Jumat, 12 April 2013

Hakikat Hukum Islam

Oleh : Fery Ramadhansyah, Lc.
Diskursus tentang hukum Islam masih terus hangat dibicarakan apalagi jika dikaitkan dengan kondisi sekarang. Islam sebagaimana orang menyebutnya sebagai way of life berfungsi bukan hanya sekadar menjadi tuntunan melainkan juga tuntutan. Sebab ketika agama hanya dipahami sebuah tuntunan semata, terkadang orang lebih sering menjadikan agama sebagai alternatif. Namun, ketika orang memahami agama selain menjadi tuntunan juga menjadi tuntutan, berarti ada konsekwensi yang mengharuskan dirinya untuk menjadikan agama satu-satunya pilihan hidup. Di sinilah istilah way of life itu terimplementasikan.

Dari sini fuqaha` al-mazhab yang empat, dengan segenap usaha dan kesanggupan yang dimilikinya, mereka berijtihad untuk mengistinbath hukum yang bersumber dari nusus as-syar‘iyyah ( Alquran dan hadis), yang kemudian hasil ijtihad mereka diikuti dan dikembangkan oleh murid-murid mereka, hingga akhirnya dikodifikasikan dalam kitab-kitab fikih yang banyak beredar di kalangan kita.

Akan tetapi yang menjadi persoalan kemudian apakah hukum Islam sebatas yang dimaksud dalam fikih. Bagaimana proses pemunculan norma-norma hukum seperti yang terdapat dalam sumber-sumber hukum Islam hingga tersistemasi menjadi putusan hukum. Maka di makalah ini, penulis akan coba memaparkan bagaimana hakikat hukum Islam tersebut dalam perspektif fikih dan usul al-fiqh. Ini dimaksudkan  agar kita memliki persepsi yang sama tentang hukum Islam. Dengan demikian akan lebih memudahkan kita ke depan untuk melangkah lebih jauh membahas tentang filsafat hukum Islam. Namun, penulis juga menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam makalah ini, nantinya diharapkan  kritik konstruktif dari pembaca sekalian dan juga arahan dari dosen pembimbing kita, sebagai bahan revisi makalah.

Pengertian Hukum Islam
Untuk memahami apa itu hukum Islam, terlebih dahulu harus diketahui dari mana istilah ini diambil. Apakah hukum Islam muncul dari pengistilahan seperti yang diformulasikan oleh fuqaha` ( islamic jurist) di dalam disiplin ilmu fikih dan usul al-fiqh. Atau, justru istilah ini diadopsi dari pihak luar (outsider) yang berusaha memahami islam dari sudut pandang hukum yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, baik kiranya mencari asal mula istilah ini.

Di kalangan masyarakat Arab, berbicara tentang norma hukum yang terkandung dalam Alquran dan sunah, tidak bisa dilepaskan dari dua istilah yang mengcovernya. Pertama, ada yang dikenal dengan istilah syari‘ah, dan kedua, ada yang dikenal dengan fiqh. Kedua istilah inilah yang kemudian menjadi bagian yang terpisahkan satu sama lain ketika melihat bagaimana hakikat hukum Islam sebenarnya.

Kata syari‘ah (syariat), secara etimologi adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja (fi’l)  syara‘a, artinya;  menggapai air dengan mulutnya (tanawal al-ma`a bi fihi).[1] Seperti perkataan syara’at ad-dawwab fi al-ma’i ( hewan-hewan itu meminum air).[2] Secara bahasa diartikan sebagai sumber mata air yang digunakan untuk minum ( mawrid al- ma’i al-lazi yuqsadu li as-syurbi).[3] Karena memang biasanya sumber mata air adalah awal sebuah kehidupan yang membuat tubuh tetap segar. Kemudian kata ini dikenal oleh masyarakat arab untuk sebutan jalan yang lurus ( at-tariqat al-mustaqimah).[4]

Jika kata syari‘ah ini disandangkan dengan agama (ad-din), maka artinya menjadikannya tradisi dan mememberikan penjelasan.[5] Dalam kamus  Mahmud Yunus, kata ini diartikan membuat syariat (undang-undang). Dari sini bisa disimpulkan, bahwa kata syari‘ah secara bahasa berarti ; Pertama ; Peraturan, seperti yang terdapat dalam Qs: Al-Jatsiyah: 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Kedua ; Menjadikan tradisi, seperti yang terdapat dalam Qs: As-syura: 13 “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh..”. ketiga : Ketetapan  dari Allah, seperti yang terdapat dalam Qs: as-syura:21 “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”.

Secara terminologi, Manna’ al-Qattan mengatakan bahwa syariat adalah semua aturan yang ditetapkan oleh Allah buat hambanya, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, muamalat dan aturan dalam semua lini kehidupan yang mengatur hubungan antara hamba dengan tuhannya ataupun hamba dengan sesamanya. Semua ini bertujuan demi tercapai kebahagian di dunia maupun di akhirat.[6]

Adapun fikih, secara etimologi merupakan bentuk dasar  dari kata kerja di dalam bahasa arab; faqaha yang artinya paham (al-fahmu).[7] Ini seperti apa yang diungkapkan Rasulullah ketika mendoa’kan Ibnu Abbas; Allahumma ‘allimhu ad-din, wa faqqihhu fi at-ta`wil, (Ya Allah ajarkanlah padanya persoalan agama, dan berikanlah pemahaman padanya dalam menta’wil).

Sedangkan menurut terminologi, Abd al-wahhab khallaf  menyebutkan, fiqh  (fikih) adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat perbuatan (al-‘amaliyyat) yang diperloeh dari dalil-dalil  terperinci (at-tafsili).[8]

Oleh karena itulah antara syariat dan fikih memiliki keterikatan makna satu sama lain. Dengan kata lain, syariat adalah rumah besar yang menaungi fikih di dalamnya sebagai usaha untuk pencarian bentuk ideal penerapan hukum sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian dari fikih inilah nanti akan dihasilkan beberapa produk hukum terapan, yang kemudian disebut sebagai rangkaian hukum Islam, seperti ; fatwa, qada`, dan qanun.

Jadi, antara syariat, fikih dan hukum Islam seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Antara ketiganya tidak bisa dilihat secara parsial, karena memang hukum Islam itu adalah bentuk implementasi dari apa yang telah dipahami seorang faqih, yang terkodifikasikan dalam karya fikihnya, dan juga merupakan turunan dari syariat tersebut. Sebab, seperti yang dikemukakan oleh al-Qaradawi, bahwa tidak mungkin memisahkan antara syariah dan fikih. Karena fikih adalah ilmu yang pembentukannya dari syariah (Alquran dan hadis), dan syariah itu sendiri diketahui dari wahyu ilahi. Dengan demikian dipahami bahwa fikih adalah ilmu yang berdasarkan wahyu ilahi. Maka tidak benar, orang yang menyebutkan kalau syariat adalah satu hal, dan fikih merupakan hal yang lain. Atau fikih adalah buatan manusia sementara syariat adalah wahyu ilahi.[9]

Tentu alasan ini dikemukakan karena memang realitanya ditemui banyak pemahaman keliru yang sering muncul, terutama dari pihak luar seperti orientalis dan sarjana-sarjana barat yang memahami hukum Islam secara terpisah. Sehingga kemudian mereka menyimpulkan bahwa syariat bersifat absolut sementara fikih bersifat relatif. Berangkat dari unsur relatif yang terdapat di dalam fikih ini lalu dijadikan titik balik untuk kembali mereformulasi fikih dengan bebas walaupun tidak berada dalam jalur syariat.

Dan untuk penyebutan istilah hukum Islam, sebenarnya tidak dikenal oleh kalangan masyarakat arab bahkan umat islam sendiri. Sebab, bagi mereka hukum Islam lebih sering disebut syari‘ah atau fiqh. Sama halnya di masyarakat Indonesia juga, penggunaan istilah hukum Islam lebih sering digunakan dengan sebutan syariah. Seperti penyandingan istilah syariah dalam beberapa hal ; peraturan daerah,  perbankan,  pegadaian, hotel dan lain sebagainya.[10]

Kalaupun ada padanan kata atau istilah yang digunakan dalam bahasa arab untuk menyebutkan hukum Islam, maka orang menyebutnya dengan Ahkam as-syar’iy. Apabila ditinjau lebih dalam pengertian hukum di sini, sebagaimana yang di definisikan oleh usuliyyun maka bisa dipahami bahwa hukum merupakan sapaan ilahi (khitab Allah) yang berisi tuntutan (talab), pilihan (takhyir) atau penetapan (wad’a).[11]

Pernyataan bahwa hukum adalah sapaan ilahi ini menggambarkan dua hal.  Pertama,  dalam konsepsi ini hukum memiliki dasar-dasar keilahian dalam pengertian bahwa hukum itu bersumber kepada bimbingan dan tuntunan ilahi sebagimana dapat ditemukan dalam wahyu-Nya. Kedua,  hukum merupakan kata kerja, karena hukum dikonsepsikan sebagai suatu sapaan. Dalam hukum, menurut konsepsi ini, tuhan menyapa manusia mengenai tingkah lakunya , dan penyapaan tuhan itulah yang disebut hukum. Setidaknya ini adalah konsepsi teoritisi hukum Islam.

Sementara itu, jika istilah hukum Islam ini mau dipahami dari segi bahasa Indonesia, maka istilah ini merupakan bentuk kalimat majmuk yang terdiri dari dua kata ; hukum dan Islam. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan; hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab Alquran. Dengan sebutan lain, hukum Islam adalah hukum syarak.[12]

Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa hukum Islam yang dimaksud adalah sama seperti apa yang disebut dengan syariah dan fikih. Hukum Islam yang  merupakan terjemahan dari  islamic law dipahami baik di kalangan umat Islam sendiri ataupun di luar itu, adalah satu sistem yang mengatur masyarakat muslim dalam kehidupannya sehari-harinya, baik yang berupa legal formal seperti qanun dan qada maupun yang bersifat informal seperti fatwa. Hal ini bisa dilihat setidaknya dari preseden sejarah sejak didirikannya pemerintahan Islam pertama oleh Nabi Muhammad SAW, yang berpusat di Madinah, kemudian dilanjutkan oleh Khulafa’ ar-rasyidin dan beberapa dinasti islam (Umayyah dan Abbasiah) sesudahnya yang memberlakukan syariah sebagai satu sistem legal formal dengan andil pemerintah sebagai pelaksananya.

Jadi, tidak ada ambiguitas makna untuk hukum Islam. Pembedaan secara parsial antara istilah-istilah : syariat, fikih, qada’, fatwa dan qanun, semuanya adalah bagian dari hukum Islam itu sendiri. Hanya saja diantaranya ada yang bersifat idealistis  (syariat), teoritis ( fikih, yang dalam hal ini dilengkapi juga dengan usul al-fiqh) dan praktis ( fatwa, qada dan qanun).  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmed Hasan bahwa hukum Islam ( islamic law) itu disebut juga hukum yang ditetapkan berdasarkan wahyu ( divine law), yang memiliki otoritas tunggal dalam membentuknya adalah hanya Allah. Adapun manusia, mulai dari Rasulullah SAW sampai para perumus hukum seperti fuqaha`, mereka tidak lebih hanya subordinasi dari Allah sendiri. Makanya ketika seorang muslim bertindak sesuai dengan hukum Islam dalam kesehariannya di semua lini kehidupan,  berarti itu adalah usaha untuk menerjemahkan kehendak Allah tersebut. Oleh karena itu disebutkan bahwa hukum Islam merupakan manifestasi dari kehendak Allah.[13]

Sumber Hukum Islam
Secara umum, sumber-sumber materi pokok hukum Islam adalah Alquran dan Sunah. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan.  Ijtihad dengan  ra’yu  (akal)  sesungguhnya adalah alat atau  jalan untuk menyusun  legislasi  mengenai  masalah-masalah  baru  yang  tidak  ditemukan bimbingan langsung dari Alquran dan Sunah untuk menyelesaikannya. 

Kata Alquran  berasal  dari  bahasa Arab; al-Qur`an  yang  berarti pembacaan atau bacaan.[14] Sedang menurut  istilah, Alquran adalah  kalam  Allah  yang  diturunkan  kepada  Nabi  Muhammad  Saw.  melalui Malaikat  Jibril  dengan  menggunakan  bahasa  Arab  sebagai  hujjah  (bukti)  atas kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman hidup bagi manusia serta sebagai media  dalam mendekatkan  diri  kepada Allah  dengan membacanya.[15]

Menurut  Ahmad  Hasan[16],  Alquran  bukanlah  suatu  undang-undang hukum  dalam  pengertian  modern  ataupun  sebuah  kumpulan  etika.  Tujuan  utama Alquran  adalah  meletakkan  suatu  way  of  life  yang  mengatur  hubungan  manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Allah. Alquran memberikan arahan bagi kehidupan sosial manusia maupun tuntunan berkomunikasi dengan penciptanya. Selain itu, Alquran  juga mengandung  ajaran moral  yang  cukup  banyak. Oleh karenanya tidaklah  benar  kalau  N.J.  Coulson  mengatakan  bahwa  tujuan  utama Alquran  bukanlah mengatur  hubungan manusia  dengan  sesamanya,  tetapi  hubungan manusia dengan penciptanya saja.[17] 

Perlu diketahui bahwa posisi Alquran  sebagai  sumber pertama dan  terpenting bagi  teori hukum  tidaklah berarti bahwa Alquran menangani setiap persoalan terperinci.  Alquran,  sebagaimana  kita  ketahui,  pada  dasarnya bukan  kitab  undang-undang  hukum,  tetapi merupakan  dokumen  tuntunan  spiritual dan  moral. Walaupun  pada  umumnya  ayat-ayat  Alquran  yang menyangkut hukum bersifat pasti,  tetapi  selalu  terbuka bagi penafsiran, dan aturan-aturan yang berbeda dapat diturunkan dari suatu yang sama atas dasar  ijtihad.

Dari  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  kedudukan  Alquran  sebagai sumber  utama  hukum  Islam  berarti  bahwa  Alquran  menjadi  sumber  dari  segala sumber  hukum  dalam  Islam.  Hal  ini  juga  berarti  bahwa  penggunaan  sumber  lain dalam  Islam  harus  sesuai  dengan  petunjuk  Alquran  dan  tidak  boleh  bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Alquran. 

Sumber  hukum  Islam  yang  kedua  adalah  sunah.  Secara  etimologis,  kata sunah  berasal  dari  kata  berbahasa Arab  al-sunah  yang  berarti  cara,  adat  istiadat (kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara yang baik dan yang  buruk.  Ini  bisa  dipahami  dari  sabda  Nabi  yang  diriwayatkan  oleh  Muslim, “Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam Islam, maka dia akan memeroleh pahalanya dan pahala orang  yang mengikutinya, dan barang  siapa  yang membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”.[18] 

Secara  terminologis,  ada beberapa pemahaman  tentang Sunah. Menurut  ahli hadis,  Sunah  berarti  sesuatu  yang  berasal  dari Nabi  Saw.  yang  berupa  perkataan, perbuatan,  penetapan,  sifat,  dan  perjalanan  hidup  beliau  baik  pada waktu  sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya.[19]

Bentuk  Sunah  bisa  bermacam-macam.  Sesuai  dengan  definisinya,  bentuk Sunah  ada  tiga macam,  yaitu  ada  yang berbentuk  sabda Nabi  (sunah  qauliyyah), ada  yang  berbentuk  perilaku  Nabi  (sunah  fi’liyyah),  dan  ada  yang  berbentuk penetapan  Nabi  atas  perilaku  sabahat  (sunah  taqririyyah).  Dari  segi  derajatnya, Sunah  ada  yang  shauhih,  hasan,  dan  dla’if,  bahkan  ada  yang  maudlu’  (Sunah palsu). Sedang dilihat dari  segi  jumlah penyampainya, Sunah ada yang mutawātir, masyhur, dan ahad. Dan masih banyak lagi pembagian lain dari Sunah atau hadis ini.[20]

Sebagai  sumber  hukum  Islam  kedua  setelah  Alquran,  fungsi  Sunah  adalah sebagai  bayan  atau  penjelas  terhadap Alquran.  Fungsi  bayan  ini  bisa  berupa  salah satu dari tiga fungsi, yaitu: 1) menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang ada dalam  Alquran,  seperti  sabda  Nabi  tentang  rukun  Islam  yang  lima  merupakan ketegasan dari firman Allah Swt. yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, dan haji; 2) memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Alquran atau memerinci apa-apa yang dalam Alquran disebutkan secara garis besar (tafsil), mengkhususkan apa-apa  yang  dalam  Alquran  disebut  dalam  bentuk  umum  (takhsis),  atau  memberi batasan  terhadap  apa  yang  disampaikan  Allah  secara  mutlak  (taqyid),  seperti perincian cara-cara shalat yang diberikan oleh Nabi yang merupakan penjelasan dari perintah melakukan shalat secara global dalam Alquran; 3) menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Alquran  (tasyri’), seperti haramnya mengawini seorang perempuan sekaligus mengawini bibinya secara bersamaan.[21]

Seiring  dengan  dijadikannya  Sunah  sebagai  sumber  hukum  bagi  kaum Muslim, maka  pendapat  dan  praktik  dari  para  sahabat  pun  banyak  yang  dijadikan sumber  hukum,  dengan  alasan  bahwa  para  sahabat  adalah  para  pengamat  langsung dari Sunah Nabi. Karena mereka bertahun-tahun lamanya bersama Nabi, diharapkan mereka  tentu mengetahui  tidak  hanya  perkataan  dan  perilaku Nabi,  tetapi  juga  ruh dan  karakter  dari  ‘Sunah  ideal’  yang  ditinggalkan Nabi  bagi  generasi  selanjutnya. Meskipun pendapat mereka berbeda-beda, tetapi tetap ada pada ruh Sunah Nabi, dan dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari Sunah Nabi. Itulah sebabnya mengapa para ahli hukum mazhab-mazhab awal  sering berargumentasi  atas dasar keputusan-keputusan  hukum  para  sahabat.  Inilah  yang  biasa  dilakukan  oleh  Imam Malik  dan Imam Syafi’i misalnya.[22] Generasi berikutnya, yaitu para tabi’in,  juga  memainkan  peran  yang  penting  dalam  perkembangan  hukum  Islam, karena  mereka  memiliki  hubungan  dengan  para  sahabat.  Keputusan-keputusan hukum mereka merupakan  sumber hukum bagi mazhab-mazhab awal.  Imam Malik, misalnya, mengutip praktik dan pendapat para tabi’in setelah mengutip Sunah Nabi, dan begitu juga fuqaha’ awal lainnya.

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad. Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata al-ijtihad  yang berarti penumpahan  segala upaya dan kemampuan atau berusaha dengan sungguh-sungguh.[23] Secara terminologis, ijtihad  berarti mencurahkan  kesanggupan  dalam mengeluarkan  hukum  syara’  yang bersifat  ‘amaliyyah  dari  dalil-dalilnya  yang  terperinci  baik  dalam Alquran maupun Sunah.[24] Dasar hukum dibolehkannya ijtihad adalah Alquran, Sunah, dan  logika. Nas Alquran dan Sunah  sangat  terbatas  jika dibandingkan  dengan  banyaknya  peristiwa  yang  dihadapi  oleh  umat  manusia, sehingga  perlu  ditetapkannya  aturan  baru  untuk menghukumi  semua  permasalahan yang muncul dan belum diatur oleh Alquran dan Sunah.

Pada prinsipnya  ijtihad bisa digunakan dalam dua hal. Pertama, dalam hal-hal yang  tidak  ada  nash-nya  sama  sekali.  Dalam  hal  ini  mujtahid  dapat  menemukan hukum  secara murni dan  tidak berbenturan dengan ketentuan nash yang  sudah ada, karena memang belum ada nash-nya. Kedua,  ijtihad dapat digunakan dalam hal-hal yang  sudah  diatur  oleh  nash,  tetapi  penunjukannya  terhadap  hukum  tidak  pasti (zanni ad-dalalah). Nas hukum dalam bentuk ini bisa memberikan kemungkinan- kemungkinan  pemahaman.  Dalam  hal  ini  ijtihad  berperan  di  dalam  menemukan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Cara atau metode yang ditempuh dalam rangka berijtihad  bermacam-macam,  yakni:  ijma’,  qiyas,  istihsan,  mashlahat al  mursalah, istishhab, ‘urf, mazhab shahabiy, dan syar’u man qablana.

Ruang Lingkup Hukum Islam  
Ruang  lingkup  di sini  berarti  objek  kajian  hukum  Islam  atau  bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Ruang lingkup hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat  (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum  adat di  Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian  hukum  Islam  lebih  dititikberatkan  pada  bentuk  aktivitas  manusia  dalam melakukan hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan  ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah)  dan  hubungan  manusia  dengan  sesamanya  (hablun  minannas).  Bentuk hubungan  yang  pertama  disebut  ibadah  dan  bentuk  hubungan  yang  kedua  disebut muamalah.

Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang  terdapat dalam Alquran, ‘Abd al-wahhab khallaf membagi hukum menjadi  tiga, yaitu hukum-hukum  i’tiqadiyyah (keimanan),  hukum-hukum  khuluqiyyah  (akhlak),  dan  hukum-hukum  ‘amaliyyah (aktivitas  baik  ucapan maupun  perbuatan).  Hukum-hukum  ‘amaliyyah  inilah  yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Ia membagi hukum-hukum ‘amaliyyah  menjadi  dua,  yaitu  hukum-hukum  ibadah  yang  mengatur  hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah  yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.[25] 

Hakikat  ibadah menurut para ahli adalah ketundukan  jiwa yang  timbul karena hati merasakan  cinta  akan  yang disembah  (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena  meyakini  bahwa  dalam  alam  ini  ada  kekuasaan  yang  hakikatnya  tidak diketahui  oleh  akal  (Ash  Shiddieqy,  1985:  8)[26].  Karena  ibadah merupakan  perintah Allah  dan  sekaligus  hak-Nya,  maka  ibadah  yang  dilakukan  oleh  manusia  harus mengikuti  aturan-aturan  yang  dibuat  oleh Allah. Allah mensyaratkan  ibadah  harus dilakukan  dengan  ikhlas  (QS.  al-Zumar  [39]:  11)  dan  harus  dilakukan  secara  sah  sesuai  dengan  petunjuk  syara’  (QS.  al-Kahfi  [18]:  110).  Dalam  masalah  ibadah berlaku  ketentuan,  tidak  boleh  ditambah-tambah  atau  dikurangi.  Allah  telah mengatur  ibadah  dan  diperjelas  oleh  Rasul-Nya.  Karena  ibadah  bersifat  tertutup (dalam  arti  terbatas), maka dalam  ibadah berlaku  asas umum,  yakni pada dasarnya semua  perbuatan  ibadah  dilarang  untuk  dilakukan  kecuali  perbuatan-perbuatan  itu dengan tegas diperintahkan. [27]

Berbeda  dengan  masalah  ibadah,  ketetapan-ketetapan  Allah  dalam  masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun ada, tidak  terperinci  seperti  halnya  dalam  bidang  ibadah.  Oleh  karena  itu,  bidang muamalah  terbuka  sifatnya  untuk  dikembangkan  melalui  ijtihad.  Karena  sifatnya yang  terbuka  tersebut,  dalam  bidang  muamalah  berlaku  asas  umum,  yakni  pada dasarnya  semua  akad  dan  muamalah  boleh  dilakukan,  kecuali  ada  dalil  yang membatalkan  dan melarangnya.[28]  Dari  prinsip  dasar  ini dapat  dipahami  bahwa  semua  perbuatan  yang  termasuk  dalam  kategori muamalah boleh saja dilakukan selama  tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat dari segi bagian-bagiannya,  ruang  lingkup hukum  Islam dalam bidang muamalah, menurut  Abd al-Wahhab  Khallaf [29],  meliputi:  1)  hukum-hukum  masalah  perorangan/ keluarga;  2)  hukum-hukum  perdata;  3)  hukum-hukum  pidana;  4)  hukum-hukum acara  peradilan;  5)  hukum-hukum  perundang-undangan;  6)  hukum-hukum kenegaraan; dan 7) hukum-hukum ekonomi dan harta.






[1] Ibn Manzur, Lisan al-arab (Kairo : Dar al-hadis, 2003), vol 5, h.82.
[2] Ibid., h.82
[3] Manna’ al qattan, Tarikh at-tasyri’ al-islami, (Kairo: Maktabah wahbah, 2001), h.13.
[4] Ibid., h.13
[5] Mujamma’ al-lughat al-arabiyyah, Mu‘jam al wasit. ( kairo ; Maktabat as-syuruq ad-dauliah, 2005 ), cet. 4, h.478.
[6] Manna’ al qattan, Tarikh at-tasyri’ al-islami (Kairo; Maktabah wahbah, 2001), h.14
[7] Ibn Manzur, Lisan al-arab, (Kairo ; Dar al hadis, 2003), vol 7, h. 145
[8] ‘Abd al-wahhab khallaf, ‘Ilm usul al-fiqh, (Kairo; Dar al-hadis, 2003), h.11
[9] Yusuf al-qaradawi, Madkhal li ad-Dirasat as-Syariat al-Islamiyyat, (Kairo; Maktabah wahbah, 2001), h.22
[10] Di dalam kamus besar bahasa indonesia, syariat diartikan : hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis”.  Inilah sebabnya meskipun hanya baru sebagian aspek seperti ekonomi dengan adanya bank syariah, penggunaan kata syariah menjadi identik sebagai sebuah sistem yang dijalankan berdasarkan hukum Islam.
[11] ‘Abd al-wahhab khallaf, ‘Ilm usul al-fiqh  (Kairo; Dar al-hadis, 2003), h.111
[12] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2008), h.531.
[13] Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (New Delhi: Adam Publishers and distributors, 2003), h.33
[14] Ahmad Warson Munawir, Al Munawwir; Kamus arab indonesia ( Yogyakarta, PP. Almunawwir Karapyak: 1984), h.1185
[15] Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 23
[16] Ahmed Hasan. Op.cit., h. 39
[17] N.J. Coulson, A history of islamic law, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), h.12
[18] Muhammad Ajajj al Khatib, Ulum al hadis; Ulumuha wa Mustalahuha, (Beirut: Dar al-fikr, 1989), h.17
[19] Ibid., h. 19
[20] Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 40
[21] Ibid., h. 43-44
[22] Ahmed Hasan. Op.cit., h. 47-48
[23] Ahmad Warson Munawir, Op. cit., h.234
[24] Muhammad Abu Zaharoh, Usul al-fiqh (Kairo: Dar al-fikr al-arabiy, 1958), h.379
[25] Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 35
[26] T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah ditinjau dari segi hukum dan hikmah (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.8
[27] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 49
[28] T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah ditinjau dari segi hukum dan hikmah (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.91
[29] Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 35-37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About