Oleh
:Fery Ramadhansyah, Lc.
Sejarah
mencatat, pergumulan yang terjadi antara politik dan hukum menjadi realitas
sosial yang tidak terpisahkan satu sama lain. Terkhusus dalam hukum Islam
sendiri, perjuangan panjang yang ditempuh oleh para ulama sejak zaman
penjajahan hingga merdeka, perlahan mengalami kemajuan. Dari masa ke masa,
Syariat yang kemudian diasosiasikan sebagai hukum Islam ini megharuskan Negara
turut mengakomodir kehendak hukum yang digali dari masyarakatnya. Dari sini,
umat Islam yang menempati persentase terbanyak dibanding umat lainnya di Negara
Republik Indonesia, perlahan namun pasti, mulai menampakkan taringnya dalam hal
perundang-undangan nasional.
Hal
ini bisa dilihat pada penghujung kekuasaan rezim orde baru. Di tahun 90-an,
ketika suara umat Islam mulai diperhitungkan dalam kencah perpolitikan, dan melalui
lobi-lobi politik serta sikap kooperatif pemerintah saat itu lebih mendekat
pada Islam, Syariat / hukum Islam tidak lagi dipandang sebelah mata. Khususnya
di lingkungan peradilan agama, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 dan Inpres
No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam.
Pada
tahun 1991 juga keluar surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri no 29 dan 47/1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah
(BAZIS). Dan berdirinya Bank Mu’amalat yang diprakarsai oleh ICMI pada tahun
yang sama, menjadi Icon bangkitnya Syariah dalam sekup nasional. Bahkan,
perkembangan itu disambut dengan mendominasinya tokoh-tokoh Islam dalam
keanggotaan MPR 1992-1997 sebagai hasil pemilu 1992.
Lalu,
bagaimana sepak terjang hukum Islam selanjutnya pada era reformasi (1998). Mana
yang dimaksud dengan hukum Islam. Apakah syariat Islam terus melaju dengan baju
hukum nasional, atau sebaliknya. Sejauh mana syariat Islam bisa
diimplementasikan dalam bernegara.
Corak
Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara yang melandaskan
semua kebijakannya dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan atas hukum
(rechstaats) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaats). Namun dalam
penerapannya, Indonesia tidak mendasarkan atas satu hukum tertentu yang berasal
dari satu agama, dan bukan pula serta merta menyampingkan nilai-nilai agama
pada pembentukan hukum yang ada. Dengan kata lain, bahwa Indonesia bukan negara
agama bukan pula negara sekuler. Lebih tepatnya Indonesia adalah negara
Pancasila.
Relasi agama dan negara di Indonesia
amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya.
Legitimasi keberadaan agama di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) serta untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing dilindungi secara konstitusional.[1]
Hal ini dijumpai pada UUD 1945 Pasal 29.[2]
Dilihat dari pembentukan hukum yang ada,
bisa dikatakan bahwa Indonesia banyak mengadopsi dari sistem hukum Belanda
yaitu Roman law system.[3]
Ini disebabkan karena Belanda lama menjajah Indonesia dan sempat membuat tata
hukum sedemikian rupa demi melanggengkan kekuasaannya. Sebagai negara bekas
jajahannya, maka Indonesia mendapatkan warisan sistem hukum tersebut.[4]
Sistem Roman law melahirkan jenis
sistem hukum yang disebut civil law. Sistem ini mendasarkan pada
tersusunnya peraturan perundang-undangan dan lebih menekankan pada sistematis
rasional. Hal lain yang bisa dilihat untuk menandainya adalah yurisprudensi,
yaitu kebiasaan dan doktrin atau pendapat ahli hukum sebagai sumber hukum dalam
pradilan; sumber hukum selain undang-undang.[5]
Baik Roman law ataupun Civil
law, secara formal keduanya lebih cenderung pada aliran positivisme. Sistem
kerucut yang dikembangkan oleh Kelsen[6]
juga diikuti oleh sistem hukum kita. Yaitu, semula kita menyebut dengan sumber
tertib Hukum, yang didasarkan pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No.
IX/MPR/1978. Sistem kerucut itu kini disebut dengan “ Sumber hukum dan tata
aturan peraturan perundang-udangan” yang didasarkan pada TAP MPR No.
III/MPR/2000. Dalam pasal 2 TAP MPR tahun 2000 tersebut, disebutkan tentang tata
urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
- Undang – undang Dasar 1945
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Daerah
Sistem hukum seperti ini umumnya
memberlakukan peraturan-peraturan tertulis. Satu hukum baru bisa diberlakukan
jika sebelumnya telah tercatat dalam undang-undang. Bagi penganut aliran
positivisme legal, hukum adalah sama dengan undang-undang.[7]
Hukum muncul berkaitan dengan negara, dan hukum yang benar adalah hukum yang
berlaku di dalam negara.
Oleh karenanya, Indonesia yang memakai
sistem hukum romawi yang menerapkan civil law dengan aliran positivisme
legal, memahami hukum hanya sebatas undang-undang (statutes). Sistem ini hanya
mengenal sebutan law is statute enacted by the legislative power. Adapun
proses perwujudan hukumnya ditempuh dengan memenuhi tiga unsur ; Statutes (Undang-undang),
regulation (lembagai legislatif) dan Custom (norma masyarakat
yang tidak tertulis). Dari sinilah sebuah hukum dilahirkan yang kemudian akan
diberlakukan di tengah masyarakat.
Itu artinya bahwa apapun norma hukum
yang ada, jika belum diundang-undangkan
maka itu belum berbentuk hukum (undang-undang)
dan tidak bisa dipakai dalam bernegara. Inilah yang menjadi satarting
point bagi para ulama yang memiliki intensitas perhatian terhadap pemberlakukan hukum Islam dalam sekup
nasional, bagaimana seharusnya
memanfaatkan moment yang ada untuk masuk dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam
hukum nasional, yang selanjutnya disebut dengan positivisasi hukum Islam.
Sejak masa kemerdekaan Indonesia, baik
hukum Islam, hukum Barat dan hukum adat sama-sama menjadi bahan bagi
pembangunan hukum nasional yang menghendaki adanya unifikasi. Hukum Islam dan
hukum Adat untuk bisa berlaku dalam sebuah negara terlebih dahulu harus melalui
positivisasi, yakni memasukkan prinsip-prinsip hukum (Islam maupun adat) ke
dalam peraturan perundang-undangan.[8]
Menurut A.Qodri Azizy, positivisasi jika ditinjau dari aspek
akademik tetap melalui proses keilmuan dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence),
dan tetap dalam koridor demokratisasi jika
ditinjau dari segi sistem politik yang demokratis. Tentu ada strategi
dan pendekatan yang lain yang biasanya dilaksanakan oleh pemerintah di negara
yang mengklaim sebagai negara yang menjalankan syari’at Islam yaitu dengan
menggunakan logika dan dasar bahwa setiap orang Islam harus menjalankan syariat
Islam.[9]
Oleh karenanya, ketika hukum Islam
hendak dijadikan sebagai sumber hukum nasional, maka diperlukan sistem kerja
positivisasi hukum Islam yang dapat diterima secara keilimuan dan dalam proses
demokratisasi, bukan indoktrinasi.[10]
Setelah hukum Islam tersebut di undang-undangkan, maka jadilah hukum tersebut
menjadi hukum nasional, yang bersifat mengikat.
Antara Fiqh dan Qanun
Berbicara tentang hukum Islam, terlebih
dahulu harus didudukkan pengertian dua terma di atas; Fiqh dan Qanun. Jika
diharuskan memilih, mana sebenarnya yang lebih tepat disebut dengan hukum Islam.
Apakah fiqh yang dimaksud hukum Islam, atau qanun.
Fiqh dalam bahasa arab mengandung arti
paham, memahami atau mengerti tentang sesuatu.[11]
Kata ini bisa ditemukan di dalam al qur’an sebanyak 20 kali.[12]
Sedangkan menurut istilah adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang
hukum-hukum syariat yang menyangkut perbuatan mukallaf, yang diperoleh dari
dalil-dalil (nash) terperinci.[13]
Fikih merupakan hasil ijtihad ulama
dalam penemuan sebuah hukum. Melalui
proses memahami dan deduksi terhadap nash (al qur’an dan hadis)[14]
dimaksudkan agar ditemui satu kepastian
hukum berkaitan dengan aktifitas seorang mukallaf. Kemudian ditetapkanlah
apakah perbuatan tersebut tergolong dalam salah satu hukum taklifi (wajib,
sunah, haram, makruh dan mubah). Dan dijadikanlah sebuah disiplin keilmuan.
