10 Faktor Pengubah Fatwa | Ibn Qayyim al-Jauziy menulis satu fasal tentang
perubahan fatwa (hukum) disebabkan adanya perubahan waktu, tempat, kondisi,
tujuan (niat) dan tradisi. Dr.
Yusuf al-Qaradhawiy, dalam bukunya Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi ‘Ashrina, menghimpun sepuluh faktor penyebab berubahnya fatwa (putusan
hukum). Empat diantaranya telah disebutkan oleh ulama-ulama terdahulu, dan enam
lainnya ia peroleh dari penelitian dan penelaahan terhadap kitab turats
(khazanah Islam klasik). Faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Perubahan tempat
Perubahan tempat dapat menjadikan perbedaan hukum. Orang yang
bertempat tinggal di suhu dingin berbeda dengan tempat bersuhu panas. Orang
yang tinggal di Indonesia beda dengan di kutub selatan yang hari-harinya
diliputi salju. Dalam hal ini, hukum dapat saja berbeda dari satu tempat dan
tempat yang lain. Suatu ketika, Amr bin Ash pernah junub lalu sholat dengan
tayammum. Hal ini sampai kepada Rasulullah, dan Amr menjawab bahwa malam
tersebut sangat dingin, sembari mengutip ayat Alquran, “dan jangalah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu” (Q.S: An-nisaa': 29)
Yusuf al-Qaradhawi juga mencontohkan, bahwa hukum memelihara
anjing bagi orang Eskimo berbeda dengan orang-orang pada kondisi umum. Anjing
bagi mereka adalah kebutuhan primer dalam keseharian mereka disebabkan kondisi
tempat yang mereka diami. Dalam hal ini maka hukumnya butuh pengecualian dari
larangan umum menggunakan anjing.
Tepat sekali apa yang dilakukan umat muslim di Eropa dengan
membentuk “al-Majlis al-Urubi li al-Ifta’ wa al-buhuts” (Majelis Fatwa
dan Riset Eropa). Organisasi ini bertugas memperhatikan kondisi-kondisi
penduduk di luar masyarat muslim, khususnya di Eropa. Karena perubahan tempat
menjadi titik tolak perubahan. Hal ini pula yang menyebabkan Imam Syafi’I
mengubah pendapatnya ketika tinggal di Mesir.
2.
Perubahan waktu (zaman)
Yang dimaksud dengan perubahan waktu adalah perubahan manusia
seiring perubahan waktu. Seperti hukuman orang yang minum khamar. Pada masa
Rasulullah hukuman ini diterapkan dengan ta’zir, ada yang memukul dengan
tangan, sandal dan baju. [1]Hal
ini disebabkan karena orang-orang dekat dengan waktu kebiasaan minum. Namun
akhirnya hukum cambuk berlaku. Tetapi Rasulullah tidak memberikan batasan
tertentu. Kadang 40 kali, kurang, bahkan lebih. Pada masa Abu Bakar, Khalifah menetapkan
hukuman 40 kali. Sementara di masa Umar, ditetapkan hukum cambuk 80 kali.
Mushtafa az-Zarqa mengatakan bahwa perubahan-perubahan hukum ini dapat berasal
dari kerusakan akhlak, hilangnya sifat wara’ dan kelemahan hati. Para ulama
menyebutnya dengan kerusakan masa (zaman).
Untuk kejahatan perkosaan para ulama di Arab Saudi menetapkan
hukuman mati terhadap kejahatan tersebut. Sementara untuk perdagangan narkobat,
Yusuf al-Qaradhawi menjawab bahwa hukumnya sama dengan hukuman membegal
(al-harabah) sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya)...”
Karena perubahan waktu ini (perubahan akhlak manusia) para
ahli fikih di Mesir, Suriah dan beberapa Negara Arab mengeluarkan undang-undang
wasiat wajib untuk cucu yatim yang tidak mendapatkan warisan kakeknya, karena
terhalang oleh paman-paman. Wasiat wajib ini dibuat untuk melindungi cucu,
karena sekarang ini banyak orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri
sehingga paman-paman tidak lagi memikirkan ponakannya. Wasiat wajib ini
mengambil istidlal dari Alquran, ”Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah:180)
3.
Perubahan Kondisi
Perubahan kondisi menyebabkan perubahan hukum. Kondisi sempit
tidak sama dengan kondisi lapang, kondisi sakit tidak sama dengan sehat,
kondisi perang tidak sama dengan aman, kondisi kuat tidak sama dengan lemah.
Nabi sendiri pernah mengeluarkan putusan hukum yang berbeda antara satu orang
dengan yang lain. Kondisi minoritas muslim di masyarakat non-Islam tentu beda
dengan kondisi masyarakat mayoritas muslim. Dalam hal ini, kondisi minoritas
muslim membutuhkan kemudahan (taisir) dan keringanan (takhfif)
sehingga mereka bisa hidup dengan agamanya sendiri di tengah komunitas
non-muslim.
4.
Perubahan Tradisi
Misalnya tradisi perdagangan dan ekonomi modern dimana dalam
fikih klasik harus ada “taqabudh” (dari tangan ke tangan). Sementara
sekarang ini pembayaran dilakukan dengan cek atau transfer uang. Dan masih
banyak lagi perubahan tradisi dalam ekonomi, sosial dan politik yang
membutuhkan perubahan hukum. Contoh lainnya adalah jual beli via internet.
5.
Perubahan Pengetahuan
Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi, pengetahuan
modern menyuguhkan informasi-informasi yang akurat, misalnya saja tentang
peredaran bulan (ilmu falak). Dengan demikian apakah penentuan hari raya harus
memakai kesaksian melihat hilal?
6.
Perubahan kebutuhan manusia
Kebutuhan orang dulu berbeda dengan kebutuhan masyarakat
modern. Apa yang menjadi pelenggap (hajiyat) bagi orang dulu dapat saja
suatu hal yang dharuriy (pokok) bagi orang sekarang. Majelis Fatwa dan
Riset Eropa mengeluarkan fatwa bahwa dibolehkannya membeli rumah dari bank riba bagi minoritas
muslim. Landasannya adalah bahwa kebutuhan muslim terhadap itu sangat besar dan
darurat. Kaidahnya yaitu, “al-hajah tanzilu manzilah adh-dharurah khassah
kanat au ‘ammah” (kebutuhan menduduki posisi darurat, baik khusus ataupun
umum)
7.
Perubahan kemampuan manusia
Perkembangan ilmu pengetahuan membuat manusia berkemampuan
lebih mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini juga dapat
mempengaruhi hukum itu sendiri. Contohnya, dizaman sekarang perjalanan jauh dapat
ditempuh dengan singkat dengan kemampuan manusia menghadirkan teknologi transportasi
seperti pesawat. Dengan demikian apakah perjalanan tersebut masih dapat dikategorikan
dalam perjalanan jauh yang mendapatkan keringanan? Terlebih lagi tersedianya fasilitas
untuk sholat.
8.
Perubahan sosial, ekonomi dan
politik.
Ini sangat jelas sekali, misalnya dalam Negara mayoritas
muslim, non-muslim tidak perlu lagi disebut ahl dzimmah, statusnya sama
sebagai warga Negara dan tidak ada lagi kata jizyah. Hal ini pula yang
pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab.
9.
Perubahan pendapat dan pemikiran
Hukum dihasilkan dari proses ijtihad. Dalam berijtihad banyak
manhaj, metode, perenungan dan sikap yang ditempuh ahli hukum. Ada yang
bersikap syadid (keras) ada yang khafif (ringan). Dari literal
kepada maksud-maksud dan illat-illat hukum. Tentu saja hal ini dapat
merubah keputusan hukum (fatwa). Para ulama sendiri banyak mengoreksi kembali
pendapatnya setelah berbagai perenungan dan pemikiran yang mendalam dari
berbagai sudut..
10. Musibah (ujian dan cobaan)
Zaman sekarang, banyak sekali ujian dan cobaan terhadap kaum
muslim. Misalnya televisi yang begitu marak menampilkan nyanyian tak layak,
tontonan tidak halal, bercampurnya laki-laki dan wanita dalam institusi dan
pekerjaan dan lain sebagainya. Keadaan-keadaan seperti ini menuntut hukum yang
sesuai dengan itu. Karena musibah dapat menyebabkan keringanan hukum, selama
keharamannya tidak qat’I apalagi termasuk dosa-dosa besar.
Kesepuluh faktor pengubah fatwa di atas, dengan seiring waktu dan perkembangan zaman, dapat saja bertambah nantinya. Yang terpenting bahwa keselurahan faktor-faktor yang ada masih dalam bimbingan Alquran dan Sunnah.
Kesepuluh faktor pengubah fatwa di atas, dengan seiring waktu dan perkembangan zaman, dapat saja bertambah nantinya. Yang terpenting bahwa keselurahan faktor-faktor yang ada masih dalam bimbingan Alquran dan Sunnah.
[1] lihat
H.R Abu Dawud hadis ke 4477. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ibn
Hazm, 1418/1997), juz 4, hal. 401-402
apakah faktor peubah ini berlaku untuk semua kasus? gimana kalau dalam kasus-kasus yang sudah pasti dalam al-quran atau hadis?
BalasHapusfaktor ini tidak untuk semua kasus. Mengenai masalah akidah ya tidak ada kmpromi. Meskipun demikian, ada juga keringanan misalnya boleh mengucapkan kalimat kufr ketika terpaksa, asal tidak diniatkan
Hapus