Oleh : Fery Ramadhansyah, Lc.
Diskursus tentang hukum Islam masih
terus hangat dibicarakan apalagi jika dikaitkan dengan kondisi sekarang. Islam
sebagaimana orang menyebutnya sebagai way of life berfungsi bukan hanya
sekadar menjadi tuntunan melainkan juga tuntutan. Sebab ketika agama hanya dipahami
sebuah tuntunan semata, terkadang orang lebih sering menjadikan agama sebagai
alternatif. Namun, ketika orang memahami agama selain menjadi tuntunan juga
menjadi tuntutan, berarti ada konsekwensi yang mengharuskan dirinya untuk
menjadikan agama satu-satunya pilihan hidup. Di sinilah istilah way of life
itu terimplementasikan.
Dari sini fuqaha`
al-mazhab yang empat, dengan segenap usaha dan kesanggupan
yang dimilikinya, mereka berijtihad untuk mengistinbath hukum yang bersumber
dari nusus
as-syar‘iyyah ( Alquran dan hadis), yang kemudian
hasil ijtihad mereka diikuti dan dikembangkan oleh murid-murid mereka, hingga
akhirnya dikodifikasikan dalam kitab-kitab fikih yang banyak beredar di
kalangan kita.
Akan tetapi yang menjadi persoalan
kemudian apakah hukum Islam sebatas yang dimaksud dalam fikih. Bagaimana proses
pemunculan norma-norma hukum seperti yang terdapat dalam sumber-sumber hukum
Islam hingga tersistemasi menjadi putusan hukum. Maka di makalah ini, penulis
akan coba memaparkan bagaimana hakikat hukum Islam tersebut dalam perspektif
fikih dan usul
al-fiqh.
Ini dimaksudkan agar kita memliki
persepsi yang sama tentang hukum Islam. Dengan demikian akan lebih memudahkan
kita ke depan untuk melangkah lebih jauh membahas tentang filsafat hukum Islam.
Namun, penulis juga menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan
dalam makalah ini, nantinya diharapkan
kritik konstruktif dari pembaca sekalian dan juga arahan dari dosen
pembimbing kita, sebagai bahan revisi makalah.
Pengertian Hukum Islam
Untuk memahami apa itu hukum Islam,
terlebih dahulu harus diketahui dari mana istilah ini diambil. Apakah hukum
Islam muncul dari pengistilahan seperti yang diformulasikan oleh fuqaha`
( islamic jurist) di dalam disiplin ilmu fikih dan usul
al-fiqh.
Atau, justru istilah ini diadopsi dari pihak luar (outsider) yang berusaha
memahami islam dari sudut pandang hukum yang terkandung di dalamnya. Oleh
karena itu, baik kiranya mencari asal mula istilah ini.
Di kalangan masyarakat Arab,
berbicara tentang norma hukum yang terkandung dalam Alquran dan sunah, tidak
bisa dilepaskan dari dua istilah yang mengcovernya. Pertama, ada
yang dikenal dengan istilah syari‘ah,
dan kedua, ada yang dikenal dengan fiqh. Kedua istilah inilah yang
kemudian menjadi bagian yang terpisahkan satu sama lain ketika melihat
bagaimana hakikat hukum Islam sebenarnya.
Kata syari‘ah
(syariat),
secara etimologi adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja (fi’l) syara‘a, artinya; menggapai air dengan mulutnya (tanawal
al-ma`a
bi fihi).[1] Seperti
perkataan syara’at ad-dawwab fi
al-ma’i ( hewan-hewan itu meminum air).[2]
Secara bahasa diartikan sebagai sumber mata air yang digunakan untuk minum (
mawrid al- ma’i
al-lazi
yuqsadu
li as-syurbi).[3]
Karena memang biasanya sumber mata air adalah awal sebuah kehidupan yang
membuat tubuh tetap segar. Kemudian kata ini dikenal oleh masyarakat arab untuk
sebutan jalan yang lurus ( at-tariqat
al-mustaqimah).[4]
Jika kata syari‘ah
ini disandangkan dengan agama (ad-din), maka artinya menjadikannya tradisi dan
mememberikan penjelasan.[5] Dalam
kamus Mahmud Yunus, kata ini diartikan
membuat syariat (undang-undang). Dari sini bisa disimpulkan, bahwa kata syari‘ah
secara bahasa berarti ; Pertama ; Peraturan, seperti yang terdapat dalam
Qs: Al-Jatsiyah: 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Kedua ; Menjadikan
tradisi, seperti yang terdapat dalam Qs: As-syura: 13 “Dia telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh..”. ketiga :
Ketetapan dari Allah, seperti yang
terdapat dalam Qs: as-syura:21 “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”.
Secara terminologi, Manna’
al-Qattan
mengatakan bahwa syariat adalah semua aturan yang ditetapkan oleh Allah buat
hambanya, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, muamalat dan aturan dalam
semua lini kehidupan yang mengatur hubungan antara hamba dengan tuhannya
ataupun hamba dengan sesamanya. Semua ini bertujuan demi tercapai kebahagian di
dunia maupun di akhirat.[6]
Adapun fikih, secara etimologi
merupakan bentuk dasar dari kata kerja
di dalam bahasa arab; faqaha yang artinya paham (al-fahmu).[7]
Ini seperti apa yang diungkapkan Rasulullah ketika mendoa’kan Ibnu Abbas; Allahumma
‘allimhu ad-din,
wa faqqihhu fi at-ta`wil,
(Ya Allah ajarkanlah padanya persoalan agama, dan berikanlah pemahaman padanya
dalam menta’wil).
Sedangkan menurut terminologi, Abd
al-wahhab khallaf menyebutkan, fiqh
(fikih) adalah ilmu tentang
hukum-hukum syariat yang bersifat perbuatan (al-‘amaliyyat) yang diperloeh dari
dalil-dalil terperinci (at-tafsili).[8]
Oleh karena itulah antara syariat
dan fikih memiliki keterikatan makna satu sama lain. Dengan kata lain, syariat
adalah rumah besar yang menaungi fikih di dalamnya sebagai usaha untuk
pencarian bentuk ideal penerapan hukum sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian
dari fikih inilah nanti akan dihasilkan beberapa produk hukum terapan, yang
kemudian disebut sebagai rangkaian hukum Islam, seperti ; fatwa,
qada`,
dan qanun.
Jadi, antara syariat, fikih dan hukum
Islam seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Antara ketiganya
tidak bisa dilihat secara parsial, karena memang hukum Islam itu adalah bentuk implementasi
dari apa yang telah dipahami seorang faqih,
yang terkodifikasikan dalam karya fikihnya, dan juga merupakan turunan dari
syariat tersebut. Sebab, seperti yang dikemukakan oleh al-Qaradawi,
bahwa tidak mungkin memisahkan antara syariah dan fikih. Karena fikih adalah
ilmu yang pembentukannya dari syariah (Alquran dan hadis), dan syariah itu
sendiri diketahui dari wahyu ilahi. Dengan demikian dipahami bahwa fikih adalah
ilmu yang berdasarkan wahyu ilahi. Maka tidak benar, orang yang menyebutkan
kalau syariat adalah satu hal, dan fikih merupakan hal yang lain. Atau fikih
adalah buatan manusia sementara syariat adalah wahyu ilahi.[9]
Tentu alasan ini dikemukakan karena
memang realitanya ditemui banyak pemahaman keliru yang sering muncul, terutama
dari pihak luar seperti orientalis dan sarjana-sarjana barat yang memahami hukum
Islam secara terpisah. Sehingga kemudian mereka menyimpulkan bahwa syariat
bersifat absolut sementara fikih bersifat relatif. Berangkat dari unsur relatif
yang terdapat di dalam fikih ini lalu dijadikan titik balik untuk kembali mereformulasi
fikih dengan bebas walaupun tidak berada dalam jalur syariat.
Dan untuk penyebutan istilah hukum
Islam, sebenarnya tidak dikenal oleh kalangan masyarakat arab bahkan umat islam
sendiri. Sebab, bagi mereka hukum Islam lebih sering disebut syari‘ah
atau
fiqh. Sama halnya di masyarakat Indonesia juga, penggunaan istilah hukum
Islam lebih sering digunakan dengan sebutan syariah. Seperti penyandingan
istilah syariah dalam beberapa hal ; peraturan daerah, perbankan,
pegadaian, hotel dan lain sebagainya.[10]
Kalaupun ada padanan kata atau
istilah yang digunakan dalam bahasa arab untuk menyebutkan hukum Islam, maka
orang menyebutnya dengan Ahkam
as-syar’iy.
Apabila ditinjau lebih dalam pengertian hukum di sini, sebagaimana yang di
definisikan oleh usuliyyun
maka bisa dipahami bahwa hukum merupakan
sapaan ilahi (khitab Allah) yang berisi tuntutan (talab), pilihan (takhyir) atau penetapan (wad’a).[11]
Pernyataan
bahwa hukum adalah sapaan ilahi ini menggambarkan dua hal. Pertama, dalam konsepsi ini hukum memiliki dasar-dasar
keilahian dalam pengertian bahwa hukum itu bersumber kepada bimbingan dan
tuntunan ilahi sebagimana dapat ditemukan dalam wahyu-Nya. Kedua, hukum merupakan kata kerja, karena hukum
dikonsepsikan sebagai suatu sapaan. Dalam hukum, menurut konsepsi ini, tuhan
menyapa manusia mengenai tingkah lakunya , dan penyapaan tuhan itulah yang disebut
hukum. Setidaknya ini adalah konsepsi teoritisi hukum Islam.
Sementara
itu, jika istilah hukum Islam ini mau dipahami dari segi bahasa Indonesia, maka
istilah ini merupakan bentuk kalimat majmuk yang terdiri dari dua kata ; hukum
dan Islam. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan; hukum Islam adalah
peraturan-peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan
kitab Alquran. Dengan sebutan lain, hukum Islam adalah hukum syarak.[12]
Dengan
demikian kita bisa menyimpulkan bahwa hukum Islam yang dimaksud adalah sama
seperti apa yang disebut dengan syariah dan fikih. Hukum Islam yang merupakan terjemahan dari islamic law dipahami baik di kalangan
umat Islam sendiri ataupun di luar itu, adalah satu sistem yang mengatur
masyarakat muslim dalam kehidupannya sehari-harinya, baik yang berupa legal
formal seperti qanun dan qada’ maupun yang bersifat informal seperti fatwa. Hal ini bisa
dilihat setidaknya dari preseden sejarah sejak didirikannya pemerintahan Islam
pertama oleh Nabi Muhammad SAW, yang berpusat di Madinah, kemudian dilanjutkan
oleh Khulafa’ ar-rasyidin dan beberapa dinasti islam (Umayyah dan Abbasiah)
sesudahnya yang memberlakukan syariah sebagai satu sistem legal formal dengan
andil pemerintah sebagai pelaksananya.
Jadi,
tidak ada ambiguitas makna untuk hukum Islam. Pembedaan secara parsial antara
istilah-istilah : syariat, fikih, qada’, fatwa dan qanun, semuanya adalah bagian dari hukum Islam itu sendiri. Hanya
saja diantaranya ada yang bersifat idealistis
(syariat), teoritis ( fikih, yang dalam hal ini dilengkapi juga dengan usul al-fiqh) dan praktis ( fatwa, qada dan qanun). Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmed Hasan bahwa hukum Islam ( islamic law) itu
disebut juga hukum yang ditetapkan berdasarkan wahyu ( divine law), yang
memiliki otoritas tunggal dalam membentuknya adalah hanya Allah. Adapun
manusia, mulai dari Rasulullah SAW sampai para perumus hukum seperti fuqaha`, mereka tidak lebih hanya
subordinasi dari Allah sendiri. Makanya ketika seorang muslim bertindak sesuai
dengan hukum Islam dalam kesehariannya di semua lini kehidupan, berarti itu adalah usaha untuk menerjemahkan
kehendak Allah tersebut. Oleh karena itu disebutkan bahwa hukum Islam merupakan
manifestasi dari kehendak Allah.[13]
Sumber
Hukum Islam
Secara
umum, sumber-sumber materi pokok hukum Islam adalah Alquran dan Sunah. Otoritas
keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Ijtihad dengan ra’yu
(akal) sesungguhnya adalah alat
atau jalan untuk menyusun legislasi
mengenai masalah-masalah baru
yang tidak ditemukan bimbingan langsung dari Alquran dan
Sunah untuk menyelesaikannya.
Kata
Alquran berasal dari
bahasa Arab; al-Qur`an
yang berarti pembacaan atau bacaan.[14]
Sedang menurut istilah, Alquran
adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw.
melalui Malaikat Jibril dengan
menggunakan bahasa Arab
sebagai hujjah (bukti)
atas kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman hidup bagi manusia
serta sebagai media dalam
mendekatkan diri kepada Allah
dengan membacanya.[15]
Menurut Ahmad
Hasan[16], Alquran
bukanlah suatu undang-undang hukum dalam
pengertian modern ataupun
sebuah kumpulan etika.
Tujuan utama Alquran adalah
meletakkan suatu way
of life yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia
dengan Allah. Alquran memberikan arahan bagi kehidupan sosial manusia maupun
tuntunan berkomunikasi dengan penciptanya. Selain itu, Alquran juga mengandung ajaran moral
yang cukup banyak. Oleh karenanya tidaklah benar
kalau N.J. Coulson
mengatakan bahwa tujuan
utama Alquran bukanlah mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya, tetapi hubungan manusia dengan penciptanya saja.[17]
Perlu
diketahui bahwa posisi Alquran
sebagai sumber pertama dan terpenting bagi teori hukum
tidaklah berarti bahwa Alquran menangani setiap persoalan
terperinci. Alquran, sebagaimana
kita ketahui, pada
dasarnya bukan kitab undang-undang
hukum, tetapi merupakan dokumen
tuntunan spiritual dan moral. Walaupun pada
umumnya ayat-ayat Alquran
yang menyangkut hukum bersifat pasti,
tetapi selalu terbuka bagi penafsiran, dan aturan-aturan
yang berbeda dapat diturunkan dari suatu yang sama atas dasar ijtihad.
Dari uraian
di atas dapat
disimpulkan bahwa kedudukan
Alquran sebagai sumber utama
hukum Islam berarti
bahwa Alquran menjadi
sumber dari segala sumber
hukum dalam Islam.
Hal ini juga
berarti bahwa penggunaan
sumber lain dalam Islam
harus sesuai dengan
petunjuk Alquran dan
tidak boleh bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh
Alquran.
Sumber hukum
Islam yang kedua
adalah sunah. Secara
etimologis, kata sunah berasal
dari kata berbahasa Arab al-sunah
yang berarti cara,
adat istiadat (kebiasaan), dan
perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara yang baik dan yang buruk.
Ini bisa dipahami
dari sabda Nabi
yang diriwayatkan oleh
Muslim, “Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam
Islam, maka dia akan memeroleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan barang siapa yang
membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya”.[18]
Secara terminologis,
ada beberapa pemahaman tentang Sunah.
Menurut ahli hadis, Sunah
berarti sesuatu yang
berasal dari Nabi Saw.
yang berupa perkataan, perbuatan, penetapan,
sifat, dan perjalanan
hidup beliau baik
pada waktu sebelum diutus menjadi
Nabi maupun sesudahnya.[19]
Bentuk Sunah
bisa bermacam-macam. Sesuai
dengan definisinya, bentuk Sunah
ada tiga macam, yaitu
ada yang berbentuk sabda Nabi
(sunah qauliyyah), ada yang
berbentuk perilaku Nabi (sunah fi’liyyah),
dan ada yang
berbentuk penetapan Nabi atas
perilaku sabahat (sunah
taqririyyah). Dari segi
derajatnya, Sunah ada yang
shauhih, hasan, dan
dla’if, bahkan ada
yang maudlu’ (Sunah palsu). Sedang dilihat dari segi
jumlah penyampainya, Sunah ada yang mutawātir, masyhur, dan ahad. Dan
masih banyak lagi pembagian lain dari Sunah atau hadis ini.[20]
Sebagai sumber
hukum Islam kedua
setelah Alquran, fungsi
Sunah adalah sebagai bayan
atau penjelas terhadap Alquran. Fungsi
bayan ini bisa
berupa salah satu dari tiga
fungsi, yaitu: 1) menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang ada dalam Alquran,
seperti sabda Nabi
tentang rukun Islam
yang lima merupakan ketegasan dari firman Allah Swt.
yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, dan haji; 2) memberikan penjelasan
arti yang masih samar dalam Alquran atau memerinci apa-apa yang dalam Alquran
disebutkan secara garis besar (tafsil), mengkhususkan apa-apa yang
dalam Alquran disebut
dalam bentuk umum
(takhsis),
atau memberi batasan terhadap
apa yang disampaikan
Allah secara mutlak
(taqyid),
seperti perincian cara-cara shalat yang diberikan oleh Nabi yang
merupakan penjelasan dari perintah melakukan shalat secara global dalam
Alquran; 3) menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Alquran (tasyri’), seperti haramnya mengawini
seorang perempuan sekaligus mengawini bibinya secara bersamaan.[21]
Seiring dengan
dijadikannya Sunah sebagai
sumber hukum bagi
kaum Muslim, maka pendapat dan
praktik dari para
sahabat pun banyak
yang dijadikan sumber hukum,
dengan alasan bahwa
para sahabat adalah
para pengamat langsung dari Sunah Nabi. Karena mereka
bertahun-tahun lamanya bersama Nabi, diharapkan mereka tentu mengetahui tidak
hanya perkataan dan
perilaku Nabi, tetapi juga
ruh dan karakter dari ‘Sunah ideal’
yang ditinggalkan Nabi bagi
generasi selanjutnya. Meskipun
pendapat mereka berbeda-beda, tetapi tetap ada pada ruh Sunah Nabi, dan dengan
demikian tidak dapat dipisahkan dari Sunah Nabi. Itulah sebabnya mengapa para
ahli hukum mazhab-mazhab awal sering
berargumentasi atas dasar
keputusan-keputusan hukum para
sahabat. Inilah yang
biasa dilakukan oleh
Imam Malik dan Imam Syafi’i misalnya.[22]
Generasi berikutnya, yaitu para tabi’in,
juga memainkan peran
yang penting dalam
perkembangan hukum Islam, karena
mereka memiliki hubungan
dengan para sahabat.
Keputusan-keputusan hukum mereka merupakan sumber hukum bagi mazhab-mazhab awal. Imam Malik, misalnya, mengutip praktik dan
pendapat para tabi’in setelah mengutip Sunah Nabi, dan begitu juga fuqaha’ awal
lainnya.
Sumber
hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad. Secara etimologis, kata ijtihad berasal
dari kata al-ijtihad yang berarti
penumpahan segala upaya dan kemampuan
atau berusaha dengan sungguh-sungguh.[23]
Secara terminologis, ijtihad berarti
mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum
syara’ yang bersifat ‘amaliyyah
dari dalil-dalilnya yang
terperinci baik dalam Alquran maupun Sunah.[24]
Dasar hukum dibolehkannya ijtihad adalah Alquran, Sunah, dan logika. Nas Alquran dan Sunah sangat
terbatas jika dibandingkan dengan
banyaknya peristiwa yang
dihadapi oleh umat
manusia, sehingga perlu ditetapkannya
aturan baru untuk menghukumi semua
permasalahan yang muncul dan belum diatur oleh Alquran dan Sunah.
Pada
prinsipnya ijtihad bisa digunakan dalam
dua hal. Pertama, dalam hal-hal yang
tidak ada nash-nya
sama sekali. Dalam
hal ini mujtahid
dapat menemukan hukum secara murni dan tidak berbenturan dengan ketentuan nash
yang sudah ada, karena memang belum ada
nash-nya. Kedua, ijtihad dapat
digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur
oleh nash, tetapi
penunjukannya terhadap hukum
tidak pasti (zanni ad-dalalah). Nas hukum dalam bentuk ini bisa
memberikan kemungkinan- kemungkinan
pemahaman. Dalam hal
ini ijtihad berperan
di dalam menemukan kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Cara atau metode yang ditempuh dalam rangka berijtihad bermacam-macam, yakni:
ijma’,
qiyas,
istihsan,
mashlahat al mursalah, istishhab, ‘urf, mazhab shahabiy, dan syar’u man qablana.
Ruang
Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup
di sini berarti objek
kajian hukum Islam
atau bidang-bidang hukum yang
menjadi bagian dari hukum Islam. Ruang lingkup hukum Islam sangat berbeda
dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya
dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum
privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum
Islam lebih dititikberatkan pada
bentuk aktivitas manusia
dalam melakukan hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum
Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan
hubungan manusia dengan
sesamanya (hablun minannas).
Bentuk hubungan yang pertama
disebut ibadah dan
bentuk hubungan yang
kedua disebut muamalah.
Dengan
mendasarkan pada hukum-hukum yang
terdapat dalam Alquran, ‘Abd al-wahhab khallaf membagi hukum menjadi
tiga, yaitu hukum-hukum i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-hukum
khuluqiyyah (akhlak), dan
hukum-hukum ‘amaliyyah
(aktivitas baik ucapan maupun
perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah
inilah yang identik dengan hukum Islam
yang dimaksud di sini. Ia membagi hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi
dua, yaitu hukum-hukum
ibadah yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya.[25]
Hakikat ibadah menurut para ahli adalah
ketundukan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta
akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya,
karena meyakini bahwa
dalam alam ini
ada kekuasaan yang
hakikatnya tidak diketahui oleh
akal (Ash Shiddieqy,
1985: 8)[26]. Karena
ibadah merupakan perintah
Allah dan sekaligus
hak-Nya, maka ibadah
yang dilakukan oleh
manusia harus mengikuti aturan-aturan
yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah
harus dilakukan dengan ikhlas
(QS. al-Zumar [39]:
11) dan harus
dilakukan secara sah sesuai dengan
petunjuk syara’ (QS.
al-Kahfi [18]: 110).
Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan,
tidak boleh ditambah-tambah atau
dikurangi. Allah telah mengatur ibadah
dan diperjelas oleh
Rasul-Nya. Karena ibadah
bersifat tertutup (dalam arti
terbatas), maka dalam ibadah
berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan
ibadah dilarang untuk
dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan. [27]
Berbeda dengan
masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah
dalam masalah muamalah terbatas
pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun ada, tidak terperinci
seperti halnya dalam
bidang ibadah. Oleh
karena itu, bidang muamalah terbuka
sifatnya untuk dikembangkan
melalui ijtihad. Karena
sifatnya yang terbuka tersebut,
dalam bidang muamalah
berlaku asas umum,
yakni pada dasarnya semua
akad dan muamalah
boleh dilakukan, kecuali
ada dalil yang membatalkan dan melarangnya.[28] Dari
prinsip dasar ini dapat
dipahami bahwa semua
perbuatan yang termasuk
dalam kategori muamalah boleh
saja dilakukan selama tidak ada
ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang
muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak
bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang
lingkup hukum Islam dalam bidang
muamalah, menurut ‘Abd al-Wahhab
Khallaf
[29], meliputi:
1) hukum-hukum masalah
perorangan/ keluarga; 2) hukum-hukum
perdata; 3) hukum-hukum
pidana; 4) hukum-hukum acara peradilan;
5) hukum-hukum perundang-undangan; 6)
hukum-hukum kenegaraan; dan 7) hukum-hukum ekonomi dan harta.
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-arab (Kairo : Dar
al-hadis, 2003), vol 5, h.82.
[2]
Ibid., h.82
[4]
Ibid., h.13
[5]
Mujamma’ al-lughat al-arabiyyah, Mu‘jam al wasit.
( kairo ; Maktabat as-syuruq ad-dauliah, 2005 ),
cet. 4, h.478.
[7]
Ibn Manzur, Lisan al-arab, (Kairo ; Dar al
hadis, 2003), vol 7, h. 145
[9]
Yusuf al-qaradawi, Madkhal li ad-Dirasat as-Syariat
al-Islamiyyat, (Kairo;
Maktabah wahbah, 2001), h.22
[10]
Di dalam kamus besar bahasa indonesia, syariat diartikan : hukum agama yang
menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis”. Inilah sebabnya meskipun hanya baru sebagian
aspek seperti ekonomi dengan adanya bank syariah, penggunaan kata syariah
menjadi identik sebagai sebuah sistem yang dijalankan berdasarkan hukum Islam.
[12]
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: 2008), h.531.
[13]
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (New Delhi: Adam
Publishers and distributors, 2003), h.33
[14]
Ahmad Warson Munawir, Al Munawwir; Kamus arab indonesia ( Yogyakarta,
PP. Almunawwir Karapyak: 1984), h.1185
[15]
Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 23
[16]
Ahmed Hasan. Op.cit., h. 39
[17]
N.J. Coulson, A history of islamic law, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1964), h.12
[18]
Muhammad Ajajj al Khatib, Ulum al hadis; Ulumuha wa
Mustalahuha, (Beirut: Dar al-fikr, 1989), h.17
[19]
Ibid., h. 19
[20]
Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 40
[21]
Ibid., h. 43-44
[22]
Ahmed Hasan. Op.cit., h. 47-48
[23]
Ahmad Warson Munawir, Op. cit., h.234
[24]
Muhammad Abu Zaharoh, Usul al-fiqh (Kairo: Dar al-fikr al-arabiy, 1958),
h.379
[25]
Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 35
[26]
T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah ditinjau dari segi hukum dan
hikmah (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.8
[27]
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 49
[28]
T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah ditinjau dari segi hukum dan
hikmah (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.91
[29]
Abd al-wahhab khallaf, op.cit.,h. 35-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar