Tapi tentu
tidak semua kesulitan akan mendapatkan grasi. Dan yang dimaksud dengan masyqqah di sini adalah bahwa kesulitan tersebut sudah
melewati batas kebiasaan[5] . Dan kesulitan tersebut tidak
bertentangan dengna nash syariat dan tidak pula lari dari kewajiban
syariat sepert jihad, pedihnya hudud, hukuman bagi pezina zina, para pembuat
kerusakan dan lain sebagainya. Untuk hal-hal yang demikian itu tidak berlaku
keringanan.[6]
Dalil-dalil Kaidah
1.
Aquran: Banyak ayat alquran memberikan dispensasi (kemudahan) bagi
seorang mukallaf dalam menjalankan syariat Allah swt. Diantara ayat itu adalah:
(Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu)
Menurut Jalal
ad-Din as-Suyuti, ayat di atas merupakan dalil utama bagi kaidah al-masyaqqah
tajlib at-Taysir.[8]
(dan Dia sekali-kali tidak menjadikan agama itu untuk kamu suatu kesempitan)
(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya)
Ayat-ayat di
atas merupakan pentunjuk bahwa syariat diturunkan Allah bukan untuk menyulitkan
hamba-hambanya. Kewajiban syariat bukanlah suatu kewajiban yang kaku, tidak memiliki toleransi. Namun kewajiban yang disesuaikan dengan keadaan
dan kondisi seorang mukallaf. Banyak sekali rukshah (keringanan)
dalam agama Islam. Kewajiban zakat, haji, puasa dll, hanya diperuntukkah bagi
orang yang mampu dan memenuhi syarat. Orang sakit diberi keringanan untuk
sholat duduk, dan masih banyak keringanan-keringanan lainnya.
2.
Sunnah: Seperti Alquran, sunnah Nabi saw juga banyak menunjukkan makna
yang terkandung dalam kaidah al-masyaqqah tajlib at-taysir
tersebut. Di antara sunnah-sunnah itu adalah:
·
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “إن الدين يسر"
(Sesungguhnya agama Islam itu mudah)[11]
·
"يسروا ولا
تعسروا وبشروا ولا تنفروا "
(Permudahlah,
jangan mempersulit. Berilah kabar gembira jangan membuat orang lari)[12]
·
" ليس من البر
الصوم فى السفر
"
(Bukanlah
suatu kebaikan berpuasa dalam perjalanan) [13]
Nash-nash
sunnah di atas merupakan petunjuk bahwa Islam menginginkan kemudahan dan
mengangkat kesulitan dari umatnya. Ada tiga hal yang yang dapat dipetik dari
hadits-hadits diatas.[15]
a.
Bahwa Islam memberi kemudahan dan mengangkat kesulitan bagi umatnya
b.
Adanya perintah Rasulullah saw untuk memberi keringanan dan melarang orang
untuk berlebih-lebihan dalam ibadah.
c.
Rasulullah meninggalkan sesuatu bentuk ketaqarruban karena khawatir akan
menjadi kewajiban yang menyusahkan umatnya.
3.
Ijma’. Mengutip Imam Syatibi dalam kitab Muwafaqat, bahwa sudah
menjadi ijama’ tidak adanya bentuk syaq (kesusahan) dalam taklif
syariat.[16]
Ahmad bin
Syaikh Muhammad menjelaskan ada tujuh persoalan yang mendapatkan kemudahan
ketika adanya masyaqqah. Yaitu:
1.
As-Safar (dalam perjalanan). Di antara bentuk kemudahan itu adalah:
bolehnya tidak berpuasa Ramadhan, bolehnya seorang wali ab’ad menikahkan
anak wanita sebagai pengganti wali aqrab yang sedang berpergian, dll.
2.
Sakit. Di antara kemudahannya: Boleh sholat duduk pada sholat wajib ketika
tidak bisa berdiri, diakhirkannya had bagi orang yang sakit, dll.
3.
Karena terpaksa. Bentuk kemudahan itu: Mengucapkan kalimat kufur namun
hatinya tetap beriman, dipaksa untuk akad jual beli, dll.
4.
Lupa. Puasa tetap sah dan dapat dilanjutkan bagi orang yang makan di siang hari
Ramadhan karena lupa, dan tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkan kewajiban
karena lupa.
5.
Jahil: Penjual boleh menjual barang rusak yang tidak diketahuinya. Seseorang
yang didakwa karena memakan anak yatim, atau menjualnya lalu mengatakan “ aku
tidak tahu” maka perkataannya diterima. Namun jahil terhadap Allah (beriman
kepada Allah) atau syariat-syariat yang
mendasar maka tidak
berlaku kemudahan itu.[18]
6.
Kesulitan. Boleh bai’ as-salam, al-muzara’ah, al-musaqah dll. Seorang
dokter boleh melihat aurat pasien yang bukan mahramnya ketika mengobati.
7.
An-Naqs (ada kekurangan). Seperti wanita, anak
kecil, dan orang gila. Anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan ta’lif.
Sementara wanita tidak dibebankan hal-hal yang berat seperti jihad, jizyah, dan
menanggung diyat.
Bila dilihat
lebih jauh lagi masih ada persoalan-persoalan yang mendapatkan kemudahan
lainnya. Seperti persoalan-persoalan sedikit dan kecil semisal kencing anak
laki-laki yang masih menyusui belum menkonsumsi makanan, debu yang bercampur
najis dan lain-lain. [19]
Dari kaidah al-Masyaqqah,
seorang mukallaf mendapatkan kemudahan (takhfif) dalam menjalankan
syariat Islam. Ada tujuh macam takhfif dalam syariat yaitu: [20]
1.
Takhfif isqath: contohnya gugurnya kewajiban sholat juma’at, haji dan
umrah karena uzur.
2. Takhfif tankish:
misalnya sholat qashr
3. Takhfif ibdal:
wuduk dan mandi wajib dapat digantikan dengan tayammum, sholat berdiri bisa
digantikan dengan sholat duduk, dll.
4. Takhfif taqdim:
zakat dapat disegerakan sebelum haul
5. Takhfif ta’khir: bagi orang sakit,
musafir, puasa Ramadhan dapat ditunda (digantikan) di hari lain, pengakhiran
sholat bagi yang uzur.
6. Takhfif tarkhish:
makan sesuatu yang bernajis untuk berobat.
Takhfif taghyir:
perubahan tatacara sholat khauf dari sholat biasanya.
[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir
Kamus Indonesia, cet. 14 (Surabaya:Penerbit Pustaka Progressif, 1997) hal.
733
[3] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan,
al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 219
[5] Izzat Ubaid ad-Di’as, al-Qawaid
al-Fiqhiyah ma’a as-Syarh al-Mujaz, cet. 3 (Beirut:Dar
at-Tirmidzi, 1989) hal. 40
[6] Ahmad bin Syaikh Muhammad az-Zarqa, Syarh
al-Qawaid al-Fiqhiyah, cet. 2 (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989) hal. 157
[8] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid
al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 221
[11] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid
al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 224. Mengutip
Shahih al-Bukhari
[15] Lihat Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan,
al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal.
227-228
[17] Ahmad bin Syaikh Muhammad az-Zarqa, Syarh
al-Qawaid al-Fiqhiyah, cet. 2 (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989) hal. 157-161
[18] Lihat Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid
al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 242
[19] Abdurrahman ibn Nasir as-Sa’diy, Al-Qawaid
al-Ushul al-Jami’ah, (t.tp: Maktabah as-Sunnah, 2002) hal. 52-52
[20] Lihat Abdul Hamid Hakim, Mabadi’
Awwaliyah, (Jakarta: Maktabah as-Sa’adiyah Putra, t.th) hal. 29-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar