konstitusi yang ada di negera. Pascareformasi menjadi gerbang baru yang terbuka lebar untuk meluaskan sayap-sayap hukum islam. Setidaknya, tuntutan hukum yang lahir dari masyarakat muslim bisa diaplikasikan dalam peraturan-peraturan daerah yang bersifat mengikat.

Dari sini, terlihat betapa semangat keberagamaan benar-benar menjiwai kehidupan masyarakat dalam bernegara.  Ini juga sekaligus membuktikan bahwa Pancasila yang menjadi falsafah negara, dengan menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Maha Esa, membuat umat islam lebih yakin untuk terus mengisi kemerdekaan dengan penerapan nilai-nilai islam, terutama dalam konstitusi.




[1] A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia  (Bogor : Ghalia,, 2006) hlm. 1
[2]  (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
   (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk     beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
[3] Ada dua sistem hukum besar di dunia; Roman law System dan Common law System. Roman Law System (hukum Romawi) banyak dipakai oleh beberapa negara Eropa dan melahirkan  sistem hukum yang disebut Civil law. Sementara Common law (Hukum Inggris) berasal dari inggris, kemudian menyebar ke negara-negara yang pernah menjadi jajahannya.
[4] A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, (Jogjakarta; Gama Media, 2002), h.89
[5] Ibid., h. 91-93
[6] Hans Kelsen adalah salah satu pencetus aliran positivisme dalam hukum disamping John Austin. Kelsen diangggap sebagai pencetus tori murni tentang hukum. Menurutnya hukum berurusan dengan bentuk (forma) tidak berurusan dengan isi (materia), sedangkan keadilan sebagai isi hukum berada diluar hukum. Oleh karena itu gagasan –gagasan mengenai keadilan haruslah menjadi tema di dalam plitik, tidak didalam hukum.
[7] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung; Bina cipta, 1976), h. 4
[8] Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan Perkembanganya Di Indonesia, (Yogyakarta; Kreasi Total Media, 2008), hlm. 6
[9] A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum,( Yogyakarta ; Gama Media Offset, 2004),  hlm. 173.
[10] Loc.,cit. A.Qadri Azizy.
[11] Ibn al Manzur, Lisan al Arab, (Kairo; Dar al hadist, 2003), h.145
[12] Abd al Baqi, Mu’jam al Mufahras li al fazh al qur’an al karim, (Beirut; Dar al Fikr), h.524
[13] Abd al wahab al khallaf, Ilm al ushul al fiqh, (Kairo; Dar al hadis, 2002), h.11
[14] Meminjam istilah fazlur rahman: “only the name of a process or activity of understanding and deducing” (lihat; buku “Islam” karangan beliau).
[15] The Encyclopedia of Islam (new ed), IV:558
[16] Manna’ al Qatthan, Tarikh at Tasyri’ al Islamiy, (Kairo; Maktabah wahbah, 2001), h 12
[17] A. Qadri Azizy, Op.cit., h,58
[18] Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, Ter, (Bandung; al Ma’arif, 1981), 22.
[19] Manna’ al Qatthan, Op.cit., h.13
[20] Rumusan sila Pertama- seperti yang disebutkan di atas- ditolak karena ada laporan bahwa jika sila tersebut tidak dirubah, maka masyarakat indonesia bagian timur (kristen) akan memisahkan diri dari NKRI. Atas tuntutan tersebut  Ki bagus Hadikusumo – sebagai salah seorang dari gologan Islam, selain Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Wahid Hasjim- bereaksi keras dengan memukul meja karena tidak puas atas usul yang tiba-tiba untuk mementahkan kompromi-kompromi yang telah susah payah dicapai dalam sidang BPUPKI. Akhirnya dengan berat hati beliau terima, dan menurut Muhammad Hassan, beliaulah yang mengusulkan kata Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai gantinya, karena kata-kata tersebut  bermakna tuhid. (Lihat; Dinamika Tata Negara Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, h. 69)
[21] Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Kehidupan Sosial Politik Di Indonesia, (Malang; Banyumedia Publishing, 2005), hlm. 118-119
[22] A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia, (Bogor ; Ghalia Indonesia , 2006), h.103-104
[23] Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, ( Medan; Perdana Publishing, 2010), h.105-216
[24] Pagar, Ibid., h.217 -268
[26] Nadirsyah Husein, Sharia and Constitutional Reform, (Singapore; ISEAS, 2007), h.2
[27] Nadirsyah Husein ,Ibid., h, 3
[28] Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001), h.17
[29] Warkum Sumitro, Op.cit., h.223
[30] A. Qadri Azizy, Op.cit., h.169
[31] Ibid., h. 172.
[32] Tesis : “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif  Pembangunan
Hukum Nasional Indonesia Di Era Reformasi” oleh Junaidi, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About