Dan adapun dalil naqli yaitu kewajiban berpegang
kepada hukum-hukumnya, menegakkan perintah dan meniggalkan larangannya.
Diantara dalil-dalil itu adalah:
·
Firman Allah swt “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”[1]
Hadis Mua’z bin
Jabal. Rasulullah berkata kepada Muaz ketika ia hendak diutus ke Yaman, “Apa
yang akan engkau perbuat jika dihadapkan kepadamu persoalan yang memerlukan
keputusan?” Mu’az menjawab, “Aku akan memutuskan dengan apa yang terdapat
dalam Alquran.” Rasulullah saw berkata, “bagaimana jika tidak ditemui dalam
kitabullah?” ia menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan sunnah
rasulullah.” Baginda bertanya lagi, “Jika hal itu tidak ditemukan dalam
sunnah Rasulullah?” Mu’az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan akal
fikiranku sendiri, tidak kurang tidak lebih.” Maka Rasulullah saw menepuk
dadaku dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberii taufiq
kepada utusan Rasulullah saw.” Rasulullah menyetujui keputusan yang akan
diambil Muaz karena tidak melenceng (masih dalam koridor) dari Alquran.
·
Ijma’ sahabat, tabi’in dan empat Imam bahwa
mashlahah tidak boleh bertentangan dengan Alquran.
1. Mashlahah tidak memiliki sandaran ashl yang dapat dikiaskan.
Yaitu adanya pertentangan antara mashlahat dengan nash
Alquran yang qat’I, zhahir, atau jaliy. Maka dalam hal ini,
terjadinya pertentangan (ta’arudh) antara dilalah nash yang qat’i
dan dilalah mashlahah yang zhanni. Dan dilalah yang
zhanni tidak dapat menentang dilalah yang qat’i. Karena
ketidak mungkinan bertemunya antara yang yakin (al-‘ilm) dan yang zhan dalam satu waktu. Imam Ghazali menyatakan bahwa suatu
kemustahilan bila zhan bertentangan (khalafa) dengan yang pasti (al-‘Ilm).
Karena sesuatu yang sudah diketahui (‘alima) bagaimana bisa ada dugaan (zhan)
terhadap kebalikannya (khilafuh).
Contohnya dilalah nash adalah firman Allah swt, “ Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"[2]. Perbedaan jual beli dan
riba di sini menyangkut soal kehalalan dan keharaman, lalu bagaimana mungkin
timbul difikiran orang bahwa mashlahah bisa menentang dilalah nash yang
demikian itu.
Orang mungkin mengatakan bahwa tunjukan (madlul)
kezahiran lafaz yang wajib diikuti itu dapat saja berbeda menurut setiap
pandangan mujtahid. Misalnya saja perbedaan mereka mengenai madlul
firman Allah swt, "[3] أو لامستم النساء " lalu bagaimana membedakan qarinah
mashlah dan qarinah-qarinah lainnya?
Perbedaan ijtihad menyangkut dilalah nash dan
zahir ini ada dua kategori:
Pertama: Ijtihad yang berakhir dengan penentangan terhadap
dilalah nash yang jelas atau penentangan keseluruhan dilalah zhahir
al-muhtamilah, maka ijtihad seperti ini adalah ijtihad yang batil dan
bertentangan dengan ashl.
Kedua: Ijtihad yang memiliki keterkaitan dengan kandungan
nash. Misalnya ijtihad mengenai makna, dan batasan madlul. Dalam hal
inilah para imam-imam fikih melakukan ijtihad, mengerahkan segenap kemampuan
untuk memahami makna ihtimalat (lebih dari satu pengertian) yang paling
dekat, misalnya makna “ " ملامسة
pada firman Allah, أو لامستم النساء
Dan adapun batasan-batasan atau qarinah ihtimal
dilalat al-fazh, para ulama telah membuat syarat-syarat tertentu untuk
kesahan sebuah ta’wil. Secara garis besar syarat tersebut adalah: ta’wil
harus sesuai dengan bahasa dan kebiasaan penggunaannya serta illah
terhadap ashl tidak suatu hal yang batil.
Allah swt menurutkan wahyunya dengan memakai bahasa Arab.
Meskipun lafaz bahasa itu merupakan suatu isltilah, namun ia adalah muhkamah
(jelas dan terang) untuk memahami makna dan madlul-nya. Dan walalupun dilalahnya
dapat memberikan pengertian lebih dari satu makna, namun tidak berarti terbukanya
lafaz majazi membuat tafsiran lafaz tersebut menjadi ihtimal. Karena
lafaz majazi tidak akan digunakan kecuali adanya qarinah untuk tidak
memakai lafaz hakiki.
Bentuk qarinah berubahnya lafaz hakiki kepada
majazi bisa berupa:
·
Hukum syar’i
berdasarkan dalil Alquran atau sunnah. Seperti qarinah berubahnya lafaz
hakiki, ولا تباشروهنا وأنتم عاكفون فى المساجد[4] kepada makna majazi
yaitu “al-wath’u” (senggama)
·
Berdasarkan dalil aqli.
Contohnya firman Allah, واسأل القرية
التى كنا فيها[5]
·
Berdasarkan dalil
kebahasaan. Firman Allah, فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى
عليكم[6] , di mana qishas tidaklah
disebut dengan kata “ I’tida’ ” kecuali karena majazi.
·
Berdasarkan dalil ‘urf
‘am. Yaitu kebiasan umum dalam menggunakan majazinya pada masa turunnya
wahyu.
Jika empat qarinah ini tidak ada, maka wajib
menggunakan zahir ayat berdasarkan kosakata (mufradat) dan susunannya (tarkib)
tersebut dan tidak boleh menggunakan majazi, isytirak, taqdim-ta’khir,
takhshish al-‘umum, ta’mim al-khusush atau alasan-alasan lainnya yang
keluar dari lafaz yang hakiki.
Dan jika qarina-qarinah ini tidak diperhatikan,
setiap orang akan menafsirkan sesuka hatinya mengatas namakan mashlahah.
Bila itu terjadi, hilanglah nilai bahasa sebagai alat untuk memahami.
2. Mashlahah bersandarkan ashl, yang
dapat dikiaskan
Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’I
membolehkan ta’wil lafaz zahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar