Selasa, 16 April 2013

Amar dalam Ushul Fiqh (2): Makna yang Terkandung Dalam Amar

Ada beberapa makna yang terkandung dalam amar. Salah satunya disebut makna hakiki (sebenarnya) dan yang lain disebut makna majazi (kiasan). Berikut ini makna-makna yang dihasilakan dari amar tersebut.[1]
 
1.      Wajib; contohnya firman Allah swt : "أقيموا الصلاة" artinya: “Dan dirikanlah shalat”. (QS. 2:110)
2.      Sunnah; contohnya firman Allah swt: "فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا" artinya: “Hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”. (QS. 24:33)
3.      Mendidik ; contohnya sabda rasul: "كل مما يليك" artinya: makanlah dari apa yang layak”.
4.      Petunjuk ; contohnya firman Allah swt: "واتشهدوا شهيدين من رجالكم" artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)”.(QS. 2:282)
5.       Mubah ; conthonya firman Allah swt: "وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسواد من الفجر"  artinya ; “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. 2:187)
6.      Ancaman ; contohnya firman Allah swt: "إعملواما شئتم" artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”. (QS. 41:40)
7.      Karunia ; contohnya firman Allah swt: "وكلوا مما رزقكم الله" artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu”. (QS. 5:88)
8.      Memuliakan ; contohnya firman Allah swt: "أدخلوها بسلام أمنين" artinya: “"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman". (QS. 15:46)
9.      Kehinaan ; contohnya firman Allah swt: "كونوا قرادة خاسئين" artinya: “Jadilah kamu kera yang hina". (QS. 2:65)
10.  Kelemahan ; contohnya firman Allah swt: "فأتو بسورة من مثله " artinya: “buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu”. (QS. 2:23)
11.  Ejekan ; contohnya firman Allah swt: "ذق إنك أنت العزيز الحكيم" artinya : “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (QS. 44:49)
12.  Penyamaan ; contohnya firman Allah swt: "فاصبروا ولا تصبروا" artinya: “Maka baik kamu bersabar atau tidak”. QS. 52:16)
13.  Doa ; contohnya firman Allah swt : "رب اغفر لي" artinya: “ Ya Tuhanku ampunkanlah aku”. (QS. 14:41)
14.  Pembentukan : contohnya firman Allah swt: "كن فيكون" artinya: “Jadilah maka terjadilah”. (QS.36:82)
15.  Berita : contohnya firman Allah swt: "والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين" artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh.”(QS. 2:233)

Makna-makna sighat ini dikenal dikalangan ahli bahasa Arab. Pada dasarnya tidak memiliki muatan perintah (amar), sepanjang tidak ada indikasi yang menunjukkan perintah dan konsekwensi yang akan diperoleh jika tidak melaksanakan perintah tersebut. Oleh karenanya, para ulama ushul berbeda pendapat dalam menanggapi penggunaan makna ini dalam sighat amar.[2]
Pertama: Seluruh makna sighat ini adalah musytarak lafzi (ambiguitas lafaz) antar wajib, sunnah dan mubah.
Kedua : Seluruh makna sighat ini adalah musytarak ma’nawi (ambiguitas makna) antara wajib, sunnah dan mubah.
Ketiga: Seluruh makna sighat ini adalah musytarak lafzi antara wajib dan sunnah.
Keempat : Seluruh makna sighat ini adalah musytarak ma’nawi antara wajib dan    sunnah.
Kelima : Sighat amar pada hakikatnya adalah nadab.
Keenam: Sighat amar pada hakikatnya adalah wajib.

Mengenai hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa amar menunjukkan secara hakikat maknanya adalah wajib. Makna ini baru berubah ke makna yang lain jika ada indikasi (qarinah) yang menunjukkan makna selain wajib. Selama tidak ada indikasi makna lain, maka pada dasarnya seluruh sighat amar, maknanya adalah wajib.[3]

Perintah (amar) setelah larangan (hazr)
Secara umum, bahwa jika ada suatu perintah yang sebelumnya di dahului dengan sebuah larangan maka hukumnya menejadi boleh (ibahah), tidak lagi wajib. Inilah yang dikatakan dalam mazhab syafii,[4] dan dengannya dibangun qaidah yang menyebutkan ; الأمر بعد النهي للإباحة artinya ; perintah setelah larangan menunjukkan hukum mubah. Namun, ini bukan dijadikan standar mutlak dalam penentuan hukum secara keseluruhan.
Ada dua bentuk perintah yang muncul setelah adanya pelarangan. Kedua bentuk itu adalah ;[5]

Pertama: Terkadang sebuah larangan muncul disertai dengan sebab (‘illat) hukum. Ini bisa dilihat dalam firman Allah swt QS al Maidah ayat 2: "وإذا حللتم فاصطادوا" artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Pada ayat sebelumnya, terdapat pelarangan, firman Allah swt QS al Maidah ayat 1: "غير محلى الصيد وأنتم حرم" artinya : “(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Maka status hukum berburu di sini adalah hukumnya mubah.
Dalam salah satu hadis rasulullah saw bersabda : "فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغتسلي وصلي"  artinya; apabila datang haid, maka tinggalkanlah shalat, namun bila telah selesai segeralah mandi dan kerjakanlah shalat”. Pada hadis ini perintah shalat hukumnya wajib, meskipun sebelumnya didahului oleh larangan.
Dengan demikian disimpulkan bahwa, jika larangan yang ada bukan menghapus setatus hukum sebelumnya, namun hanya pembatalan hukum yang bersifat sementara dikarenakan adanya sebab yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan perintah tersebut. Maka hukumnya dikembalikan seperti hukum semula.[6]

Kedua: Terkadang sebuah larangan muncul bukan disebabkan oleh illat hukum, melainkan mutlak adanya. Seperti sabda rasulullah saw : "كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزورها" artinya : “dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziaralah”. Pada hadis ini perintah ziarah qubur hukumnya bukanlah wajib, melainkan mubah. Karena perintah yang muncul belakangan telah menetralisirkan larangan sebelumnya. Jadi, perintah yang seperti ini hukumnya mubah.

Perintah (amar) sepanjang tidak ada indikasi yang mengharuskan untuk dikerjakan secara berulang (tikrar) maka statusnya mutlak sebagai seruan semata tanpa harus ada pengulangan. Namun apabila tuntutan agar perbuatan itu dilakukan pada masa tertentu, dan harus berulang-maka perintah itu jatuh untuk dilakukan secara berulang-ulang.[7]

Adapun pendapat ulama ushul yang mengatakan bahwa sebuah perintah (amar) bertujuan untuk diulang-ulang (tikrar) dengan mengqiyaskan  dengan larangan (nahi), adalah batal. Karena qiyas yang dilakukan terhadap bahasa menghasilkan kesimpulan yang berbeda.[8]

Begitu juga halnya dengan perintah yang mengharuskan untuk disegerakan atau  tidak. Ini bergantung pada indikasi yang membuat perintah tersebut harus atau tidak disegerakan. Oleh karenanya, sebuah perintah itu mutlak, kecuali perintah yang ada dikaitkan dengan masa dan tempat yang menuntut perintah tersebut harus disegerakan. Akan tetapi mengerjakan perintah dengan segera lebih utama dan lebih antisipatif (ahwath). Ini didasarkan pada firman Allah swt :  "فاستبقوا الخيرات" artinya: “berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS.2.148).[9]  [Selesai]



(Fery Ramadhan, Lc.) 



[1] Al badakhsyi, Manahij al uqul, (Beirut, Dar al fikr, 2001), h.348-351.
[2] Muhammad al khudhari, Ushul fiqh, (Kairo: Maktabah taufiqiah), h. 236
[3] Ibnu Badran, madkhal ila madzahab imam ibn hanbal, (Mesir: thabaah muniriah),h.101
[4] As Syanqity, mudzakarah fi ilmi ushul al fiqh, (Madinah ; Maktabah Ulum wal hikam), h.231
[5] Muhammad al khudhari, Op.cit., h.241
[6] Ibid., 242
[7] Ibid., 242
[8] al khudhari., Loc.cit.,
[9] Wahbah az zuhaili, al Wajiz fi Ushul al fiqh, (Beirut, Dar al fikr Muashir), h. 214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About