Selasa, 16 April 2013

Pengantar Ilmu Ushul Fiqh

Definisi Ushul Fiqh
Ushul fiqh  berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata yaitu; Ushul (أصول) dan Fiqh (فقه). Secara bahasa, kata ushul artinya dasar-dasar sedangkan Fiqh artinya fikih (ilmu yang memplejari hukum ibadah dan muamalah). Dengan demikian ushul fiqh bisa diartikan sebagai dasar-dasar dalam ilmu fikih.


Untuk mengetahui status sebuah hukum apakah tergolong pada jenis hukum yang bersifat paksaan atau sekedar anjuran, larangan atau himbauan, ataupun boleh atau tidak nya melakukan suatu perbuatan, maka dibutuhkan cara dalam mengidentifikasikannya. Cara-cara ini yang kemudian disebut dengan kaidah-kaidah ushul.
Misalnya, dalam beberapa firman Allah sebagai beriku:

1.      Perintah  mendirikan shalat dan membayar zakat pada firman Allah :
وأقيموا الصلاة وأتواالزكاة  ( البقرة : 83)
Artinya : “dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” (QS.Al-baqarah :84)
2.      Perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan pada firman Allah:
ياأيهاالذين أمنو كتب عليكم الصيام (البقرة : 183)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS.al-baqarah : 183)
3.      Perintah menunaikan haji pada firman Allah :
وأتمواالحج والعمرة لله ( البقرة : 196)
Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah” (QS.al-baqarah :196)

Dengan menggunakan logika induktif,  bisa disimpulkan bahwa perintah shalat dan zakat adalah wajib, perintah berpuasa juga wajib dan begitu juga halnya dengan perintah haji. Itu artinya semua perintah bermuara pada putusan hukum yang bersifat wajib. Dari sini kemudian, para pakar ushul fikih (ushuliyyun) membuat kaidah ; Al-Amru li-al-wujub (setiap perintah adalah wajib). Sebaliknya, jika firman –firman Allah swt tersebut menunjukkan suatu larangan, seperti ; larangan mendekati zina, meminum khamr, memakan harta anak yatim, memakan riba dan lain sebagainya. Maka semua ini hukumnya di golongkan pada  haram. Kemudian dibuat suatu kaidah : An-nahyu li at-Tahrim ( semua larangan adalah haram ).

Setelah ditentukan kaidah-kaidah yang ada, kemudian menjadi tugas mujtahid untuk mengolahnya dalam proses pengambilan putusan hukum. Bagi seseorang yang dinilai telah memiliki keahlian dalam menemukan hukum maka dia disebut mujtahid. Dan sebagai karakter seorang mujtahid ia harus mampu mencapai kesimpulan hukum yang dicarinya. Dengan mengerahkan segenap daya dan upaya, melalui metode istinbat, ia dituntut menjelaskan termasuk kategori hukum apa permasalahan yang sedang dibahas.

Objek Kajian Ushul Fiqh
Setidaknya ada dua objek yang menjadi kajian ushul fikih; pertama, dalil ( adillat as-syar’iyyah), kedua ;  hukum (ahkam as-syar’iyyah). Dalil dikaji karena fungsinya sebagai alat untuk menggali hukum, sedangkan hukum sebagai hasilnya.

Kedua hal ini umumnya ditemui pada buku-buku ushul fiqh. Oleh karenya,  pembahasannya sering dimulai dengan dalil-dalil yang digunakan untuk menggali hukum, baik yang disepakati seperti ; al-quran, sunnah, ijma’ dan qiyas, ataupun yang masih diperdebatkan seperti; istihsan, maslahah mursalah, ‘uruf, istishab, syar’ man qablana dan mazhab sahabi. Kemudian untuk pembahasan hukum, biasa dikaji dahulu tentang apa itu hukum, siapa yang membuat hukum, jenis-jenis hukum dan beberapa hal yang terkait dengannya.

Selain dalil dan hukum, ushul fikih juga membahas tentang kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan dalam memahami nash sebagai sumber hukum. Seperti jenis-jenis teks-teks hukum, jenis-jenis dalil, keumuman dan kekhususan dalil, ambigutas dalil, pemahaman teks dan lain sebagainya. Ini semua diperuntukkan sebagai cara dalam menetapkan hukum nantinya, apakah tergolong pada wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.

Dan untuk mendukung ketajaman analisis sebuah hukum, maka biasanya juga dibahas tentang  tujuan penetapan hukum  ( maqashid as-syariah), nasakh dan mansukh, ijtihad dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan bahwa ushul fiqh dipahami semacam landasan berfikir dasar untuk memahami apa yang di inginkan Allah. Tentunya, sebagai Tuhan yang sekaligus perancang dan pembuat hukum sudah mengetahui apa yang dibutuhkan manusia sebagai hamba ciptaanNya.

Tujuan mempelajari Ushul Fiqh
Secara umum, mempelajari ushul fikih bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara mengistinbath hukum dari sumber-sumber yang ada. Secara khusus, mempelajari ushul fikih memiliki tujuan tersendiri.

Bagi yang telah memiliki kemampuan dan memenuhi syarat berijtihad akan memudahkannya untuk menganalisis sebuah kasus yang belum ada putusan hukumnya. Ini bisa dilakukan dengan meggunakan metode qiyas atau dengan munasabat al-hukm yang sering digunakan untuk mengambil putusan hukum berdasarkan maslahah. Sedangkan bagi yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, atau bagi orang awam yang tidak banyak mengetahui tentang istinbath ahkam, maka akan memudahkannya dalam dua hal  ;

Pertama : memahami landasan dasar dari setiap hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid. Dengan demikian akan muncul kesadaran baginya dalam menjalankan setiap putusan hukum yang ada.

Kedua : mampu membandingkan ( muqaranah) perbedaan pendapat di kalangan mazhab fikih. Dengan demikian ia akan lebih leluasa dalam mimilih ( tarjih) pendapat yang dianggap kuat diantara pendapat-pendapat yang ada.

Perkembangan Ushul Fiqh
Ada dua fase perkembangan ushul fiqh;
Fase pertama disebut masa pra-kodifikasi, dimana ushul fiqh belum tersusun secara sistematis menjadi sebuah buku. Ini dimulai sejak masa nabi, para sahabat dan tabi’in. Pada masa ini belum dikenal istilah ushul fikih. Namun setiap putusan hukum pada masa itu telah  menggunakan cara-cara sebagaimana dijelaskan di dalam ushul fikih pasca-kodifikasi.

Pada masa Nabi saw. setiap persoalan yang muncul langsung bisa diselesaikan. Dengan kapasitasnya sebagai rasul yang diwahyukan al-Quran, nabi Muhammad memberi jawaban langsung terhadap persoalan yang berkembang di kalangan umat islam saat itu.

Pada masa sahabat, beberapa orang dintara mereka menjadi rujukan tempat bertanya setiap persoalan yang muncul. Mereka dinilai lebih berhak karena mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan nabi semasa hidupnya. Dengan kompetensi pemahaman bahasa arab, Quran dan Sunnah,  sebab-sebab turunnya Qur’an dan Hadis, tentang tujuan hakiki dari pensyariatansehingga mereka dipandang sesuai sebagai tempat rujukan.

Pada masa tabiin, ushul fiqh menjadi lebih berkembang. Kehadiran beberapa tabiin seperti Saad bin musayyab, urwah bin zubair, syuraih al qadi, ibrahim an-nakhai dan lainnya sebagai mujtahid-mujtahid yang kemudian melahirkan imam-imam mazhab. Pada masa ini mulai diberlakukan metode maslahah dalam istinbath hukum.

Adapun Fase kedua, ditandai dengan munculnya para mujtahid dari kalangan Tabi’ – tabiin yang merumuskan dan menetapkan hukum-hukum merujuk sumbernya. Muncul dan berkembangnya mazhab fikih, diringi dengan pembuatan buku kaidah-kaidah usul yang dijadikan acuan membuat Imam Syafii tercatat sebagai orang pertama yang mengarang buku “Ar-risalah” lalu dikembangkan oleh ulama setelahnya baik murid yand satu mazhab lainya ataupun yang tidak.

Ushul fiqh ini dibuat karena memang dianggap perlu, mengingat perluasan wilayah islam ketika itu yang sudah masuk di wilayah  non-arab dan munculnya persoalan baru yang belum terjawab karena keterbatasan pemahaman pada nas-nas. Dengan adanya ushul fiqh ini umat islam terbantu dalam menganalisa dan memformulasikan sebuah hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About