Metode Zhahiri yang digunakan Ibn Hazm dalam bidang
akidah dan furu’ berdasarkan pada dua prinsip:[1]
a. Berdasarkan zahir Alquran, Sunnah dan ijma’
b. Menolak metode qiyas, ra’y, istihsan,
taqlid
Prinsip pertama dapat dilihat dari penjelasan Ibn Hazm dalam al-Fashl,
yang di kutip oleh Mahmud Ali Himayah,
“Ketahuilah bahwa agama Allah Swt
itu jelas (zahir) tidak tersembunyi (batin), dan tidak samar, kesemuanya adalah
bukti penguatan (burhan). Orang yang tidak berpegang pada nash
zahir perlu dipertanyakan dari mana ia berpendapat. Jika tidak dapat menjelaskan dengan
jelas, berarti ia hanya mengikuti prasangka-prasangka. Ketahuilah! Nabi Allah
tidak pernah menyembunyikan satu kalimatpun atau lebih dalam syariah…….demikian
juga, Rasulullah saw tidak pernah mengeluarkan pendapat yang samar berupa
simbol, rumus dan hal samaran lainnya, kecuali ditanya oleh sahabat kepadanya….
Mazhab Zhahiri yang dianut Ibn Hazm menolak adanya kesamaran,
tersembunyi, bentuk simbol dan isyarat-isyarat. Zahir sebuah nash
merupakan asas utama, kecuali ada nash, ijma’ atau sesuatu yang
darurat yang menunjukkan tidak adanya penjelasan zahir, maka harus di geser ke
makna lainnya. Ibnu Hazm tidak melarang menggunakan kiasan (majaz)
-seperti yang sering disalah pahami orang- dengan syarat ada qarinah,
berupa penggeseran kepada makna lainnya yang memperjelas. Penggeseran ini
dianggap “penjelasan zahir lafadz” (zhawahir alfazh) bukan “takwil”.[2]
Ijma’
Ibn Hazm menerima ijma’ para sahabat. Dan hal ini
merupakan sudah menjadi kesepakatan umat Islam. Sebagaimana Ibn Hazm juga
mengakui ijma’ para ulama sebagai sebuah hujjah yang pasti (maqtu’)
di dalam agama.[3]
Hanya saja perbedaan yang muncul antara Ibn Hazm dan lainnya
adalah mengenai adanya ijma’ tanpa berlandasan pada nash (ghair
nash). Hal ini ditolak oleh Ibn Hazm.[4]
Ibn Hazm tidak mengingkari ijma’, namun ijma’
yang dipandang adalah ijma’ yang berpegang dengan nash, Ia
mengatakan, “ la ijma’an illa ‘an an-nash”. Baik itu berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapan Nabi saw terhadap suatu masalah (iqrar). Orang yang mengatakan
adanya ijma’ di luar nash merupakan argumentasi yang tidak
memiliki penjelasn. Dan sesuatu yang tidak memiliki penjelasan adalah batil. [5]
Sehubungan dengan
argumentasi lawan yang mengatakan bolehnya ijma’ ulama tanpa nash,
Ibn Hazm terlebih dahulu mempertanyakan kemungkinan terwujudnya kesepakatan
seluruh ulama Islam yang ada. Tersebarnya para ulama di berbagai tempat,
berbedanya pendapat karena geografis, tabiat dan sifat akan menyulitkan
terbentuknya suatu ijma’ dan dipandang suatu yang tidak mungkin terjadi.[6]
Tampaknya Ibn Hazm menolak adanya ijma’ setelah
generasi sahabat. Penolakan ini bukan karena tidak sahnya ijma’ sebagai
dalil syariah, melainkan karena ketidak mungkinan terjadinya ijma’.
Menolak qiyas, ra’y, istihsan dan taqlid
Dalam al-Ihkam Ibn Hazm mengkritik dan menolak qiyas,
katanya,
“nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu
bihi, wa nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi
haulillah ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi fi zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza
wajalla bi irad al barahin al wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.[7]
Dilihat dari argumentasi penolakan yang disampaikan Ibn Hazm
terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
- Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.[8]
- Ibnu Hazm menolak hukum yang dihasilkan dari qiyas. Penolakannya bukan karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah,
ayat
di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada
kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di
rumah anak bukan karena penerapan qiyas, tapi karena adanya nash
yang membolehkan hal tersebut yaitu, hadits nabi saw,
Sementara, konsep istihsan yang ditolak oleh Ibn Hazm
dapat dilihat dari pernyataannya, “ Yaitu fatwa seorang mufti yang selalu
memandang baik, “ dan ia (Ibn Hazm) menolak fatwa tersebut karena mengikuti
hawa nafsu dan tanpa argumentasi, sedangkan hawa nafsu atau keinginan
berbeda-beda atau bertentangan dalam istihsan.[11]
Lalu Ibn Hazm mempertanyakan, “apa perbedaan antara kamu memandang baik (istahsanta)
dengan orang lain yang memandang buruk (istaqbahahu ghairaka)?” dan “apa
yang membuat salah satu diantaranya lebih benar (ula bil haq) dari yang
lainnya?”[12]
Sedangkan mengenai
ra’y (logika), Ibn Hazm berpandangan bahwa dalam agama tidak ada ra’y
(logika) dan tidak boleh bagi seseorang berijtihad dengan menggunakan logikanya
dan mengira hasil ijtihadnya adalah hukum Allah. Ibn Hazm menyebut beberapa
dalil. Dan dalil yang dikemukakan menyebutkan sumber-sumber syariah adalah
Alquran, Sunnah dan ijma’ dan tidak mengisyaratkan adanya ra’y.[13]
Tapi perlu
diperhatikan, penolakan Ibn Hazm terhadap ra’y adalah penolakan terhadap
ra’y yang bertentangan dengan nash Alquran dan Sunnah, yaitu yang
berdasarkan prasangka dan dugaan.[14] Atau ra’y yang tidak berdasarkan
pada nash.[15]
Ia sangat keras menolak taklid. Baginya taklid adalah haram,
tidak halal bagi orang lain mengambil pendapat orang lain baik orang itu masih
hidup maupun mati.[16]
Ibn Hazm memberi batasan taklid yang ditolaknya yaitu,
“mengambil pendapat seseorang yang bukan dari Nabi saw yang tidak
diperintahkan Tuhan untuk mengikutinya tanpa dalil yang mendukung kebenaran
pendapatnya, ia hanya mengatakan bahwa orang tersebut berpendapat demikian.
Inilah taklid yang batil.[17]
Mengutip Abu Zahrah, Mahmud Ali Himayah menyebutkan, Ibn Hazm
berpendapat wajibnya berijtihad bagi manusia, baik yang awam maupun yang alim,
sesuai dengan kemampuan yang ada.[18]
Metode yang dibangun Ibn Hazm adalah bagaimana memberikan
batasan dasar-dasar logika yang dipandang sebagai media menyampaikan pada
kebenaran. Dalam beberapa karyanya, banyak memuat metode rasional. Ibn Hazm
memandang penting akan kekuatan akal manusia. Orang yang membohongi akal
pikirannya berarti ia membohongi persaksian spiritual (syahadah) yang
tanpanya tidak akan mengetahui Tuhan-nya.[19]
Namun ia juga mengkritik orang-orang yang menempatkan akal
diluar kemampuannya dan mengira mampu menghalalkan dan mengharamkan. Tidak
boleh menentang hukum akal,
yaitu berlebihan dalam memandang kemampuan akal, dan membatasi kemampuannya. Batasan
akal bagi Ibn Hazm adalah berbuat ketaatan dan menghindari kemaksiatan serta
berfungsi untuk mengenal Allah dan perintah-perintah-Nya dan menetapkan bahwa Allah berbuat
atas keinginan-Nya dan kita
harus tunduk akan kemauan-Nya.[20]
Al-istishab
Bila Ibn Hazm
menolak qiyas, ra’y, istihsaan, lalu apa sandaran (dalil) Ibn Hazm
terhadap permasalahan yang tidak ada nash di dalamnya? Untuk
persoalan ini, ia menggunakan al-istishab, ashl al-ibahah al-ashliyah
sehingga ada dalil yang mengatakan sebaliknya. Dalil al-istishab, firman
Allah:
…ولكم فى الأرض مستقر ومتاع إلى حين
Artinya: “.. dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup
sampai waktu yang ditentukan (Al-Baqarah: 36)
Ayat ini dipahami bahwa Allah membolehkan segala sesuatu, lalu dapat melarang sesuai kehendaknya. Semua
ini tidak dapat terjadi kecuali dengan nash.[21]
Diantara contoh
pemakaian ishtishab Ibn Hazm:
1. Air tidak dapat dikatakan
bernajis kecuali jika terdapat najis yang membuat perubahan warna, bau dan
rasa. Bila perubahan ini tidak ada, air tersebut tetap suci dapat diminum dan
berwudhu. Tidak ada pengecualian, kecuali air seni pada air keruh karena ada nash
yang menyatakannya.[22]
2. Air sisa minuman
anjing adalah najis, karena ada nash yang menyatakan demikian. Namun air
sisa minuman babi tidaklah najis.[23]
Fikih-Fikih Mazhab Zahiri
Beberapa produk hukum fikih yang di lahirnya oleh Mazhab
Zhahiri adalah:
- Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan adalah diantara hal yang membatalkan wudhu. Baik dengan anak, ibu, bapak, kecil, dewasa, bersahwat maupun tidak.[24]
- Mandi untuk sholat Jum’at adalah wajib.[25]
- Orang yang berjunub pada hari Jumat, baginya dua kali mandi. Sekali dengan niat membersihkan junub, dan mandi kedua untuk sholat Jumat.[26]
- Tidak ada zakat barang tambang (ma’adin) kecuali emas dan perak yang cukup nishab dan haul.[27]
- Darah nifas sama hukumnya dengan darah haid, kecuali wanita nifas boleh bertawaf. Karena nash larangan tawaf datang untuk wanita yang haid bukan nifas.[28]
- Wanita haid, nifas, dan orang yang sedang junub boleh masuk mesjid. Karena tidak ada larangan akan itu. Dan Rasulullah bersabda “ المؤمن لا ينجس "[29]
Mazhab Zhahiri merupakah khazanah pemikiran dalam Islam.
Metodologinya menyimpan kekayaan intelektual yang tak bisa dipungkiri. Pernah
menjadi mazhab ke empat dan kelima yang terbesar, menunjukkan kuatnya pengaruh
dan argumentasi yang dibangun oleh mazhab ini.
Bagi generasi belakangan. meski mazhab ini tidak begitu
populer, tapi tetap masih menyimpan kekayaan metodologi yang berhargai. Bila
diteliti lebih jauh, metodologi zhahiri yang dikembangkan oleh Ibn Hazm bukan
saja terfokus pada permasalahan furu’ semata, melainkan menyangkut
masalah akidah dan filsafat.
[2] Ibid.
182-183
[4] Ibid.
128-129
[5] Ibid.
136
[6] Ibid.
137-138
[7]
Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 7, h. 56
[8]
Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 190
[9]
Q.S. an-Nur: 61
[10] Lebih jelasnya lihat al-Ihkam pada
bab 30 tentang pembatalan qiyas
[11] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm,
h. 191-192
[12] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 6, h.21
[13] Opcit,
h. 193-194.
[14] Ibid,
h. 195
[15] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 6,
h. 34
[16] Anwar Khalid az-Za’biy, Zahiriyah Ibn Hazm (Oman: Ma’had
al-‘Alimiy lil Fikr al-Islamiy, 1996) h. 42
[17] Opcit,
h. 69-70
[18] Ibid,
h. 196
[19] Ibid,
h. 203
[20] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 1, h. 28-29
[21] M. Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyah, juz 2, hal. 488
[24] Ibn Hazm, al-Mahalla, (Mesir:Idarah
at-Thaba’ah al-Muniriyah, 1348 H) juz 1, hal. 243
[25] Ibid, juz 2 hal. 8
[26] Ibid, juz 2, hal. 42
[28] Ibid,
juz 2, hal. 183
Bagus sekali... kalau boleh nanya,,, kira-kira mazhab zahiri sekarang berkembang di negara mana aja ya
BalasHapusWah...kalau untuk sekarang susah dilacak...soalnya mazhab ini sudah tidak 'kelihatan lagi'..
Hapus