Dalam perkembangannya, fiqh memliki
aliran atau mazhab sesuai dengan penggagasnya. Ada empat mazhab fiqh yang
terkenal dan masih eksis hingga sekarang. Keempat mazhab itu adalah Maliki,
Hanafi, Syafii dan Hanbali. Masing-masing mazhab fikih tersebut memiliki
karakteristik tersendiri dalam memahami hukum. Oleh karenanya bisa disebut
bahwa fiqh merupakan produk Fuqaha (ahli fiqh).
Jika dilihat dengan kacamata ilmu hukum,
fiqh lebih menunjukkan pada produk perorangan secara mandiri. Dan bisa
dikatakan bahwa fiqh sebagaimana tersusun dalam kitab-kitab turats, disamakan
dengan yurisprudensi. Selama masih belum diolah ke dalam bentuk undang-undang
–Roman law- atau menjadi sebuah produk pengadilan –Common law- maka fikih
bersifat tidak mengikat. Oleh karenanya esensi hukum Islam itu hanya sebatas
fatwa.
Adapun qanun, berasal dari bahasa Yunani
yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani, yang berarti “alat
pengukur”, kemudian berarti “kaidah”. Dalam bahasa arab kata kerjanya qanna
yang artinya membuat hukum (to make law, to legislate). Kemudian qanun- baca;
Kanun- berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation) undang-undang
(statute, code). Dan istilah qanun memiliki beberapa sinonim; hukm, qaidah,
dustur, dhabithah dan rasm.[15]
Pada mulanya pemakaian istilah qanun ini
tidak dijumpai di kalangan masyarakat Islam. Dulunya hukum hanya dikenal dengan
istilah syara’ dan tasyri’. Namun, seiring dengan perjalanan
waktu, istilah ini mulai dipergunakan dalam perumusan hukum dan undang-undang.[16]
Pemakaian istilah qanun tersbut bisa di
jumpai dalam buku “ al ahkam as sulthaniyat” karangan al mawardi. Beliau
menggunakan istilah qawanin al siyasah (hukum publik) dan qawanin al muqarrarah
(undang-undang). [17]
Dalam
penggunaannya, Mahmassani menyebutkan bahwa qanun mempunyai tiga arti;
1.
Kumpulan
peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Istilah ini dipakai seperti Qanun
Pidana Usmani (KUH Pidana Turki Usmani), Qanun Perdata Libanon (KUH Perdata
Libanon), dan lainnya.
2.
Istilah yang
merupakan padanan dengan hukum. Jadi kita dapat menggunakan isitilah ilmu Qanun
sama dengan ilmu hukum. Qanun Islam sama dengan Hukum Islam.
3.
Undang-undang.
Perbedaan pengertian yang ketiga ini dengan pengertian pertama adalah bawa yang
pertama lebih umum dan mencakup banyak hal, sedangkan ketiga ini khusus untuk
permasalahan tertentu.[18]
Dari
sini bisa disimpulkan, berdasarkan ilmu hukum yang ada, jika disejajarkan
dengan sistem hukum yang berlaku di satu negara, maka hukum Islam yang dimaksud
adalah qanun. Yaitu fiqh yang telah dipositivisasikan ke dalam undang-undang.
Positivisasi Syariat Islam
Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, bahwa fiqh dan qanun adalah dua kata yang memiliki pengertian
berbeda. walaupun dalam proses pembentukan keduanya tidak bisa dipisahkan, tapi
setelah dua hal tersebut berbentuk produk, maka masing-masing keduanya memiliki
wilayah dan fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, bahwa keduanya memiliki
hubungan interdependensi.
Baik fiqh maupun Qanun, jika ditinjau dari proses pembentukannya,
sama-sama terlahir dari pemahaman fuqaha mengenai esensi syariat. Syariat adalah
sebuah koridor yang Allah tetapkan kepada hambaNya, selama hidup di dunia, baik
yang berkaitan ibadah maupun muamalah.[19]
Dan dari syariat ini nanti dijabarkan apa itu fiqh dan bagaimana itu qanun.
Oleh karenanya, syariat Islam sering diasosiakan oleh kebanyakan orang sebagai
hukum Islam.
Satu hal yang perlu difahami di sini,
ketika kita menempatkan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di negara dan
memiliki sifat mengikat, maka hukum tersebut harus mengikuti aturan main yang
dibuat oleh negara. Oleh karena itu, yang semula hukum Islam itu berbentuk
fiqh, maka harus dirubah menjadi qanun. Dan proses perubahan inilah yang
disebut positivisasi syariat Islam atau hukum Islam.
Positivisasi ini sudah dimulai pada awal
kemerdekaan. Meskipun tidak mendapatkan hasil yang diinginkan,
sekurang-kurangnya rumusan pancasila yang digagas oleh BPUPKI ketika itu[20]
yang menempatkan sila ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menjadi titik tolak bagi positivisasai tersebut. Begitu juga dengan Piagam Jakarta yang
menjadi spirit Islam dalam bernegara. Ini artinya, usaha menerapkan hukum Islam
ke dalam bentuk undang-undang telah dilakukan sejak awal berdirinya negara Indonesia.
Meskipun pada masa Orde Lama,
perkembangan posistivisasi hukum Islam kurang terlihat, namun pada Orde Baru
mulai terlihat sedikit demi sedikit. Ini dikarenakan bahwa umat Islam sadar,
untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia sangat lah sulit, maka berangkat
dari spirit Piagam Jakarta itu pula, mereka merubah haluan kepada mewujudkan
masyarakat Islam. Yang pertama perjuangan bergerak pada pendirian negara secara
formal, namun berikutnya berjuang secara kultural. Oleh karena itu, usaha
memasukkan unsur-unsur Islam dalam undang-undang nasional terus dilakukan.[21]
Kita bisa lihat pada UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Di pasal 2 ayat (1) jelas disebutkan “perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”
Kemudian bisa dilihat juga Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia
yang berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan
dengan keperdataan orang-orang Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan
melalui proses legislasi dewan perwakilan rakyat sebagaimana peraturan dan
perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi
merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan
departemen agama yang melibatkan
berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat
lainnya.[22]
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[23]
yang menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara
Republik Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan
perwakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 jo. Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991.[24]
Hukum Islam di Era Reformasi
Era reformasi ditandai dengan berakhirnya
era orde baru yang dipimpin oleh Suharto sebagai presiden republik Indonesia.
Turunnya Presiden Suharto dari tampuk pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998
sekaligus membuka era baru bagi Indonesia , sebagai populasi muslim terbanyak
di dunia, yang menuntut peran muslim dalam ranah ekonomi, hukum dan poliitik.
Hal ini terlihat dengan munculnya 48 partai politik, yang sebelumnya pada masa
Suharto hanya 3 parpol, 19 diantaranya
adalah partai Islam[25].
Juga, pada masa ini, asas tungal tidak diberlakukan lagi.[26]
Sejak pemberlakuan asas tunggal dicabut,
baik ormas maupun orsospol yang sebelumnya berasas Islam, namun karena
penyeragaman asas tunggal, kini kembali kepada asas Islam. Dari kesemua partai yang ikut dalam pemilu
1999, tidak sedikit partai yang berasaskan Islam. Di sinilah, partai-partai Islam
semisal PPP dan PBB kembali mengusungkan pemberlakuan syariat di indonesia
dalam konstitus, dengan mengamandemen pasal 29 UUD, namun kandas ditengah
jalan. Suara mereka yang tidak lebih dari 12 persen (sekitar 71 kursi) di
parlemen, harus menerima kekalahan. [27]
Meskipun hukum Islam tidak berkembang
lewat jalur struktural partai, namun hukum Islam pada era reformasi sebagai
kelanjutan dari era sebelumnya dapat berkembang pesat melalui jalur kultural.
Hal itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum muslim di bidang
ekonomi dan pendidikan.[28]
Perkembangan Islam budaya pada era reformasi diikuti perkembangan hukum Islam
secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh lahirnya beberapa
undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 17 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan haji, dan UU No. 38 Tahun1999 tentang pengelolaan zakat.[29]
Pada awal reformasi, kebijakan arah dan
tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN
tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi
untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional.[30]
Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum
yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam.
Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan.[31]
Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam
yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang diantaranya yaitu ; [32]
1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat,
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang
Perbankan,
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf,
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama,
6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah
memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya
penegakan syariat Islam.
7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 17
Tahun 1999.
8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Hukum Perbankan Syariah.
9) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Disamping berbagai undang-undang di
atas, pada masa reformasi juga muncul berbagai peraturan daerah yang memuat
nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah diantaranya yaitu ;
No
|
Asal Peraturan
|
Jenis
|
Nomor/ Tahun
|
Perihal
|
1.
|
NAD
|
Qanun
|
11/2002
|
Syariat bidang ibadah, akidah, dan syiar Islam di
Aceh.
|
|
|
Qanun
|
13/2003
|
Maisir
(judi)
|
|
|
Qanun
|
14/2003
|
Khalwat
(mesum)
|
|
|
Qanun
|
7/2004
|
Pengelolaan
zakat
|
2.
|
Propinsi
Sumbar
|
Perda
|
11/2001
|
Pemberantasan
dan
pencegahan
maksiat
|
3.
|
Kota
Solok
(Sumbar)
|
Perda
|
10/2001
|
Kewajiban
membaca Al-
Qur’an
bagi siswa dan
pengantin
|
\4.
|
Padang
Pariaman
(Sumatera
Barat)
|
Perda
|
2/2004
|
Pencegahan
penindakan
dan
pemberantasan
maksiat
|
5.
|
Kota
Padang
(sumbar)
|
Perda
|
3/2003
|
Wajib
baca Al-Qur’an
|
|
|
Insruksi
Walikota
|
451.442/
BINSOSIII/
2005
|
Kewajiban
berbusana
muslimah
|
6.
|
Pasaman
Barat
(Sumbar)
|
Perda
|
|
Aturan
berbusana muslim
di
sekolah
|
7.
|
Kota
Bengkulu
|
Perda
|
Perda
|
Larangan
pelacuran dalam
Kota
Bengkulu
|
8.
|
Riau
|
Surat
Gubernur
|
003.1/UM
/08.01.20
03
|
Pembuatan
papan nama
arab
|
9.
|
Kota
Batam
|
Perda
|
6/2002
|
Ketertiban
sosial (berisi
pemberantasan
pelacuran,
pengaturan
pakaian
warga,
dan
pemberantasan
kumpul
kebo)
|
10
|
Kota
Pangkal
Pinang
|
Perda
|
6/2006
|
Pengawasan
dan
pengendalian
minuman
beralkohol
|
11.
|
Sumatera
Selatan
|
Perda
|
13/2002
|
Pemberantasan
maksiat
|
12.
|
Kota
Palembang
|
Perda
|
2/2004
|
Pemberantasan
pelacuran
|
13.
|
Kota
Banjarmasin
|
Perda
|
4/2005
|
Perubahan
atas Peraturan
Daerah
Kota Banjarmasin
No.
13/2003 tentang
larangan
kegiatan pada
Bulan
Ramadhan
|
14.
|
Kabupaten
Bandung
|
Perda
|
9/2005
|
ZIS
|
15.
|
Cirebon
|
Perda
|
77/2004
|
Pendidikan
madrasah
diniah
awaliyah
|
|
|
Perda
|
5/2002
|
Larangan
perjudian,
prostitusi,
minuman keras
|
16.
|
Kota
Cilegon
|
Perda
|
7/2005
|
Perusahaan
daerah BPR
Syariah
Kota Cilegon
|
17.
|
Kabupaten
Serang
|
Perda
|
1/2006
|
Ketentuan
penyelenggaraan
wajib
belajar
madrasah diniyah
awaliyah
|
18.
|
Kodya
Yogyakarta
|
Keputusan
Walikota
|
169/2006
|
Pembentukan
tim
kebijakan
dan tim
pemberantasan
perjudian,
kemaksiatan,
penyalahgunaan
narkotika,
psikotropika,
dan
zat adiktif, minuman
keras,
kenakalan remaja,
pornografi
serta bentuk kekerasan lainnya
|
19.
|
Prop.
Banten
|
Prop.
Banten
|
4/2004
|
Pengelolaan
zakat
|
20.
|
Cilegon
|
Perda
|
4/2001
|
Pengelolaan
ZIS
|
21.
|
Kab.
Serang
|
Perda
|
6/2002
|
Pengelolaan
zakat
|
22.
|
Kab.
Tangerang
|
Perda
|
24/2004
|
Pengelolaan
ZIS
|
23.
|
Pengelolaan
ZIS
|
Perda
|
7/2005
|
Pelarangan
pengedaran
dan
penjualan minuman
beralkohol
|
|
|
Perda
|
8/2005
|
Pelarangan
pelacuran
|
24.
|
Prop.
Jabar
|
Keputusan
Gubernur
|
73/2001
|
Pengelolan
zakat,
pengurus
BAZ Prop.
Jabar
|
25.
|
Sukabumi
|
Kep.
Bupati
|
114/2003
|
Susunan
organisasi dan
personalia
pengurus
Badan
Pengkajian Dan
Pengembangan
Syariat
Islam
(BPPSI) Sukabumi
|
|
|
Instruksi
Bupati
|
04/2004
|
Pemakaian
busana
muslim
bagi siswa dan
mahasiswa
di Sukabumi
|
|
|
Perda
|
11/2005
|
Penertiban
minuman
beralkohol
|
26.
|
Kab.
Inderamayu
|
Perda
|
7/1999
|
Prostitusi
|
|
|
Perda
|
30/2001
|
Pelarangan
peredaran dan
penggunaan
minuman
keras
|
|
|
Perda
|
2/2003
|
Wajib
belajar madrasah
diniyah
awaliyah
|
|
|
Perda
|
7/2005
|
Pelarangan
minuman
beralkohol
|
|
|
Edaran
Bupati
|
|
Wajib
busana muslimah
dan
pandai baca Al-
Qur’an
untuk siswa
sekolah
|
27.
|
Kab.
Cianjur
|
Perda
|
7/2000
|
Pengelolaan
zakat
|
28.
|
Jember
|
Perda
|
14/2001
|
Penanganan
pelacuran
|
29.
|
Gresik
|
Perda
|
7/2002
|
Larangan
praktik
prostitusi
|
30.
|
Pamekasan
|
Perda
|
18/2001
|
Larangan
peredaran
minuman
beralkohol
|
Fenomena perda bernuansa syariat
merupakan dampak dari perubahan sistem politik kenegaraan dan pemerintahan.
Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi demokratis. Sistem emerintahan
yang sentralistik berubah menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan tersebut
berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung dalam Amandemen UUD 1945.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat
menjadikan pemerintah daerah lebih otonom.
Penutup
Perjuangan umat islam dalam menerapkan
hukum islam di negara, walaupun belum secara total namun telah mengalami
perkembangan pesat. Usaha demi usaha yang terus digalakkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, terutama politisi muslim yang gigih memperjuangkan islam melalui
jalur formal, kian terlihat titik terang. Apalagi sejak era reformasi bergulir,
kebebasan masyarakat muslim untuk menerapkan syariat tidak lagi bisa dibendung.
Hingga munculah Perda – perda yang bernuansa islami untuk mendukung aspirasi
masyarakat.
Ini membuktikan bahwa islam telah
berhasil menempuh jalur formal. Dengan seragam
hukum nasional, hukum islam mulai mewarnai konstitusi yang ada. Dan
islam bukan lagi sekedar kajian fikih semata, namun sedikit demi sedikit telah
di positivisasikan ke dalam bentuk undang-undang.
Tapi, perkembangan tersebut tidaklah
berhenti begitu saja. Kini umat memiliki banyak PR bagaimana menuntaskan
formalisasi syariah tersebut dalam konstitusi yang ada di negera.
Pascareformasi menjadi gerbang baru yang terbuka lebar untuk meluaskan sayap-sayap
hukum islam. Setidaknya, tuntutan hukum yang lahir dari masyarakat muslim bisa
diaplikasikan dalam peraturan-peraturan daerah yang bersifat mengikat.
Dari sini, terlihat betapa semangat
keberagamaan benar-benar menjiwai kehidupan masyarakat dalam bernegara. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa
Pancasila yang menjadi falsafah negara, dengan menjunjung tinggi nilai
Ketuhanan Maha Esa, membuat umat islam lebih yakin untuk terus mengisi
kemerdekaan dengan penerapan nilai-nilai islam, terutama dalam konstitusi.
[1]
A. Rahmad Rosyadi
dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di
Indonesia (Bogor : Ghalia,, 2006)
hlm. 1
(2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
[3] Ada dua sistem hukum besar
di dunia; Roman law System dan Common law System. Roman Law System
(hukum Romawi) banyak dipakai oleh beberapa negara Eropa dan melahirkan sistem hukum yang disebut Civil law.
Sementara Common law (Hukum Inggris) berasal dari inggris, kemudian menyebar ke
negara-negara yang pernah menjadi jajahannya.
[5] Ibid., h. 91-93
[6] Hans Kelsen adalah salah
satu pencetus aliran positivisme dalam hukum disamping John Austin. Kelsen
diangggap sebagai pencetus tori murni tentang hukum. Menurutnya hukum berurusan
dengan bentuk (forma) tidak berurusan dengan isi (materia), sedangkan keadilan
sebagai isi hukum berada diluar hukum. Oleh karena itu gagasan –gagasan
mengenai keadilan haruslah menjadi tema di dalam plitik, tidak didalam hukum.
[7] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung; Bina cipta, 1976), h. 4
[8]
Abdul
Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan
Perkembanganya Di Indonesia, (Yogyakarta; Kreasi Total Media, 2008), hlm. 6
[9]
A. Qodri
Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum,(
Yogyakarta ; Gama Media Offset, 2004), hlm. 173.
[10] Loc.,cit. A.Qadri
Azizy.
[11]
Ibn al Manzur, Lisan al Arab, (Kairo; Dar al hadist, 2003), h.145
[12]
Abd al Baqi, Mu’jam al Mufahras li al fazh al qur’an al karim, (Beirut;
Dar al Fikr), h.524
[13]
Abd al wahab al khallaf, Ilm al ushul al fiqh, (Kairo; Dar al hadis,
2002), h.11
[14]
Meminjam istilah fazlur rahman: “only the name of a process or activity of
understanding and deducing” (lihat; buku “Islam” karangan beliau).
[15]
The Encyclopedia of Islam (new ed), IV:558
[16]
Manna’ al Qatthan, Tarikh at Tasyri’ al Islamiy, (Kairo; Maktabah wahbah,
2001), h 12
[17]
A. Qadri Azizy, Op.cit., h,58
[18]
Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, Ter, (Bandung; al Ma’arif,
1981), 22.
[19]
Manna’ al Qatthan, Op.cit., h.13
[20]
Rumusan sila Pertama- seperti yang disebutkan di atas- ditolak karena ada
laporan bahwa jika sila tersebut tidak dirubah, maka masyarakat indonesia
bagian timur (kristen) akan memisahkan diri dari NKRI. Atas tuntutan tersebut Ki bagus Hadikusumo – sebagai salah seorang
dari gologan Islam, selain Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan
Wahid Hasjim- bereaksi keras dengan memukul meja karena tidak puas atas usul
yang tiba-tiba untuk mementahkan kompromi-kompromi yang telah susah payah
dicapai dalam sidang BPUPKI. Akhirnya dengan berat hati beliau terima, dan
menurut Muhammad Hassan, beliaulah yang mengusulkan kata Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai gantinya, karena kata-kata tersebut
bermakna tuhid. (Lihat; Dinamika Tata Negara Indonesia, Yusril Ihza
Mahendra, h. 69)
[21]
Warkum
Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Kehidupan Sosial Politik Di Indonesia,
(Malang; Banyumedia Publishing, 2005), hlm. 118-119
[22]
A. Rahmad
Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum di Indonesia, (Bogor ; Ghalia Indonesia , 2006), h.103-104
[23] Pagar, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, ( Medan; Perdana Publishing,
2010), h.105-216
[24]
Pagar, Ibid., h.217 -268
[26]
Nadirsyah Husein, Sharia and Constitutional Reform, (Singapore; ISEAS, 2007),
h.2
[27]
Nadirsyah Husein ,Ibid., h, 3
[28]
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001),
h.17
[29]
Warkum Sumitro, Op.cit.,
h.223
[30]
A. Qadri Azizy, Op.cit., h.169
[31]
Ibid., h. 172.
Hukum
Nasional Indonesia Di Era Reformasi” oleh Junaidi, Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret. Tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar