Kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ “Sesuatu yang dilarang
memanfaatkannya, maka dilarang pula memilikinya”. Kaidah ini diawali dengan
huruf “ ما” yang merupakan ism
mausul. Menunjukkan bahwa hal yang disifati tergolong pada sesuatu yang
umum (nakirah mausuf). Biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat
kebendaan atau yang bukan manusia (li ghair al-‘aqil), meskipun
terkadang digunakan untuk manusia (li al-‘aqil).[1] Dalam
hal ini, maka objek hukum kaidah yang dimaksud adalah ditujukan pada benda apa
saja.
Berikutnya kata
“
حرم” adalah fi’il madhi bina ma’lum dengan
timbangan فعل
yang artinya terlarang. Secara bahasa kata haram digunakan untuk
melarang seseorang agar tidak melakukan sesuatu.[2]
Sedangkan menurut istilah adalah tuntutan Syari’ (Allah) kepada mukallaf
untuk menahan satu perbuatan (tidak melakukannya), dengan tuntutan yang keras.[3] Dan
sebagai konsekuensinya bagi orang yang mengerjakannya maka ia berdosa dan bagi
yang meniggalkannya maka ia berpahala.
Kata “ إستعماله” adalah fail dari fi’il madhi
mazid dengan tiga huruf dari kata عمل (mengerjakan). Setelah
ditambahkan ا- س- ت maka artinya
mempekerjakan, memanfaatkan atau menggunakan.
Adapun kata “ إتخاذه” adalah fail dari fiil mazid dengan dua huruf,
dari kata أخذ (mengambil). Setelah penambahan ا – ت maka menjadi إإتخذ yang kemudian
menggabungkan (idgham) dua hamzah tersebut dan menggantikannya (ibdal)
dengan “ت” lalu dibaca إتخذ (mengambil dengan usaha).[4] Dalam
hal ini, kata إتخاذه berarti usaha untuk
memperoleh sesuatu untuk dimiliki.
Prof. H.A. Djazuli mengartikan kaidah ini
sebagai berikut: “Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”. Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya,
baik dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya.[5]
Jika kita cermati dari paparan di atas, dapat
dipahami bahwa setiap yang haram digunakan, maka usaha untuk memperolehnya juga
diharamkan. Ini konklusi logis dari keharaman sesuatu yang masih paralel
hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya dilakukan sepihak, sementara pihak lain
yang masih terkait dibolehkan begitu saja, maka tidak ada efek hukum yang
dihasilkan dari pelarangan tersebut. Dan ini termasuk kategori sadd
al-zarai’.
As-suyuti menyebutkan beberapa contoh kaidah
ما حرم إستعماله حرم إتخاذ ini:
Pertama: Haram hukumnya memiliki alat-alat yang
melalaikan.[6]
Hal ini dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk
musik ataupun permainan. Semua mazhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) sepakat untuk mengharamkannya.[7]
Kedua: Haram hukumnya memiliki bejana yang
terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik
untuk wadah makanan atau hiasan. Rasulullah saw bersabda: “ Janganlah kamu
meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan
makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya itu untuk
orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di
akhirat”.[8]
Ketiga: Haram hukumnya memelihara anjing yang
bukan digunakan untuk berburu. Atau memelihara babi. Hal ini diharamkan karena
binatang-binatang tersebut dilarang untuk dimakan.
Keempat: Haram hukumnya untuk semua orang
terlibat dalam urusan khamar. Karena dikhawatirkan akan meminumnya hingga jatuh
pada perbuatan haram. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmudzi disebutkan
bahwa ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar, yaitu: produsen,
distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan harga
hasilnya, pembeli dan pemesan.[9]
Kelima: Haram hukumnya menyimpan perhiasan
(emas) bagi laki-laki, begitu juga dengan sutra. Karena tidak boleh bagi
laki-laki mengenakan keduanya berdasarkan nas-nas hadis.
Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan di
atas bisa dipahami bahwa suatu hukum bersifat paralel dengan sebab yang
sebelumnya karena mengarah pada akibat yang akan muncul sesudahnya. Jika sebuah
akhir adalah haram, tentu mengharamkan permulaannya adalah langkah yang lebih
tepat sebagai bentuk pencegahan dini.
Oleh karena itulah, setiap benda yang haram
digunakan maka apapun cara memperolehnya, meski tergolong pada cara yang halal maka tetap dihukumkan
haram. Dan sebagai konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram maka
seluruh aktifitas yang berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan
atau diminum – kalau berupa makanan dan minumuan- semuanya juga haram.
[1] Mustafa al-galayayni,
Jami’ ad-durus al arabiyyah, (Beirut:
Maktabat al-asriyah, 2000), Vol 1, h. 140.
[2]
Lihat al Mu’jam al wasith yang diterbitkan oleh Majma’ al lughat al
arabiyyah Republik Arab Mesir.
[7]
Wahbah az-zuhaili, Fiqh al-islam wa adillatuhu, (Beirut: Dar al-fikr,
2003), h.2662-2667.
[8]
HR. Bukhori dan Muslim.
Kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ “Sesuatu yang dilarang
memanfaatkannya, maka dilarang pula memilikinya”. Kaidah ini diawali dengan
huruf “ ما” yang merupakan ism
mausul. Menunjukkan bahwa hal yang disifati tergolong pada sesuatu yang
umum (nakirah mausuf). Biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat
kebendaan atau yang bukan manusia (li ghair al-‘aqil), meskipun
terkadang digunakan untuk manusia (li al-‘aqil).[1] Dalam
hal ini, maka objek hukum kaidah yang dimaksud adalah ditujukan pada benda apa
saja.
Berikutnya kata
“
حرم” adalah fi’il madhi bina ma’lum dengan
timbangan فعل
yang artinya terlarang. Secara bahasa kata haram digunakan untuk
melarang seseorang agar tidak melakukan sesuatu.[2]
Sedangkan menurut istilah adalah tuntutan Syari’ (Allah) kepada mukallaf
untuk menahan satu perbuatan (tidak melakukannya), dengan tuntutan yang keras.[3] Dan
sebagai konsekuensinya bagi orang yang mengerjakannya maka ia berdosa dan bagi
yang meniggalkannya maka ia berpahala.
Kata “ إستعماله” adalah fail dari fi’il madhi
mazid dengan tiga huruf dari kata عمل (mengerjakan). Setelah
ditambahkan ا- س- ت maka artinya
mempekerjakan, memanfaatkan atau menggunakan.
Adapun kata “ إتخاذه” adalah fail dari fiil mazid dengan dua huruf,
dari kata أخذ (mengambil). Setelah penambahan ا – ت maka menjadi إإتخذ yang kemudian
menggabungkan (idgham) dua hamzah tersebut dan menggantikannya (ibdal)
dengan “ت” lalu dibaca إتخذ (mengambil dengan usaha).[4] Dalam
hal ini, kata إتخاذه berarti usaha untuk
memperoleh sesuatu untuk dimiliki.
Prof. H.A. Djazuli mengartikan kaidah ini
sebagai berikut: “Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”. Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya,
baik dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya.[5]
Jika kita cermati dari paparan di atas, dapat
dipahami bahwa setiap yang haram digunakan, maka usaha untuk memperolehnya juga
diharamkan. Ini konklusi logis dari keharaman sesuatu yang masih paralel
hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya dilakukan sepihak, sementara pihak lain
yang masih terkait dibolehkan begitu saja, maka tidak ada efek hukum yang
dihasilkan dari pelarangan tersebut. Dan ini termasuk kategori sadd
al-zarai’.
As-suyuti menyebutkan beberapa contoh kaidah
ما حرم إستعماله حرم إتخاذ ini:
Pertama: Haram hukumnya memiliki alat-alat yang
melalaikan.[6]
Hal ini dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk
musik ataupun permainan. Semua mazhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) sepakat untuk mengharamkannya.[7]
Kedua: Haram hukumnya memiliki bejana yang
terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik
untuk wadah makanan atau hiasan. Rasulullah saw bersabda: “ Janganlah kamu
meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan
makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya itu untuk
orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di
akhirat”.[8]
Ketiga: Haram hukumnya memelihara anjing yang
bukan digunakan untuk berburu. Atau memelihara babi. Hal ini diharamkan karena
binatang-binatang tersebut dilarang untuk dimakan.
Keempat: Haram hukumnya untuk semua orang
terlibat dalam urusan khamar. Karena dikhawatirkan akan meminumnya hingga jatuh
pada perbuatan haram. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmudzi disebutkan
bahwa ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar, yaitu: produsen,
distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan harga
hasilnya, pembeli dan pemesan.[9]
Kelima: Haram hukumnya menyimpan perhiasan
(emas) bagi laki-laki, begitu juga dengan sutra. Karena tidak boleh bagi
laki-laki mengenakan keduanya berdasarkan nas-nas hadis.
Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan di
atas bisa dipahami bahwa suatu hukum bersifat paralel dengan sebab yang
sebelumnya karena mengarah pada akibat yang akan muncul sesudahnya. Jika sebuah
akhir adalah haram, tentu mengharamkan permulaannya adalah langkah yang lebih
tepat sebagai bentuk pencegahan dini.
Oleh karena itulah, setiap benda yang haram
digunakan maka apapun cara memperolehnya, meski tergolong pada cara yang halal maka tetap dihukumkan
haram. Dan sebagai konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram maka
seluruh aktifitas yang berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan
atau diminum – kalau berupa makanan dan minumuan- semuanya juga haram.
[1] Mustafa al-galayayni,
Jami’ ad-durus al arabiyyah, (Beirut:
Maktabat al-asriyah, 2000), Vol 1, h. 140.
[2]
Lihat al Mu’jam al wasith yang diterbitkan oleh Majma’ al lughat al
arabiyyah Republik Arab Mesir.
[7]
Wahbah az-zuhaili, Fiqh al-islam wa adillatuhu, (Beirut: Dar al-fikr,
2003), h.2662-2667.
[8]
HR. Bukhori dan Muslim.
ini nama penulisnya siapa ya ?
BalasHapusiya
BalasHapus