1. Wajib;
contohnya firman Allah swt : "أقيموا الصلاة" artinya: “Dan dirikanlah shalat”.
(QS. 2:110)
2. Sunnah;
contohnya firman Allah swt: "فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا"
artinya: “Hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka”. (QS. 24:33)
3. Mendidik
; contohnya sabda rasul: "كل مما يليك" artinya: makanlah dari apa yang layak”.
4. Petunjuk
; contohnya firman Allah swt: "واتشهدوا شهيدين من رجالكم"
artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu)”.(QS. 2:282)
5. Mubah
; conthonya firman Allah swt: "وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض
من الخيط الأسواد من الفجر" artinya ; “Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. 2:187)
6. Ancaman
; contohnya firman Allah swt: "إعملواما شئتم" artinya: “Perbuatlah apa yang kamu
kehendaki”. (QS. 41:40)
7. Karunia
; contohnya firman Allah swt: "وكلوا مما رزقكم الله" artinya: “Dan makanlah makanan yang
halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu”. (QS. 5:88)
8. Memuliakan
; contohnya firman Allah swt: "أدخلوها بسلام أمنين" artinya: “"Masuklah ke
dalamnya dengan sejahtera lagi aman". (QS. 15:46)
9. Kehinaan
; contohnya firman Allah swt: "كونوا قرادة خاسئين" artinya: “Jadilah kamu kera yang
hina". (QS. 2:65)
10. Kelemahan ; contohnya
firman Allah swt: "فأتو بسورة من مثله
" artinya: “buatlah satu surat (saja)
yang semisal al-Qur'an itu”. (QS. 2:23)
11. Ejekan ; contohnya firman
Allah swt: "ذق إنك أنت العزيز الحكيم" artinya : “Rasakanlah, sesungguhnya
kamu orang yang perkasa lagi mulia. (QS. 44:49)
12. Penyamaan ; contohnya
firman Allah swt: "فاصبروا ولا تصبروا" artinya: “Maka baik kamu bersabar atau tidak”. QS. 52:16)
13. Doa ; contohnya firman
Allah swt : "رب اغفر لي" artinya: “ Ya Tuhanku ampunkanlah aku”. (QS. 14:41)
14. Pembentukan : contohnya
firman Allah swt: "كن فيكون" artinya: “Jadilah maka terjadilah”. (QS.36:82)
15. Berita : contohnya firman
Allah swt: "والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين" artinya : “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh.”(QS. 2:233)
Makna-makna sighat ini
dikenal dikalangan ahli bahasa Arab. Pada dasarnya tidak memiliki muatan
perintah (amar), sepanjang tidak ada indikasi yang menunjukkan perintah
dan konsekwensi yang akan diperoleh jika tidak melaksanakan perintah tersebut.
Oleh karenanya, para ulama ushul berbeda pendapat dalam menanggapi penggunaan
makna ini dalam sighat amar.[2]
Pertama: Seluruh makna sighat
ini adalah musytarak lafzi (ambiguitas lafaz) antar wajib, sunnah dan
mubah.
Kedua : Seluruh makna sighat
ini adalah musytarak ma’nawi (ambiguitas makna) antara wajib, sunnah dan
mubah.
Ketiga: Seluruh makna sighat ini
adalah musytarak lafzi antara wajib dan sunnah.
Keempat : Seluruh makna sighat
ini adalah musytarak ma’nawi antara wajib dan sunnah.
Kelima : Sighat amar pada
hakikatnya adalah nadab.
Keenam: Sighat amar pada
hakikatnya adalah wajib.
Mengenai hal ini jumhur ulama
berpendapat bahwa amar menunjukkan secara hakikat maknanya adalah wajib.
Makna ini baru berubah ke makna yang lain jika ada indikasi (qarinah) yang
menunjukkan makna selain wajib. Selama tidak ada indikasi makna lain, maka pada
dasarnya seluruh sighat amar, maknanya adalah wajib.[3]
Perintah (amar) setelah
larangan (hazr)
Secara umum, bahwa jika ada suatu
perintah yang sebelumnya di dahului dengan sebuah larangan maka hukumnya
menejadi boleh (ibahah), tidak lagi wajib. Inilah yang dikatakan dalam mazhab
syafii,[4]
dan dengannya dibangun qaidah yang menyebutkan ; الأمر بعد النهي للإباحة artinya
; perintah setelah larangan menunjukkan hukum mubah. Namun, ini bukan dijadikan
standar mutlak dalam penentuan hukum secara keseluruhan.
Ada dua bentuk perintah yang muncul
setelah adanya pelarangan. Kedua bentuk itu adalah ;[5]
Pertama: Terkadang sebuah larangan muncul disertai dengan sebab
(‘illat) hukum. Ini bisa dilihat dalam firman Allah swt QS al Maidah ayat 2: "وإذا حللتم
فاصطادوا" artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Pada ayat sebelumnya, terdapat pelarangan, firman Allah
swt QS al Maidah ayat 1: "غير محلى الصيد وأنتم حرم" artinya : “(Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Maka
status hukum berburu di sini adalah hukumnya mubah.
Dalam salah satu hadis rasulullah
saw bersabda : "فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغتسلي وصلي" artinya;
apabila datang haid, maka tinggalkanlah shalat, namun bila telah selesai
segeralah mandi dan kerjakanlah shalat”. Pada hadis ini perintah shalat
hukumnya wajib, meskipun sebelumnya didahului oleh larangan.
Dengan demikian disimpulkan bahwa,
jika larangan yang ada bukan menghapus setatus hukum sebelumnya, namun hanya
pembatalan hukum yang bersifat sementara dikarenakan adanya sebab yang tidak
memungkinkan untuk melaksanakan perintah tersebut. Maka hukumnya dikembalikan
seperti hukum semula.[6]
Kedua: Terkadang sebuah larangan muncul bukan disebabkan oleh
illat hukum, melainkan mutlak adanya. Seperti sabda rasulullah saw : "كنت
نهيتكم عن زيارة القبور الا فزورها" artinya : “dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi
sekarang berziaralah”. Pada hadis ini perintah ziarah qubur hukumnya bukanlah
wajib, melainkan mubah. Karena perintah yang muncul belakangan telah
menetralisirkan larangan sebelumnya. Jadi, perintah yang seperti ini hukumnya
mubah.
Perintah (amar) sepanjang
tidak ada indikasi yang mengharuskan untuk dikerjakan secara berulang (tikrar)
maka statusnya mutlak sebagai seruan semata tanpa harus ada pengulangan. Namun
apabila tuntutan agar perbuatan itu dilakukan pada masa tertentu, dan harus
berulang-maka perintah itu jatuh untuk dilakukan secara berulang-ulang.[7]
Adapun pendapat ulama ushul yang
mengatakan bahwa sebuah perintah (amar) bertujuan untuk diulang-ulang (tikrar)
dengan mengqiyaskan dengan larangan (nahi), adalah batal. Karena qiyas
yang dilakukan terhadap bahasa menghasilkan kesimpulan yang berbeda.[8]
Begitu juga halnya dengan perintah
yang mengharuskan untuk disegerakan atau tidak. Ini bergantung pada
indikasi yang membuat perintah tersebut harus atau tidak disegerakan. Oleh
karenanya, sebuah perintah itu mutlak, kecuali perintah yang ada dikaitkan
dengan masa dan tempat yang menuntut perintah tersebut harus disegerakan. Akan
tetapi mengerjakan perintah dengan segera lebih utama dan lebih antisipatif
(ahwath). Ini didasarkan pada firman Allah swt : "فاستبقوا الخيرات"
artinya: “berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS.2.148).[9]
[Selesai]
(Fery Ramadhan, Lc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar