Kamis, 18 April 2013

Kaidah المشغول لا يشغل

Kaidah المشغول لا يشغل “sesuatu yang sedang disibukkan oleh sebuah pekerjaan, tidak bisa disibukkan dengan pekerjaan lain”.

Kata مشغول adalah isim maf’ul dari kata شغل yang berarti sibuk. Yaitu satu kondisi dimana seseorang tengah mengerjakan sesuatu yang melibatkan seluruh waktunya tercurah untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain bisa dipahami bahwa jika ada sesuatu yang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya.[1]

Hal ini sangat logis, karena tidak mungkin mengerjakan dua perbuatan sekaligus dalam waktu yang sama, jika salah satu perbuatan itu menyita waktu yang ada sehingga tidak memberikan kesempatan bagi lainnya untuk dikerjakan. Atau, tidak mungkin mengisi satu wadah lebih dari satu objek, dimana setiap objek yang diisi menempati seluruh ruang yang ada pada wadah tersebut. Seperti gelas yang sedang berisi penuh dengan air tidak mungkin diisi dengan yang lainnya, sebelum gelas itu dikosongkan terlebih dahulu.[2]
Berikut beberapa contoh Kaidah المشغول لا يشغل  yang dikemukakan oleh as-Suyuti :
Pertama: Tidak boleh menggadaikan barang yang telah digadaikan. Jika seseorang berhutang dan menggadaikan barangnya untuk menjamin hutangnya. Kemudian barang gadaian itu digadaikan lagi pada pihak yang lain untuk memperoleh hutang baru, maka ini dilarang. Sebab, barang gadaian itu menjadi tanggungan seutuhnya untuk jaminan hutang yang pertama.

Kedua: Tidak boleh melaksanakan umrah bagi jemaah haji yang sedang berada di Mina. Karena keberadaannya di sana menuntut dirinya untuk mabit dan melontar jumrah.

Ketiga : Tidak boleh membuat dua akad  (kontrak) berbeda pada suatu barang dalam satu tempat yang sama. Seperti menjual satu barang yang sama pada orang yang berbeda. Maka tidak sah jual beli yang dilakukakan dengan pihak ke tiga. Karena demikian akan merugikan pihak ke dua.

Namun hal ini dikecualikan misalnya jika seorang menyewakan rumahnya, kemudian rumah yang semula disewakan itu dijual dengan penyewa tersebut. Maka yang demikian boleh dilakukan. Karena sewa-menyewa adalah menjual manfaat, dan jual beli adalah menjual barang.



[1] H.A. Dzajuli, Op.cit., h.97
[2] Muhammad Sidqi, Op.cit., h. 630

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About