Ushul
fiqh berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata yaitu;
Ushul (أصول) dan Fiqh (فقه). Secara bahasa, kata ushul artinya dasar-dasar
sedangkan Fiqh artinya fikih (ilmu yang memplejari hukum ibadah dan
muamalah). Dengan demikian ushul fiqh bisa diartikan sebagai dasar-dasar
dalam ilmu fikih.
Menurut
istilah, ushul fiqh diartikan sebagai “kaidah-kaidah yang dijadikan acuan dasar oleh seorang
mujtahid dalam menggali ( istinbath) hukum-hukum syari’ah praktis
melalui dalil-dalil yang terperinci.”
Untuk
mengetahui status sebuah hukum apakah tergolong pada jenis hukum yang bersifat
paksaan atau sekedar anjuran, larangan atau himbauan, ataupun boleh atau tidak
nya melakukan suatu perbuatan, maka dibutuhkan cara dalam
mengidentifikasikannya. Cara-cara ini yang kemudian disebut dengan
kaidah-kaidah ushul.
Misalnya,
dalam beberapa firman Allah sebagai beriku:
1. Perintah
mendirikan shalat dan membayar zakat pada firman Allah :
وأقيموا الصلاة وأتواالزكاة
( البقرة : 83)
Artinya
: “dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” (QS.Al-baqarah :84)
2. Perintah
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan pada firman Allah:
ياأيهاالذين أمنو كتب عليكم
الصيام (البقرة : 183)
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS.al-baqarah
: 183)
3. Perintah
menunaikan haji pada firman Allah :
وأتمواالحج والعمرة لله (
البقرة : 196)
Artinya
: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah” (QS.al-baqarah :196)
Dengan
menggunakan logika induktif, bisa disimpulkan bahwa perintah shalat dan
zakat adalah wajib, perintah berpuasa juga wajib dan begitu juga halnya dengan
perintah haji. Itu artinya semua perintah bermuara pada putusan hukum yang
bersifat wajib. Dari sini kemudian, para pakar ushul fikih (ushuliyyun) membuat
kaidah ; Al-Amru li-al-wujub (setiap perintah adalah wajib). Sebaliknya,
jika firman –firman Allah swt tersebut menunjukkan suatu larangan, seperti ;
larangan mendekati zina, meminum khamr, memakan harta anak yatim,
memakan riba dan lain sebagainya. Maka semua ini hukumnya di golongkan pada
haram. Kemudian dibuat suatu kaidah : An-nahyu li at-Tahrim ( semua
larangan adalah haram ).
Setelah
ditentukan kaidah-kaidah yang ada, kemudian menjadi tugas mujtahid untuk
mengolahnya dalam proses pengambilan putusan hukum. Bagi seseorang yang dinilai
telah memiliki keahlian dalam menemukan hukum maka dia disebut mujtahid. Dan
sebagai karakter seorang mujtahid ia harus mampu mencapai kesimpulan hukum yang
dicarinya. Dengan mengerahkan segenap daya dan upaya, melalui metode istinbat,
ia dituntut menjelaskan termasuk kategori hukum apa permasalahan yang sedang
dibahas.
Objek
Kajian Ushul Fiqh
Setidaknya
ada dua objek yang menjadi kajian ushul fikih; pertama, dalil ( adillat
as-syar’iyyah), kedua ; hukum (ahkam as-syar’iyyah). Dalil
dikaji karena fungsinya sebagai alat untuk menggali hukum, sedangkan hukum
sebagai hasilnya.
Kedua
hal ini umumnya ditemui pada buku-buku ushul fiqh. Oleh karenya,
pembahasannya sering dimulai dengan dalil-dalil yang digunakan untuk menggali
hukum, baik yang disepakati seperti ; al-quran, sunnah, ijma’ dan qiyas,
ataupun yang masih diperdebatkan seperti; istihsan, maslahah mursalah,
‘uruf, istishab, syar’ man qablana dan mazhab sahabi. Kemudian untuk
pembahasan hukum, biasa dikaji dahulu tentang apa itu hukum, siapa yang membuat
hukum, jenis-jenis hukum dan beberapa hal yang terkait dengannya.
Selain
dalil dan hukum, ushul fikih juga membahas tentang kaidah-kaidah kebahasaan
yang digunakan dalam memahami nash sebagai sumber hukum. Seperti jenis-jenis
teks-teks hukum, jenis-jenis dalil, keumuman dan kekhususan dalil, ambigutas
dalil, pemahaman teks dan lain sebagainya. Ini semua diperuntukkan sebagai cara
dalam menetapkan hukum nantinya, apakah tergolong pada wajib, sunnah, haram, makruh
atau mubah.
Dan
untuk mendukung ketajaman analisis sebuah hukum, maka biasanya juga dibahas
tentang tujuan penetapan hukum ( maqashid as-syariah),
nasakh dan mansukh, ijtihad dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan bahwa
ushul fiqh dipahami semacam landasan berfikir dasar untuk memahami apa yang di
inginkan Allah. Tentunya, sebagai Tuhan yang sekaligus perancang dan pembuat
hukum sudah mengetahui apa yang dibutuhkan manusia sebagai hamba ciptaanNya.
Tujuan
mempelajari Ushul Fiqh
Secara
umum, mempelajari ushul fikih bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara
mengistinbath hukum dari sumber-sumber yang ada. Secara khusus, mempelajari
ushul fikih memiliki tujuan tersendiri.
Bagi
yang telah memiliki kemampuan dan memenuhi syarat berijtihad akan memudahkannya
untuk menganalisis sebuah kasus yang belum ada putusan hukumnya. Ini bisa
dilakukan dengan meggunakan metode qiyas atau dengan munasabat al-hukm yang
sering digunakan untuk mengambil putusan hukum berdasarkan maslahah. Sedangkan
bagi yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, atau bagi orang awam yang tidak
banyak mengetahui tentang istinbath ahkam, maka akan memudahkannya dalam dua hal
;
Pertama
: memahami landasan dasar dari setiap hukum yang telah dihasilkan oleh para
mujtahid. Dengan demikian akan muncul kesadaran baginya dalam menjalankan
setiap putusan hukum yang ada.
Kedua
: mampu membandingkan ( muqaranah) perbedaan pendapat di kalangan mazhab
fikih. Dengan demikian ia akan lebih leluasa dalam mimilih ( tarjih)
pendapat yang dianggap kuat diantara pendapat-pendapat yang ada.
Perkembangan
Ushul Fiqh
Ada
dua fase perkembangan ushul fiqh;
Fase
pertama disebut masa pra-kodifikasi, dimana ushul fiqh belum tersusun
secara sistematis menjadi sebuah buku. Ini dimulai sejak masa nabi, para
sahabat dan tabi’in. Pada masa ini belum dikenal istilah ushul fikih. Namun
setiap putusan hukum pada masa itu telah menggunakan cara-cara
sebagaimana dijelaskan di dalam ushul fikih pasca-kodifikasi.
Pada
masa Nabi saw. setiap persoalan yang muncul langsung bisa diselesaikan. Dengan
kapasitasnya sebagai rasul yang diwahyukan al-Quran, nabi Muhammad memberi
jawaban langsung terhadap persoalan yang berkembang di kalangan umat islam saat
itu.
Pada
masa sahabat, beberapa orang dintara mereka menjadi rujukan tempat bertanya
setiap persoalan yang muncul. Mereka dinilai lebih berhak karena mereka adalah
orang-orang yang paling dekat dengan nabi semasa hidupnya. Dengan kompetensi
pemahaman bahasa arab, Quran dan Sunnah, sebab-sebab turunnya Qur’an dan
Hadis, tentang tujuan hakiki dari pensyariatansehingga mereka dipandang sesuai
sebagai tempat rujukan.
Pada
masa tabiin, ushul fiqh menjadi lebih berkembang. Kehadiran beberapa tabiin
seperti Saad bin musayyab, urwah bin zubair, syuraih al qadi, ibrahim an-nakhai
dan lainnya sebagai mujtahid-mujtahid yang kemudian melahirkan imam-imam
mazhab. Pada masa ini mulai diberlakukan metode maslahah dalam istinbath hukum.
Adapun
Fase kedua, ditandai dengan munculnya para mujtahid dari kalangan Tabi’ –
tabiin yang merumuskan dan menetapkan hukum-hukum merujuk sumbernya. Muncul dan
berkembangnya mazhab fikih, diringi dengan pembuatan buku kaidah-kaidah usul
yang dijadikan acuan membuat Imam Syafii tercatat sebagai orang pertama yang
mengarang buku “Ar-risalah” lalu dikembangkan oleh ulama setelahnya baik
murid yand satu mazhab lainya ataupun yang tidak.
Ushul
fiqh ini dibuat karena memang dianggap perlu, mengingat perluasan wilayah islam
ketika itu yang sudah masuk di wilayah non-arab dan munculnya persoalan baru
yang belum terjawab karena keterbatasan pemahaman pada nas-nas. Dengan adanya
ushul fiqh ini umat islam terbantu dalam menganalisa dan memformulasikan sebuah
hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar