Jumat, 12 April 2013

Epistemologi Islam

Oleh: Aidil Susandi, Lc.

Epistemologi Islam | Islam adalah agama yang banyak dikaji, bukan saja oleh pemeluknya tapi juga ditelaah oleh orang-orang luar. Ini adalah satu bukti Islam merupakan agama yang dinamis. Ini dapat dimengerti karena agama ini bukan saja mengurus soal pribadatan yang bersifat individual, namun dalam sejarahnya memberikan andil dan sumbangsih terhadap peradaban umat manusia. Dari sekian banyak agama dan kepercayaan-kepercayaan yang ada, Islam lebih dominan menghasilkan karya-karya pengetahuan. Bersumber dari ajaran-ajaran yang dikandungnya, agama ini mampu memberikan pandangan hidup unik, menyeluruh dan tak kenal batas. Penelaahan dan kajian terhadapnya senantiasa berjalan dan tak kenal henti. Ribuan gagasan dan ide muncul dari rahim agama satu ini.
 
Mengetahui ajaran Islam adalah suatu keharusan mutlak, terlebih lagi bagi pemeluknya. Kekeliruan-keliruan pandangan terhadap agama ini merupakan buah kejahilan akan ajaran yang dikandungnya- selain faktor konflik sejarah bagi masyarakat tertentu (baca: Barat).

Dalam makalah ini penulis berusaha menelaah epistemologi Islam, mengkaji prinsip-prinsip dan sumber-sumber.pengetahuan dalam Islam. 

Apa Itu Islam?
Islam lahir di sebuah negeri tandus. Sebuah kawasan yang tidak diperhitungkan dalam kancah masyarakat internasional pada waktu itu. Bangsa Arab yang mendiami Jazira Arabia merupakan masyarakat yang hidup bersuku-suku. Sosio-kultural Arabia menempah mereka menjadi masyarakat keras dan nomadik. Tidak ada pemerintahan dan kepala negara yang mengatur tatanan masyarakat. Masing-masing suku berkewajiban menjaga eksistensi sukunya masing-masing.

Kehidupan sosial bangsa Arab pra-islam memiliki sebuah postulat hukum yang kuat memakan yang lemah. Kekuatan dan kejantanan sesuatu yang dipuja dan menjadi penentu dalam karir mereka. Moral dan etika berada dalam kemerosotan yang luar biasa. Riba, khamar, main perempuan merupakan perbuatan yang lazim dilakukan. Membunuh anak perempuan, sistem pernikahan yang menyimpang, menambah daftar kekejian moral pada waktu itu.

Dalam kondisi kemerosotan moral yang luar biasa seperti ini, hidup seorang pemuda jujur yang dikenal masyarakat setempat dengan julukan al amin.[1] Pemuda itu adalah Muhammad bin Abdullah[2], seorang pemuda yang melewati masa kecil sebagai yatim piatu dan pengembala[3].

Muhammad merupakan sosok yang resah terhadap kemerosotan akhlak masyarakat sekitarnya. Pada umur 40 tahun[4], Muhammad mengalami peristiwa ajaib di gua Hira. Sebuah peristiwa yang mengubah peta sejarah dunia. Di tempat ini ia menerima wahyu menandakan lahirnya sebuah agama baru bernama Islam.

Islam adalah nama sebuah agama yang lahir dari wahyu. Penamaan ini bukan diambil dari nama tempat seperti Nasrani, bukan pula dari nama tokoh penyebar ajaran tersebut, tetapi diberikan langsung oleh Allah. Prinsip-prinsipnya telah turun sempurna tanpa campur tangan manusia.[5]

 Islam mengajarkan pada manusia untuk berserah diri kepada Allah. Allah bukanlah Tuhan yang digambarkan sebagai Yahweh, bukan tuhan Bapak, bukan  Nirguna Brahman, bukan Tao Te Ching, bukan En Soph, bukan pula Dharmakaya. Allah juga tidak sama dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep transedentalisme. Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa, dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi Muhammad.[6]

Islam ditopang dengan lima pilar (arkan ad-din). Kelima pilar itu: tauhid, sholat, zakat, haji dan puasa. Agama ini dilengkapi dengan struktur keimanan kepada Allah, malaikat, para nabi, kitab suci wahyu, hari akhir, dan takdir.[7]

Keseluruhan ajaran-ajaran prinsip Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah. Nabi Muhammad adalah otoritas tertinggi dalam menyampaikan dan menafsirkan kandungan ajaran Islam tanpa kesalahan dan kekeliruan.

Kemudian Islam dipahami dengan akal dan intuisi manusia. Ia berkembang menjadi sebuah peradaban yang memiliki struktur konsep yang kokoh dan universal. Islam membekali manusia dengan seperangkat ritus peribadatan dengan hukum-hukumnya yang vital mengenai konsep Tuhan, kehidupan manusia, alam semesta dan sekaligus peradaban (madaniyyah)[8].

Islam adalah agama sekaligus peradaban. Artinya tidak mencerai-beraikan antara ritus ibadah dan perilaku sosial. Konsepnya padu dan menyatu (tauhidiy), bukan terkotak-kotak, berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya, dan berikan kepada kaisar apa yang menjadi haknya seperti konsep sekuler. Bagi Islam semuanya menuju kepada Yang Tunggal.

Sebagai agama terakhir, ia menjadi ajaran yang menasikh ajaran-ajaran terdahulu. Surat Nabi mengajak Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia untuk masuk Islam menandakan hanya Islam satu-satunya jalan keselamatan.[9] Misi Nabi adalah untuk menyelamatkan manusia menuju kebenaran hakiki. Namun meski demikian, manusia diberi kebebasan untuk memilih agamanya dan bertanggungjawab atas pilihan masing-masing.[10]

Dalam Islam konsep iman tidak dapat dipisahkan dari amal dan berkaitan erat dengan ilmu. Iman, amal dan ilmu tidak berdiri sendiri di ruangnya masing-masing. Ketiganya saling berkaitan, terikat dan menyatu. Pemisahanya di antaranya merupakah suatu kecacatan.   

Islam ajaran kekal, menerima perkembangan dinamika manusia sekaligus tetap berpijak pada pondasi tetap dan tidak menerima perubahan. Tsawabit (tetap) dan mutaghayyirat (dinamis) adalah dua hal yang sama-sama diakui.

Keseluruhan bangunan Islam melahirkan sebuah pandangan hidup (worlview) yang  integral, dan universal. Islam tidak menerima dualisme berfikir, parsial dan terkotak-kotak. Meski secara ontologis mengakui realitas dunia-akhirat, materi-nonmateri, fisik-metafisik, namun epistemologi Islam menolak pandangan dualistik-dikotomis.

Sumber-Sumber Pengetahuan
Secara garis besar, sumber pengetahuan ada dua, yaitu wahyu dan alam. Adapun akal, panca indra, common sense, dan lainnya lebih tepat di sebut sebagai alat untuk memahami dan menangkap kebenaran. Posisinya sebagai radar yang menangkap gelombang-gelombang pengetahuan yang dipancarkan dari kedua sumber tersebut.

Wahyu disebut sebagai ayat tertulis, sementara alam sebagai ayat-ayat yang tidak tertulis. Sebagai sumber pengetahuan, wahyu mesti orisinil dari Allah dan tidak boleh mengalami pelencengan dan perubahan. Umat Islam dapat berbangga dengan kitab sucinya Alquran yang tidak mengalami perubahan sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.[11]

Posisi Alquran dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan dapat dilihat dari informasi, seruan, motivasi dan tuntutan yang disampaikan. Kebenaran itu dapat diteliti baik mengandalkan kajian empiris dan normatif. Memang, dalam beberapa kasus ada hal-hal yang belum terpecahkan.

Alam adalah ayat yang tidak tertulis. Ia merupakan tanda-tanda bagi kebenaran. Kebenaran apa? Kebenaran adanya kekuatan luar yang mengontrol hidup manusia. Alam beserta dinamika di dalamnya merupakan proses dinamis untuk memperlihatkan keagungan Allah swt. Alam dijadikan tempat persemaian sekaligus menguji keimanan.

Dengan pandangan bahwa alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah [12], manusia diminta untuk tidak pongah, dan serakah serta tunduk kepada pengendali alam. Bumi, air dan isinya dimanfaatkan untuk kemakmuran bersama manusia, bukan untuk dieksploitasi besar-besaran yang berakibat malapetaka bagi manusi sendiri.[13] .

Agar dua sumber pengetahuan ini (wahyu dan alam) dapat melahirkan pengetahuan, manusia diberi akal, panca indera, intuisi dan lain-lain. Akal yang bagaimana mampu melahirkan kebenaran? Yaitu akal yang dibimbing oleh wahyu. Akal tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa bimbingan. Meski akal mampu menemukan kebenaran, tapi tak jarang pulang menemui kebuntuan, karena sifatnya yang terbatas.[14] Keterbatasan bukan bentuk perendahan terhadap potensi akal manusia, tapi sebuah pengakuan hormat atas daya jelajahnya.

Dari proses akali, mucul berbagai metode: Metode Kritis, Intuitif, Skolastik, Geometris, Empiris, Transedental, Fenomenologis, Dialektis, Neo-Positivistif, Analitika Bahasa,[15]  

Sementara dalam kajian wahyu (teks agama), Ibn Rusyd menawarkan tiga metode pembuktian kebenaran konsep: (1) Metode Retorika (al-khitabiyyah), (2) Metode Dialektik (al-jadaliyyah), dan (3) Metode Demonstratif (burhaniyyah). Metode retorik dan dialektik diperuntukkan untuk orang awam, sedangkan metode demonstratif untuk konsumsi sebagian kecil manusia.[16]

Bagaimana Mempelajari Islam ?
Alquran dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam. Mengetahui Islam berarti harus memahami kandungan dua sumber primer tersebut. Untuk mengkajinya, Islam memiliki disiplin-disiplin ilmu tersendiri sebut saja misalnya Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Tasawuf, Falsafah Islam dan sebagainya.    

Penguasaan bahasa Arab merupakan syarat mutlak untuk mengkaji Alquran dan Sunnah secara mendalam. Kemampuan kebahasaan akan memudahkan pemahaman terhadap kandungan dan makna ayat-ayat. Mesti sumber-sumber sekunder mengenai Islam bertebaran, kemampuan kebahasaan tetap mutlak diperlukan. Tidaklah benar seruan yang mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam tidak perlu penguasaan bahasa Arab. Ini adalah suatu pendangkalan metode terhadap kajian keislaman dan kajian-kajian literatur lainnya. Pandangan ini tidak dapat diterima.   

Selain itu, kajian sejarah dapat membantu melihat Islam sebagai agama yang pantas untuk manusia. Sejarah memperlihatkan, Islam mampu membangun sebuah peradaban yang penuh pengetahuan dan moral serta contoh bagi keberagaman agama.   

Mendapatkan bangunan konsep Islam secara utuh perlu penelitian intens dan kerja keras. Perlu metode dan penguasaan terhadap multidisiplin ilmu. Secara menyeluruh konsep Islam mengenai Tuhan, Alam dan manusia bermuara pada nilai-nilai tauhid. Nilai-nilai tauhid ini perlu dikembangkan, bukan saja mengenai ketuhanan tapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan.
 
Peran dan Fungsi Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah elemen penting bagi manusia. Dengan itu seseorang dapat berpikir dan menemukan kebenaran. Persoalan ilmu bukan persoalan main-main. Karen ilmu yang salah akan menghasilkan guru, dosen, ilmuwan, ulama, pemimpin yang salah dalam berfikir, mengajar, mengeluarkan kebijakan, dan fatwa. Perlu di ingat, kita pernah mengalami dua kali Perang Dunia yang menelan jutaan jiwa, sekaligus kita dibayang-bayangi pecahnya Perang Dunia III. Belum lagi kerusakan ekosistem, pemanasan global, penindasan ekonomi, kelaparan dan permasalahan lain-lainnya. Meski ilmu pengetahuan menyumbangkan kemajuan yang luar biasa, namun ilmu pengetahuan juga menjadi kutukan bagi manusia. Apa yang salah dari ilmu pengetahuan? Yang keliru adalah konsep yang mendasari bangunan ilmu itu sendiri.

Mengkaji konsep ilmu bukan mengkaji bentuk benda (teknologi) yang dilahirkan oleh ilmu. Tapi membahas tentang motivasi, asas, teori, konsep dan filsafat yang melahirkan ilmu. Kita tidak mengkaji tentang nuklir itu haram atau tidak, namun apa alasannya nuklir bisa tercipta?  Bukan salah atau benarnya teori evolusi Darwin, tapi asumsi dan praduga yang melatar belakangi timbulnya teori tersebut. Pendeknya, kita tidak membahas kulit luar tapi masuk jauh ke dalam sum-sum ilmu pengetahuan. Kita mencoba melihat konsep-konsep ilmu lebih dekat.

Sebagai agama pembawa kebenaran, Islam memiliki konsep tersendiri mengenai pengetahuan. Alquran memberikan motivasi kuat bagi kaum muslim untuk menelaah dan mengkaji ilmu. Sejarah telah membuktikan keuletan dan ketekunan intelektual muslim dalam eksplorasi pengetahuan.[17] Tidak ada dikotomi ilmu syariat dan ilmu alam, ilmu apa saja yang dapat membawa manusia menuju Tuhan adalah terpuji dan memperolehnya adalah sebentuk ibadah.[18]

Selain motivasi, Islam juga memberi arahan dan tuntunan jelas untuk aktifitas pengembaran intelektual. Alquran adalah sumber inpirasi mulia ilmu pengetahuan.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?[19]
Konsep ilmu dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari dimensi ilahiyah. Perintah bacalah (iqra) dikaitkan dengan aspek ketuhanan (bismi rabbika)[20]. Eksplorasi alam disandingkan dengan usaha mencari tanda-tanda kebesaran Allah. Pandangannya mengenai ilmu integral antara realitas fisik dan metafisik.

Ilmu dalam Islam tidak terkotak dalam ruang lingkup empiris-indrawi semata, tapi juga menyangkut kebenaran metafisik. Bahkan hal-hal metafisik bagi ilmuwan Islam masa lampau terlihat lebih rill dibanding objek fisik. Bahkan mereka telah menyusun hirarki wujud (martabah al-maujudad) dimulai dari unsur-unsur metafisik menuju fisik. sebagaimana yang disusun oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina.[21]

Tepat kiranya, defenisi yang diberikan Ibn Taimiyah mengenai ilmu, sebagaimana dikutip oleh Budi Handrianto:
Inna al-ilma ma qoma alaihi ad-dalil wa an-nafi minhu ma ja a bihi ar-Rasul fasyanu fi an naqula ilman wa huwa an-naqlu al-mushaddaq wa al-bahtsu al-muhaqqaq[22]
Sesungguhnya ilmu itu sesuatu yang bersandar pada dalil, dan bermanfaat darinya adalah sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw. maka kita dapat mengatakan bahwa ilmu itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat.

Ilmu dalam Islam bersifat universal, tidak sempit dan dikotomis. Inti konsepnya adalah Tauhid, khilafah, dan Ibadah.Tujuaannya menciptakan keadilan dan kemaslahatan, jauh dari kezaliman dan kecerobohan.[23]

Landasan keimanan dalam penelaahan keilmuan dalam konsep ilmu Islam membuat aktifitas intelektual menjadi bertanggungjawab, dan diproyeksikan menggapai ridha Allah. Seorang ilmuwan harus bisa memainkan peran sosial ilmu untuk melayani masyarakat dan secara bersamaan meningkatkan moral dan etika.[24]

Tidak ada pertentangan antara konsep ilmu Islam dengan mentode ilmiah empiris untuk mengkaji fenomena alam. Pertentangan timbul ketika nilai-nilai metafisik disingkirkan.

Metode empiris layaknya satu dinding kebenaran dari dinding-dinding rumah kebenaran. Pembatasan metode terhadap dinding-dinding yang lain merupakan malapetaka bagi keutuhan rumah Kebenaran.  

Perbedaan konsep ilmu Islam dan Barat
Konsep Ilmu dalam Islam berbeda dengan konsep keilmuan Barat. Perbedaan terjadi disebabkan latarbelakang sejarah yang berbeda-beda di masing-masing dua kutub ini.  Barat memandang bahwa hanya cara rasional-empiris saja yang layak menentukan sebuah kebenaran.[25] Artinya, kebenaran harus dapat diverifikasi secara indrawi.

Konsep ilmu Barat yang berlandasan rasio, bermula dari postulat Filosof Barat Rene Descartes (m. 1650). Ia menyatakan cogito ergo sum aku berfikir maka aku ada. Filosof yang dijuluki Bapak Filsafat Modern ini, tidak saja mengukur kebenaran dengan rasio saja, tapi menyatakan bahwa eksistensi seseorang hanya mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah laku. Pernyataan Descartes kemudian dikembangkan oleh Filosof Barat lainnya dan melahirkan ilmu pengetahuan yang berdasarkan rasio dan panca indra semata. [26]

Dalam perjalanannya, ide ini menguatkan peranan akal dan menyingkirkan wahyu dan melahirkan sekularistik, lalu menjelma menjadi ateistik ilmu pengetahuan. Tentu paham ateisme dalam pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh luas Charles Robert Darwin (m. 1882) dengan bukunya yang terkenal, The Origin of Species (asal usul spesies). Teori evolusi Darwin ini mengisaratkat bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Makhluk hidup dapat bertahan hidup karena adaptasi lingkungan. Hanya yang mampu beradaptasi yang mampu bertahan di muka bumi. [27]

Paham ateis kemudian menjalar pada bidang sosiologi dengan tokohnya Auguste Comte. Sosiolog yang dijuluki Barat sebagai Bapak Sosiologi itu memandang, bahwa kepercayaan kepada agama adalah bentuk keberlakangan masyarakat. Tidak sampai di sini, bidang psikologi lalu ikut-ikutan menjadi ateis dengan teori psikoanalisinya Sigmund Freud. Masih belum ekstrim, lantas Friedrich Nietzche (1844-1900) melalui filsafatnya mengumandangkan God is dead, dan diamini oleh Jacque Derrida pada abad 20 dengan semboyan senada, The author is dead.[28]

Agar jelas perbedaan antara konsep keilmuan Barat dan Islam, Nasim Butt mengklasifikasi sebagai berikut:[29]
Konsep Ilmu Barat
Konsep Ilmu Islam
1.       Percaya pada rasionalitas
2.      Ilmu untuk ilmu
3.      Satu-satunya metode untuk mengetahui realitas
4.      Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas
5.      Tidak memihak
6.      Tidak adanya bias
7.      Penggantungan pendapat
8.     Reduksionisme
9.      fragmentasi
10.  Universalisme
11.   Individualisme
12.  Netralitas (free-value)
13.  loyalitas kelompok
14.  kebebasan absolut
15.   Tujuan membenarkan sarana
1.       Percaya pada wahyu
2.      Ilmu sarana mencapai ridha Allah
3.      Banyak metode berlandasan akal dan wahyu
4.      Komitmen emosional mengangkat spiritual dan sosial
5.      Pemihakan pada kebenaran
6.      Adanya subjektifitas
7.      Menguji pendapat
8.     Sintesis
9.      Holistik
10.  Universalisme
11.   Orientasi masyarakat
12.  Orientasi nilai
13.  Loyalitas pada Tuhan dan makluk
14.  Nilai etika dan moral
15.   Tujuan tidak membenarkan sarana

Ilmu yang berkembang di dunia barat, menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, disebabkan hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Keraguan dan dugaan diangkat ketahap metodologi ilmiah, serta menjadikan keraguan itu sebagai alat epistemologi yang sah dalam pengetahuan. Hasilnya menciptakan krisis ilmu berkepanjangan.[30] Meski memberi teknologi yang bermanfaat untuk kemajuan manusia, Ilmu Barat turut menciptakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa.[31]

Memang terdapat sejumlah persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern, khususnya menyangkut metode ilmu, nalar-empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi filsafat sains. Namun terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup mengenai Realitas akhir.[32]

Penutup
Islam adalah anugerah terbesar bagi kehidupan manusia. Sebuah jalan kebenaran yang memiliki pandangan serba mencakup, tidak sempit, parsial, lokal dan dikotomik. Konsep keilmuannya integral tidak membedakan fisika dan metafisika, tidak membatasi diri pada metode rasional empiris semata.

Konsep keilmuan Barat yang disebarkan ke seantaro dunia, merupakan tragedi besar bagi sejarah manusia. Umat Islam wajib terlibat aktif mengerahkan kemampuan dan usaha yang tak kenal lelah untuk mengurai, mengkritisi dan memberikan solusi keilmuan. Tidak hanya ekonomi islam, politik dan psikologi, bidang-bidang keilmuan lainnya mestidi-islam-kan juga. Islamisasi pengetahuan bukan perkara mudah. Selain mendalami disiplin keilmuan Islam, juga harus mengerti disiplin ilmu yang akan dibagun dengan konsep-konsep islam.  



[1] Adz Zahabiy, Tarikh al Islam, cet. 1 (Beirut:Dar al Kitab al Arabiy, 1989) juz 2, hal. 67
[2] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Ghiza: Dal al -Hajr, 1997) juz 3, hal. 354
[3] Ibn Saad, Thobaqat al Kabir, cet. 1 (Kairo: Maktabah al Khanjiy, 2001) juz 1, hal 79-80, 94-95, 103
[4] Ibid, 164
[5] Q.S. al-Maidah: 3
[6] Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi “Aslim Taslam” makalah, dalam www.insistnet.com
[7] Shahih al Muslim hadis ke-1
[8] Lebih jelasnya lihat Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi “Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam”, makalah< dalam www.insistnet.com
[9] Op.cit.
[10] Lihat Q.S. al-Kafirun
[11] Q.S. al-Hijr: 9
[12] Lihat Q.S.Fushilat: 53
[13] Lihat Q.S. ar-Rum: 41
[14] Persoalan akal tanpa bimbingan wahyu menjadi perbincangan sengit dikalangan mutakallimin. Perdebatan bermula mengenai kemampuan akal mengetahui hukum Allah dalam ketiadaan Rasul. Asy’ariy: akal tidak memiliki akses untuk mengetahui hukum Allah tanpa Rasul. Mu’tazilah: Mungkin bagi akal untuk mengetahui. Lihat Wahbah  az-zuhailiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, cet. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr,1986) juz I, hal. 115
[15] Dr. Surajiyo, Ilmu Filsafat Sebuah Pengantar, cet. 3 (Jakarta: Bumi Aksara,) hal. 62
[16] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, cet. 4 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) hal. 116
[17] Aidil Susandi “Dasar-Dasar Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan”, makalah, Pps IAIN SU
[18] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan DalamSains, cet. 1 (Bandung:Mizan, 2001) hal. 1
[19] Q.S. Fushilat: 53
[20] Q.S. al-Alaq:1-5
[21] Lebih jelasnya lihat Budi Handrianto, Islamisasi Sains, cet. 1 (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2010) hal. 59, 61
[22] Ibid, hal. 50
[23] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, cet. 3 (Bandung:Pustaka Hidayah, 2001) hal. 68. Konsep ini merupakan hasil dari seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai” dilaksanakan oleh International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) di Stockholm pada September 1981. Seminar menghasilkan sepuluh kerangka nilai pengetahuan Islam, yaitu: Tauhid, khilafah, ‘ibadah, ‘ilm, halal, haram, ‘adl, zhulm, istishlah (kemaslahatan), dan dhiya (ceroboh)
[24] Ibid, hal. 71-72
[25] Dr. Surajiyo, Ilmu Filsafat Sebuah Pengantar, hal. 62
[26] Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal. 80
[27] Ibid, hal. 80-82
[28] Ibid, hal 82-83
[29] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, hal. 73-76
[30] Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal. 131
[31] Ibid, hal. 29
[32] Ibid, hal. 131-132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About