Epistemologi Islam | Islam
adalah agama yang banyak dikaji, bukan saja oleh pemeluknya tapi juga ditelaah
oleh orang-orang luar. Ini adalah satu bukti Islam merupakan agama yang
dinamis. Ini dapat dimengerti karena agama ini bukan saja mengurus soal
pribadatan yang bersifat individual, namun dalam sejarahnya memberikan andil
dan sumbangsih terhadap peradaban umat manusia. Dari sekian banyak agama dan
kepercayaan-kepercayaan yang ada, Islam lebih dominan menghasilkan karya-karya
pengetahuan. Bersumber dari ajaran-ajaran yang dikandungnya, agama ini mampu
memberikan pandangan hidup unik, menyeluruh dan tak kenal batas. Penelaahan dan
kajian terhadapnya senantiasa berjalan dan tak kenal henti. Ribuan gagasan dan
ide muncul dari rahim agama satu ini.
Mengetahui
ajaran Islam adalah suatu keharusan mutlak, terlebih lagi bagi pemeluknya.
Kekeliruan-keliruan pandangan terhadap agama ini merupakan buah kejahilan akan
ajaran yang dikandungnya- selain faktor konflik sejarah bagi masyarakat
tertentu (baca: Barat).
Dalam
makalah ini penulis berusaha menelaah epistemologi Islam, mengkaji prinsip-prinsip dan sumber-sumber.pengetahuan dalam Islam.
Apa Itu
Islam?
Islam lahir
di sebuah negeri tandus. Sebuah kawasan yang tidak diperhitungkan dalam kancah
masyarakat internasional pada waktu itu. Bangsa Arab yang mendiami Jazira
Arabia merupakan masyarakat yang hidup bersuku-suku. Sosio-kultural Arabia menempah mereka menjadi masyarakat keras dan
nomadik. Tidak ada pemerintahan dan kepala negara yang mengatur tatanan
masyarakat. Masing-masing suku berkewajiban menjaga eksistensi sukunya
masing-masing.
Kehidupan
sosial bangsa Arab pra-islam memiliki sebuah postulat hukum “yang kuat memakan yang lemah”. Kekuatan dan kejantanan sesuatu yang dipuja dan
menjadi penentu dalam karir mereka. Moral dan etika berada dalam kemerosotan
yang luar biasa. Riba, khamar, main perempuan merupakan perbuatan yang
lazim dilakukan. Membunuh anak perempuan, sistem pernikahan yang menyimpang,
menambah daftar kekejian moral pada waktu itu.
Dalam
kondisi kemerosotan moral yang luar biasa seperti ini, hidup seorang pemuda
jujur yang dikenal masyarakat setempat dengan julukan ‘al amin’.[1]
Pemuda itu adalah Muhammad bin Abdullah[2],
seorang pemuda yang melewati masa kecil sebagai yatim piatu dan pengembala[3].
Muhammad
merupakan sosok yang resah terhadap kemerosotan akhlak masyarakat sekitarnya.
Pada umur 40 tahun[4],
Muhammad mengalami peristiwa ‘ajaib’ di
gua Hira. Sebuah peristiwa yang mengubah peta sejarah dunia. Di tempat ini ia
menerima wahyu menandakan lahirnya sebuah agama baru bernama Islam.
Islam
adalah nama sebuah agama yang lahir dari wahyu. Penamaan ini bukan diambil dari
nama tempat seperti Nasrani, bukan pula dari nama tokoh penyebar ajaran
tersebut, tetapi diberikan langsung oleh Allah. Prinsip-prinsipnya telah turun
sempurna tanpa campur tangan manusia.[5]
Islam mengajarkan pada manusia untuk berserah
diri kepada Allah. Allah bukanlah Tuhan yang digambarkan sebagai Yahweh, bukan
tuhan Bapak, bukan Nirguna Brahman,
bukan Tao Te Ching, bukan En Soph, bukan pula Dharmakaya. Allah juga tidak sama
dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep “transedentalisme”.
Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa, dan Isa serta
nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi
Muhammad.[6]
Islam
ditopang dengan lima pilar (arkan ad-din). Kelima pilar itu: tauhid,
sholat, zakat, haji dan puasa. Agama ini dilengkapi dengan struktur keimanan
kepada Allah, malaikat, para nabi, kitab suci wahyu, hari akhir, dan takdir.[7]
Keseluruhan
ajaran-ajaran prinsip Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah. Nabi Muhammad
adalah otoritas tertinggi dalam menyampaikan dan menafsirkan kandungan ajaran
Islam tanpa kesalahan dan kekeliruan.
