Rabu, 10 April 2013

Mazhab az-Zhahiri (3): Metodologi az-Zhahiri Ibn Hazm

Mazhab Zhahiri bertambah kokoh dengan keberadaan Ibn hazm. Keluasan ilmunya memberi pengaruh besar terhadap perkembangan metodologi Mazhab ini. 

Metode Zhahiri yang digunakan Ibn Hazm dalam bidang akidah dan furu’ berdasarkan pada dua prinsip:[1]
a. Berdasarkan zahir Alquran, Sunnah dan ijma’
b. Menolak metode qiyas, ra’y, istihsan, taqlid

Prinsip pertama dapat dilihat dari penjelasan Ibn Hazm dalam al-Fashl, yang di kutip oleh Mahmud Ali Himayah,
“Ketahuilah bahwa  agama Allah Swt itu jelas (zahir) tidak tersembunyi (batin), dan tidak samar, kesemuanya adalah bukti penguatan (burhan). Orang yang tidak berpegang pada nash zahir perlu dipertanyakan dari mana ia berpendapat. Jika tidak dapat menjelaskan dengan jelas, berarti ia hanya mengikuti prasangka-prasangka. Ketahuilah! Nabi Allah tidak pernah menyembunyikan satu kalimatpun atau lebih dalam syariah…….demikian juga, Rasulullah saw tidak pernah mengeluarkan pendapat yang samar berupa simbol, rumus dan hal samaran lainnya, kecuali ditanya oleh sahabat kepadanya….

Mazhab Zhahiri yang dianut Ibn Hazm menolak adanya kesamaran, tersembunyi, bentuk simbol dan isyarat-isyarat. Zahir sebuah nash merupakan asas utama, kecuali ada nash, ijma’ atau sesuatu yang darurat yang menunjukkan tidak adanya penjelasan zahir, maka harus di geser ke makna lainnya. Ibnu Hazm tidak melarang menggunakan kiasan (majaz) -seperti yang sering disalah pahami orang- dengan syarat ada qarinah, berupa penggeseran kepada makna lainnya yang memperjelas. Penggeseran ini dianggap “penjelasan zahir lafadz” (zhawahir alfazh) bukan “takwil”.[2]

Ijma’
Ibn Hazm menerima ijma’ para sahabat. Dan hal ini merupakan sudah menjadi kesepakatan umat Islam. Sebagaimana Ibn Hazm juga mengakui ijma’ para ulama sebagai sebuah hujjah yang pasti (maqtu’) di dalam agama.[3]

Hanya saja perbedaan yang muncul antara Ibn Hazm dan lainnya adalah mengenai adanya ijma’ tanpa berlandasan pada nash (ghair nash). Hal ini ditolak oleh Ibn Hazm.[4]

Ibn Hazm tidak mengingkari ijma’, namun ijma’ yang dipandang adalah ijma’ yang berpegang dengan nash, Ia mengatakan, “ la ijma’an illa ‘an an-nash”.  Baik itu berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi saw terhadap suatu masalah (iqrar). Orang yang mengatakan adanya ijma’ di luar nash merupakan argumentasi yang tidak memiliki penjelasn. Dan sesuatu yang tidak memiliki penjelasan adalah batil. [5]
           
Sehubungan dengan argumentasi lawan yang mengatakan bolehnya ijma’ ulama tanpa nash, Ibn Hazm terlebih dahulu mempertanyakan kemungkinan terwujudnya kesepakatan seluruh ulama Islam yang ada. Tersebarnya para ulama di berbagai tempat, berbedanya pendapat karena geografis, tabiat dan sifat akan menyulitkan terbentuknya suatu ijma’ dan dipandang suatu yang tidak mungkin terjadi.[6]

Tampaknya Ibn Hazm menolak adanya ijma’ setelah generasi sahabat. Penolakan ini bukan karena tidak sahnya ijma’ sebagai dalil syariah, melainkan karena ketidak mungkinan terjadinya ijma’.

Menolak qiyas, ra’y, istihsan dan taqlid
Dalam al-Ihkam Ibn Hazm mengkritik dan menolak qiyas, katanya,
nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi  fi zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.[7]

Dilihat dari argumentasi penolakan yang disampaikan Ibn Hazm terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
  1. Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.[8]   
  2. Ibnu Hazm menolak hukum yang dihasilkan dari qiyas. Penolakannya bukan karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah,
"[9]  " أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم
ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah anak bukan karena penerapan qiyas, tapi karena adanya nash yang membolehkan hal tersebut yaitu, hadits nabi saw,
 ان أطيب ماأكل أحدكم من كسبه وان ولد أحدكم من كسبه  " [10]

Sementara, konsep istihsan yang ditolak oleh Ibn Hazm dapat dilihat dari pernyataannya, “ Yaitu fatwa seorang mufti yang selalu memandang baik, “ dan ia (Ibn Hazm) menolak fatwa tersebut karena mengikuti hawa nafsu dan tanpa argumentasi, sedangkan hawa nafsu atau keinginan berbeda-beda atau bertentangan dalam istihsan.[11] Lalu Ibn Hazm mempertanyakan, “apa perbedaan antara kamu memandang baik (istahsanta) dengan orang lain yang memandang buruk (istaqbahahu ghairaka)?” dan “apa yang membuat salah satu diantaranya lebih benar (ula bil haq) dari yang lainnya?”[12]

Sedangkan mengenai ra’y (logika), Ibn Hazm berpandangan bahwa dalam agama tidak ada ra’y (logika) dan tidak boleh bagi seseorang berijtihad dengan menggunakan logikanya dan mengira hasil ijtihadnya adalah hukum Allah. Ibn Hazm menyebut beberapa dalil. Dan dalil yang dikemukakan menyebutkan sumber-sumber syariah adalah Alquran, Sunnah dan ijma’ dan tidak mengisyaratkan adanya ra’y.[13]

Tapi perlu diperhatikan, penolakan Ibn Hazm terhadap ra’y adalah penolakan terhadap ra’y yang bertentangan dengan nash Alquran dan Sunnah, yaitu yang berdasarkan prasangka dan dugaan.[14] Atau ra’y yang tidak berdasarkan pada nash.[15]
           
Ia sangat keras menolak taklid. Baginya taklid adalah haram, tidak halal bagi orang lain mengambil pendapat orang lain baik orang itu masih hidup maupun mati.[16] Ibn Hazm memberi batasan taklid yang ditolaknya yaitu,
“mengambil pendapat seseorang yang bukan dari Nabi saw yang tidak diperintahkan Tuhan untuk mengikutinya tanpa dalil yang mendukung kebenaran pendapatnya, ia hanya mengatakan bahwa orang tersebut berpendapat demikian. Inilah taklid yang batil.[17]

Mengutip Abu Zahrah, Mahmud Ali Himayah menyebutkan, Ibn Hazm berpendapat wajibnya berijtihad bagi manusia, baik yang awam maupun yang alim, sesuai dengan kemampuan yang ada.[18]

Metode yang dibangun Ibn Hazm adalah bagaimana memberikan batasan dasar-dasar logika yang dipandang sebagai media menyampaikan pada kebenaran. Dalam beberapa karyanya, banyak memuat metode rasional. Ibn Hazm memandang penting akan kekuatan akal manusia. Orang yang membohongi akal pikirannya berarti ia membohongi persaksian spiritual (syahadah) yang tanpanya tidak akan mengetahui Tuhan-nya.[19]

Namun ia juga mengkritik orang-orang yang menempatkan akal diluar kemampuannya dan mengira mampu menghalalkan dan mengharamkan. Tidak boleh menentang hukum akal, yaitu berlebihan dalam memandang kemampuan akal, dan membatasi kemampuannya. Batasan akal bagi Ibn Hazm adalah berbuat ketaatan dan menghindari kemaksiatan serta berfungsi untuk mengenal Allah dan perintah-perintah-Nya dan menetapkan bahwa Allah berbuat atas keinginan-Nya dan kita harus tunduk akan kemauan-Nya.[20]

Al-istishab
Bila Ibn Hazm menolak qiyas, ra’y, istihsaan, lalu apa sandaran (dalil) Ibn Hazm terhadap permasalahan yang tidak ada nash di dalamnya? Untuk persoalan ini, ia menggunakan al-istishab, ashl al-ibahah al-ashliyah sehingga ada dalil yang mengatakan sebaliknya. Dalil al-istishab, firman Allah:
ولكم فى الأرض مستقر ومتاع إلى حين
Artinya: .. dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan  (Al-Baqarah: 36)

Ayat ini dipahami bahwa Allah membolehkan segala sesuatu, lalu dapat melarang sesuai kehendaknya. Semua ini tidak dapat terjadi kecuali dengan nash.[21]   
Diantara contoh pemakaian ishtishab Ibn Hazm:
1.      Air tidak dapat dikatakan bernajis kecuali jika terdapat najis yang membuat perubahan warna, bau dan rasa. Bila perubahan ini tidak ada, air tersebut tetap suci dapat diminum dan berwudhu. Tidak ada pengecualian, kecuali air seni pada air keruh karena ada nash yang menyatakannya.[22]
2.      Air sisa minuman anjing adalah najis, karena ada nash yang menyatakan demikian. Namun air sisa minuman babi tidaklah najis.[23]

             
Fikih-Fikih Mazhab Zahiri
Beberapa produk hukum fikih yang di lahirnya oleh Mazhab Zhahiri adalah:
  • Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan adalah diantara hal yang membatalkan wudhu. Baik dengan anak, ibu, bapak, kecil, dewasa, bersahwat maupun tidak.[24]
  • Mandi untuk sholat Jum’at adalah wajib.[25]
  • Orang yang berjunub pada hari Jumat, baginya dua kali mandi. Sekali dengan niat membersihkan junub, dan mandi kedua untuk sholat Jumat.[26]
  • Tidak ada zakat barang tambang (ma’adin) kecuali emas dan perak yang cukup nishab dan haul.[27]
  • Darah nifas sama hukumnya dengan darah haid, kecuali wanita nifas boleh bertawaf. Karena nash larangan tawaf datang untuk wanita yang haid bukan nifas.[28]
  • Wanita haid, nifas, dan orang yang sedang junub boleh masuk mesjid. Karena tidak ada larangan akan itu. Dan Rasulullah bersabda “ المؤمن لا ينجس "[29]


Mazhab Zhahiri merupakah khazanah pemikiran dalam Islam. Metodologinya menyimpan kekayaan intelektual yang tak bisa dipungkiri. Pernah menjadi mazhab ke empat dan kelima yang terbesar, menunjukkan kuatnya pengaruh dan argumentasi yang dibangun oleh mazhab ini.
           
Bagi generasi belakangan. meski mazhab ini tidak begitu populer, tapi tetap masih menyimpan kekayaan metodologi yang berhargai. Bila diteliti lebih jauh, metodologi zhahiri yang dikembangkan oleh Ibn Hazm bukan saja terfokus pada permasalahan furu’ semata, melainkan menyangkut masalah akidah dan filsafat.  
           


[1] Dr. Mahmud Ali Himayah,  Ibn Hazm, h. 181
[2] Ibid. 182-183
[3] Ibn Hazm, al-Ihkam (Beirut: Dar al-Ifaq al-Jadidah) juz 4, h. 128
[4] Ibid. 128-129
[5] Ibid. 136
[6] Ibid. 137-138
[7] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 7, h. 56
[8] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 190
[9] Q.S. an-Nur: 61
[10] Lebih jelasnya lihat al-Ihkam pada bab 30 tentang pembatalan qiyas
[11] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 191-192
[12] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 6, h.21
[13] Opcit, h. 193-194.
[14] Ibid, h. 195
[15] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 6, h. 34
[16] Anwar Khalid az-Za’biy,  Zahiriyah Ibn Hazm (Oman: Ma’had al-‘Alimiy lil Fikr al-Islamiy, 1996) h. 42
[17] Opcit, h. 69-70
[18] Ibid, h. 196
[19] Ibid, h. 203
[20] Ibn Hazm, al-Ihkam, juz 1, h. 28-29
[21] M. Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, juz 2, hal. 488
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[25] Ibid, juz 2 hal. 8
[26] Ibid, juz 2, hal. 42
[27] Ibid, juz 6, hal. 108
[28] Ibid, juz 2, hal. 183
[29] Ibid.

2 komentar:

  1. Bagus sekali... kalau boleh nanya,,, kira-kira mazhab zahiri sekarang berkembang di negara mana aja ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah...kalau untuk sekarang susah dilacak...soalnya mazhab ini sudah tidak 'kelihatan lagi'..

      Hapus

 

Blogger news

Blogroll

About