Kemudian Islam
dipahami dengan akal dan intuisi manusia. Ia berkembang menjadi sebuah
peradaban yang memiliki struktur konsep yang kokoh dan universal. Islam
membekali manusia dengan seperangkat ritus peribadatan dengan hukum-hukumnya
yang vital mengenai konsep Tuhan, kehidupan manusia, alam semesta dan sekaligus
peradaban (madaniyyah)[8].
Islam
adalah agama sekaligus peradaban. Artinya tidak mencerai-beraikan antara ritus
ibadah dan perilaku sosial. Konsepnya padu dan menyatu (tauhidiy), bukan
terkotak-kotak, ‘berikan kepada Tuhan apa yang menjadi
haknya, dan berikan kepada kaisar apa yang menjadi haknya’ seperti konsep sekuler. Bagi Islam semuanya menuju
kepada Yang Tunggal.
Sebagai
agama terakhir, ia menjadi ajaran yang menasikh ajaran-ajaran terdahulu.
Surat Nabi mengajak Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia
untuk masuk Islam menandakan hanya Islam satu-satunya jalan keselamatan.[9]
Misi Nabi adalah untuk menyelamatkan manusia menuju kebenaran hakiki. Namun
meski demikian, manusia diberi kebebasan untuk memilih agamanya dan
bertanggungjawab atas pilihan masing-masing.[10]
Dalam Islam
konsep iman tidak dapat dipisahkan dari amal dan berkaitan erat dengan ilmu.
Iman, amal dan ilmu tidak berdiri sendiri di ruangnya masing-masing. Ketiganya
saling berkaitan, terikat dan menyatu. Pemisahanya di antaranya merupakah suatu
kecacatan.
Islam
ajaran kekal, menerima perkembangan dinamika manusia sekaligus tetap berpijak
pada pondasi tetap dan tidak menerima perubahan. Tsawabit (tetap) dan mutaghayyirat
(dinamis) adalah dua hal yang sama-sama diakui.
Keseluruhan
bangunan Islam melahirkan sebuah pandangan hidup (worlview) yang integral, dan universal. Islam tidak menerima
dualisme berfikir, parsial dan terkotak-kotak. Meski secara ontologis mengakui
realitas dunia-akhirat, materi-nonmateri, fisik-metafisik, namun epistemologi Islam
menolak pandangan dualistik-dikotomis.
Sumber-Sumber Pengetahuan
Secara
garis besar, sumber pengetahuan ada dua, yaitu wahyu dan alam. Adapun akal,
panca indra, common sense, dan lainnya lebih tepat di sebut sebagai alat
untuk memahami dan menangkap kebenaran. Posisinya sebagai radar yang menangkap
gelombang-gelombang pengetahuan yang dipancarkan dari kedua sumber tersebut.
Wahyu
disebut sebagai ayat tertulis, sementara alam sebagai ayat-ayat yang tidak
tertulis. Sebagai sumber pengetahuan, wahyu mesti orisinil dari Allah dan tidak
boleh mengalami pelencengan dan perubahan. Umat Islam dapat berbangga dengan
kitab sucinya Alquran yang tidak mengalami perubahan sebagaimana yang terjadi
pada umat-umat terdahulu.[11]
Posisi
Alquran dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan dapat dilihat dari informasi,
seruan, motivasi dan tuntutan yang disampaikan. Kebenaran itu dapat diteliti
baik mengandalkan kajian empiris dan normatif. Memang, dalam beberapa kasus ada
hal-hal yang belum terpecahkan.
Alam adalah
ayat yang tidak tertulis. Ia merupakan tanda-tanda bagi kebenaran. Kebenaran
apa? Kebenaran adanya kekuatan luar yang mengontrol hidup manusia. Alam beserta
dinamika di dalamnya merupakan proses dinamis untuk memperlihatkan keagungan Allah
swt. Alam dijadikan tempat persemaian sekaligus menguji keimanan.
Dengan
pandangan bahwa alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah [12],
manusia diminta untuk tidak pongah, dan serakah serta tunduk kepada pengendali
alam. Bumi, air dan isinya dimanfaatkan untuk kemakmuran bersama manusia, bukan
untuk dieksploitasi besar-besaran yang berakibat malapetaka bagi manusi
sendiri.[13]
.
Agar dua
sumber pengetahuan ini (wahyu dan alam) dapat melahirkan pengetahuan, manusia
diberi akal, panca indera, intuisi dan lain-lain. Akal yang bagaimana mampu
melahirkan kebenaran? Yaitu akal yang dibimbing oleh wahyu. Akal tidak dapat
dibiarkan berjalan tanpa bimbingan. Meski akal mampu menemukan kebenaran, tapi
tak jarang pulang menemui kebuntuan, karena sifatnya yang terbatas.[14]
Keterbatasan bukan bentuk perendahan terhadap potensi akal manusia, tapi sebuah
pengakuan hormat atas daya jelajahnya.
Dari proses
akali, mucul berbagai metode: Metode Kritis, Intuitif, Skolastik, Geometris,
Empiris, Transedental, Fenomenologis, Dialektis, Neo-Positivistif, Analitika
Bahasa,[15]
Sementara dalam
kajian wahyu (teks agama), Ibn Rusyd menawarkan tiga metode pembuktian
kebenaran konsep: (1) Metode Retorika (al-khitabiyyah), (2) Metode
Dialektik (al-jadaliyyah), dan (3) Metode Demonstratif (burhaniyyah).
Metode retorik dan dialektik diperuntukkan untuk orang awam, sedangkan metode
demonstratif untuk konsumsi sebagian kecil manusia.[16]
Bagaimana
Mempelajari Islam ?
Alquran dan
Sunnah merupakan sumber ajaran Islam. Mengetahui Islam berarti harus memahami
kandungan dua sumber primer tersebut. Untuk mengkajinya, Islam memiliki disiplin-disiplin
ilmu tersendiri sebut saja misalnya Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumul Hadis,
Tasawuf, Falsafah Islam dan sebagainya.
Penguasaan
bahasa Arab merupakan syarat mutlak untuk mengkaji Alquran dan Sunnah secara
mendalam. Kemampuan kebahasaan akan memudahkan pemahaman terhadap kandungan dan
makna ayat-ayat. Mesti sumber-sumber sekunder mengenai Islam bertebaran,
kemampuan kebahasaan tetap mutlak diperlukan. Tidaklah benar seruan yang
mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam tidak perlu penguasaan bahasa Arab.
Ini adalah suatu pendangkalan metode terhadap kajian keislaman dan
kajian-kajian literatur lainnya. Pandangan ini tidak dapat diterima.
Selain itu,
kajian sejarah dapat membantu melihat Islam sebagai agama yang pantas untuk
manusia. Sejarah memperlihatkan, Islam mampu membangun sebuah peradaban yang
penuh pengetahuan dan moral serta contoh bagi keberagaman agama.
Mendapatkan
bangunan konsep Islam secara utuh perlu penelitian intens dan kerja keras.
Perlu metode dan penguasaan terhadap multidisiplin ilmu. Secara menyeluruh
konsep Islam mengenai Tuhan, Alam dan manusia bermuara pada nilai-nilai tauhid.
Nilai-nilai tauhid ini perlu dikembangkan, bukan saja mengenai ketuhanan tapi
juga dalam bidang ilmu pengetahuan.
Peran
dan Fungsi Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah
elemen penting bagi manusia. Dengan itu seseorang dapat berpikir dan menemukan
kebenaran. Persoalan ilmu bukan persoalan main-main. Karen ilmu yang salah akan
menghasilkan guru, dosen, ilmuwan, ulama, pemimpin yang salah dalam berfikir,
mengajar, mengeluarkan kebijakan, dan fatwa. Perlu di ingat, kita pernah
mengalami dua kali Perang Dunia yang menelan jutaan jiwa, sekaligus kita
dibayang-bayangi pecahnya Perang Dunia III. Belum lagi kerusakan ekosistem, pemanasan
global, penindasan ekonomi, kelaparan dan permasalahan lain-lainnya. Meski ilmu
pengetahuan menyumbangkan kemajuan yang luar biasa, namun ilmu pengetahuan juga
menjadi ‘kutukan’ bagi manusia. Apa yang salah dari ilmu pengetahuan? Yang keliru adalah konsep yang mendasari bangunan ilmu itu sendiri.
Mengkaji
konsep ilmu bukan mengkaji bentuk benda (teknologi) yang dilahirkan oleh ilmu.
Tapi membahas tentang motivasi, asas, teori, konsep dan filsafat yang
melahirkan ilmu. Kita tidak mengkaji tentang nuklir itu haram atau tidak, namun
apa alasannya nuklir bisa tercipta?
Bukan salah atau benarnya teori evolusi Darwin, tapi asumsi dan praduga yang melatar
belakangi timbulnya teori tersebut. Pendeknya, kita tidak membahas kulit luar
tapi masuk jauh ke dalam ‘sum-sum’ ilmu pengetahuan.
Kita mencoba melihat konsep-konsep ilmu lebih dekat.
Sebagai
agama pembawa kebenaran, Islam memiliki konsep tersendiri mengenai pengetahuan.
Alquran
memberikan motivasi kuat bagi kaum muslim untuk menelaah dan mengkaji ilmu. Sejarah
telah membuktikan keuletan dan ketekunan intelektual muslim dalam eksplorasi
pengetahuan.[17]
Tidak ada dikotomi ilmu syari’at dan ilmu alam, ilmu apa saja
yang dapat membawa manusia menuju Tuhan adalah terpuji dan memperolehnya adalah
sebentuk ibadah.[18]
Selain
motivasi, Islam juga memberi arahan dan tuntunan jelas untuk aktifitas
pengembaran intelektual. Alquran adalah sumber inpirasi mulia ilmu pengetahuan.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?[19]
Konsep ilmu
dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari dimensi ilahiyah. Perintah bacalah (iqra’) dikaitkan dengan aspek ketuhanan (bismi rabbika)[20].
Eksplorasi alam disandingkan dengan usaha mencari tanda-tanda kebesaran Allah.
Pandangannya mengenai ilmu integral antara realitas fisik dan metafisik.
Ilmu dalam
Islam tidak terkotak dalam ruang lingkup empiris-indrawi semata, tapi juga
menyangkut kebenaran metafisik. Bahkan hal-hal metafisik bagi ilmuwan Islam
masa lampau terlihat lebih “rill”
dibanding objek fisik. Bahkan mereka telah menyusun hirarki wujud (martabah
al-maujudad) dimulai dari unsur-unsur metafisik menuju fisik. sebagaimana
yang disusun oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina.[21]
Tepat kiranya, defenisi yang
diberikan Ibn Taimiyah mengenai ilmu, sebagaimana dikutip oleh Budi Handrianto:
“Inna al-‘ilma ma qoma ‘alaihi ad-dalil wa an-nafi’ minhu ma ja a bihi ar-Rasul fasya’nu fi an naqula ‘ilman wa huwa an-naqlu al-mushaddaq
wa al-bahtsu al-muhaqqaq”[22]
Sesungguhnya
ilmu itu sesuatu yang bersandar pada dalil, dan bermanfaat darinya adalah
sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw. maka kita dapat mengatakan bahwa ilmu
itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat.
Ilmu dalam
Islam bersifat universal, tidak sempit dan dikotomis. Inti konsepnya adalah Tauhid,
khilafah, dan Ibadah.Tujuaannya menciptakan keadilan dan kemaslahatan, jauh
dari kezaliman dan kecerobohan.[23]
Landasan
keimanan dalam penelaahan keilmuan dalam konsep ilmu Islam membuat aktifitas
intelektual menjadi bertanggungjawab, dan diproyeksikan menggapai ridha Allah. Seorang
ilmuwan harus bisa memainkan peran sosial ilmu untuk melayani masyarakat dan
secara bersamaan meningkatkan moral dan etika.[24]
Tidak ada
pertentangan antara konsep ilmu Islam dengan mentode ilmiah empiris untuk
mengkaji fenomena alam. Pertentangan timbul ketika nilai-nilai metafisik
disingkirkan.
Metode
empiris layaknya satu dinding kebenaran dari dinding-dinding rumah kebenaran.
Pembatasan metode terhadap ‘dinding-dinding’ yang lain merupakan malapetaka bagi keutuhan ‘rumah’ Kebenaran.
Perbedaan
konsep ilmu Islam dan Barat
Konsep Ilmu
dalam Islam berbeda dengan konsep keilmuan Barat. Perbedaan terjadi disebabkan
latarbelakang sejarah yang berbeda-beda di masing-masing dua kutub ini. Barat memandang bahwa hanya cara rasional-empiris
saja yang layak menentukan sebuah kebenaran.[25]
Artinya, kebenaran harus dapat diverifikasi secara indrawi.
Konsep ilmu
Barat yang berlandasan rasio, bermula dari postulat Filosof Barat Rene
Descartes (m. 1650). Ia menyatakan ‘cogito
ergo sum’ “aku
berfikir maka aku ada”. Filosof yang dijuluki Bapak
Filsafat Modern ini, tidak saja mengukur kebenaran dengan rasio saja, tapi
menyatakan bahwa eksistensi seseorang hanya mereka yang menggunakan rasio
sebagai asas tingkah laku. Pernyataan Descartes kemudian dikembangkan oleh
Filosof Barat lainnya dan melahirkan ilmu pengetahuan yang berdasarkan rasio
dan panca indra semata. [26]
Dalam
perjalanannya, ide ini menguatkan peranan akal dan menyingkirkan wahyu dan
melahirkan sekularistik, lalu menjelma menjadi ateistik ilmu pengetahuan. Tentu
paham ateisme dalam pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh luas
Charles Robert Darwin (m. 1882) dengan bukunya yang terkenal, The Origin of
Species (asal usul spesies). Teori evolusi Darwin ini mengisaratkat bahwa Tuhan tidak
berperan dalam penciptaan. Makhluk hidup dapat bertahan hidup karena adaptasi
lingkungan. Hanya yang mampu beradaptasi yang mampu bertahan di muka bumi. [27]
Paham ateis
kemudian menjalar pada bidang sosiologi dengan tokohnya Auguste Comte. Sosiolog
yang dijuluki Barat sebagai Bapak Sosiologi itu memandang, bahwa kepercayaan
kepada agama adalah bentuk keberlakangan masyarakat. Tidak sampai di sini, bidang
psikologi lalu ikut-ikutan menjadi ateis dengan teori psikoanalisinya Sigmund
Freud. Masih belum ekstrim, lantas Friedrich Nietzche (1844-1900) melalui
filsafatnya mengumandangkan “God is dead”, dan diamini oleh Jacque Derrida pada abad 20 dengan
semboyan senada, “The author is dead”.[28]
Agar jelas
perbedaan antara konsep keilmuan Barat dan Islam, Nasim Butt mengklasifikasi
sebagai berikut:[29]
Konsep
Ilmu Barat
|
Konsep
Ilmu Islam
|
1.
Percaya pada rasionalitas
2.
Ilmu untuk ilmu
3.
Satu-satunya metode untuk mengetahui realitas
4.
Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci
menggapai rasionalitas
5.
Tidak memihak
6.
Tidak adanya bias
7.
Penggantungan pendapat
8.
Reduksionisme
9.
fragmentasi
10. Universalisme
11.
Individualisme
12. Netralitas (free-value)
13. loyalitas
kelompok
14. kebebasan absolut
15.
Tujuan membenarkan sarana
|
1.
Percaya pada wahyu
2.
Ilmu sarana mencapai ridha Allah
3.
Banyak metode berlandasan akal dan wahyu
4.
Komitmen emosional mengangkat spiritual dan sosial
5.
Pemihakan pada kebenaran
6.
Adanya subjektifitas
7.
Menguji pendapat
8.
Sintesis
9.
Holistik
10. Universalisme
11.
Orientasi masyarakat
12. Orientasi
nilai
13. Loyalitas
pada Tuhan dan makluk
14. Nilai etika
dan moral
15.
Tujuan tidak membenarkan sarana
|
Ilmu yang
berkembang di dunia barat, menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, disebabkan
hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Keraguan dan dugaan diangkat ketahap
metodologi ilmiah, serta menjadikan keraguan itu sebagai alat epistemologi yang
sah dalam pengetahuan. Hasilnya menciptakan krisis ilmu berkepanjangan.[30]
Meski memberi teknologi yang bermanfaat untuk kemajuan manusia, Ilmu Barat
turut menciptakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa.[31]
Memang
terdapat sejumlah persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern,
khususnya menyangkut metode ilmu, nalar-empiris, kombinasi realisme, idealisme
dan pragmatisme sebagai fondasi filsafat sains. Namun terdapat sejumlah
perbedaan mendasar dalam pandangan hidup mengenai Realitas akhir.[32]
Penutup
Islam adalah anugerah terbesar bagi kehidupan manusia.
Sebuah jalan kebenaran yang memiliki pandangan serba mencakup, tidak sempit,
parsial, lokal dan dikotomik. Konsep keilmuannya integral tidak membedakan
fisika dan metafisika, tidak membatasi diri pada metode rasional empiris
semata.
Konsep
keilmuan Barat yang disebarkan ke seantaro dunia, merupakan tragedi besar bagi
sejarah manusia. Umat Islam wajib terlibat aktif mengerahkan kemampuan dan
usaha yang tak kenal lelah untuk mengurai, mengkritisi dan memberikan solusi
keilmuan. Tidak hanya ekonomi islam, politik dan psikologi, bidang-bidang
keilmuan lainnya mesti‘di-islam-kan’ juga. Islamisasi
pengetahuan bukan perkara mudah. Selain mendalami disiplin keilmuan Islam, juga
harus mengerti disiplin ilmu yang akan dibagun dengan konsep-konsep islam.
[1]
Adz Zahabiy, Tarikh al Islam, cet. 1 (Beirut:Dar al Kitab al Arabiy,
1989) juz 2, hal. 67
[2]
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Ghiza: Dal al -Hajr, 1997) juz
3, hal. 354
[3]
Ibn Saad, Thobaqat al Kabir, cet. 1 (Kairo: Maktabah al Khanjiy, 2001)
juz 1, hal 79-80, 94-95, 103
[4] Ibid,
164
[5]
Q.S. al-Maidah: 3
[6]
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi “Aslim Taslam” makalah, dalam www.insistnet.com
[7] Shahih
al Muslim hadis ke-1
[8]
Lebih jelasnya lihat Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi “Pandangan Hidup dan Tradisi
Intelektual Islam”, makalah< dalam www.insistnet.com
[9] Op.cit.
[10]
Lihat Q.S. al-Kafirun
[11]
Q.S. al-Hijr: 9
[12]
Lihat Q.S.Fushilat: 53
[13]
Lihat Q.S. ar-Rum: 41
[14]
Persoalan akal tanpa bimbingan wahyu menjadi perbincangan sengit dikalangan
mutakallimin. Perdebatan bermula mengenai kemampuan akal mengetahui hukum Allah
dalam ketiadaan Rasul. Asy’ariy: akal tidak memiliki akses untuk mengetahui
hukum Allah tanpa Rasul. Mu’tazilah: Mungkin bagi akal untuk mengetahui. Lihat
Wahbah az-zuhailiy, Ushul Fiqh
al-Islamiy, cet. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr,1986) juz I, hal. 115
[15]
Dr. Surajiyo, Ilmu Filsafat Sebuah Pengantar, cet. 3 (Jakarta: Bumi Aksara,) hal. 62
[16]
Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, cet. 4 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) hal. 116
[17]
Aidil Susandi “Dasar-Dasar Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan”, makalah,
Pps IAIN SU
[18]
Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan DalamSains, cet. 1 (Bandung:Mizan, 2001) hal.
1
[19]
Q.S. Fushilat: 53
[20]
Q.S. al-Alaq:1-5
[21]
Lebih jelasnya lihat Budi Handrianto, Islamisasi Sains, cet. 1 (Jakarta
Timur: Pustaka al-Kautsar, 2010) hal. 59, 61
[22] Ibid,
hal. 50
[23]
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, cet. 3 (Bandung:Pustaka Hidayah, 2001) hal. 68.
Konsep ini merupakan hasil dari seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai”
dilaksanakan oleh International Federation of Institutes of Advance Study
(IFIAS) di Stockholm pada September 1981. Seminar menghasilkan sepuluh
kerangka nilai pengetahuan Islam, yaitu: Tauhid, khilafah, ‘ibadah, ‘ilm,
halal, haram, ‘adl, zhulm, istishlah (kemaslahatan), dan dhiya (ceroboh)
[24] Ibid,
hal. 71-72
[25]
Dr. Surajiyo, Ilmu Filsafat Sebuah Pengantar, hal. 62
[26]
Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal. 80
[27] Ibid,
hal. 80-82
[28] Ibid,
hal 82-83
[29]
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, hal. 73-76
[30]
Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal. 131
[31] Ibid,
hal. 29
[32] Ibid,
hal. 131-132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar