Kamis, 18 April 2013

Kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ

Kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ “Sesuatu yang dilarang memanfaatkannya, maka dilarang pula memilikinya”. Kaidah ini diawali dengan huruf “  ما” yang merupakan ism mausul. Menunjukkan bahwa hal yang disifati tergolong pada sesuatu yang umum (nakirah mausuf). Biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat kebendaan atau yang bukan manusia (li ghair al-‘aqil), meskipun terkadang digunakan untuk manusia (li al-‘aqil).[1] Dalam hal ini, maka objek hukum kaidah yang dimaksud adalah ditujukan pada benda apa saja.

 
Berikutnya kata  حرم  adalah fi’il madhi bina ma’lum dengan timbangan فعل  yang artinya terlarang. Secara bahasa kata haram digunakan untuk melarang seseorang agar tidak melakukan sesuatu.[2] Sedangkan menurut istilah adalah tuntutan Syari’ (Allah) kepada mukallaf untuk menahan satu perbuatan (tidak melakukannya), dengan tuntutan yang keras.[3] Dan sebagai konsekuensinya bagi orang yang mengerjakannya maka ia berdosa dan bagi yang meniggalkannya maka ia berpahala.

Kata “ إستعماله” adalah fail dari fi’il madhi mazid dengan tiga huruf dari kata عمل (mengerjakan). Setelah ditambahkan ا- س- ت maka artinya mempekerjakan, memanfaatkan atau menggunakan.
Adapun kata “ إتخاذه” adalah fail dari fiil mazid dengan dua huruf, dari kata أخذ  (mengambil). Setelah penambahan ا – ت maka menjadi إإتخذ yang kemudian menggabungkan (idgham) dua hamzah tersebut dan menggantikannya (ibdal) dengan “ت” lalu dibaca إتخذ (mengambil dengan usaha).[4] Dalam hal ini, kata إتخاذه berarti usaha untuk memperoleh sesuatu untuk dimiliki.
Prof. H.A. Djazuli mengartikan kaidah ini sebagai berikut: “Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”.  Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya, baik dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya.[5]

Jika kita cermati dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa setiap yang haram digunakan, maka usaha untuk memperolehnya juga diharamkan. Ini konklusi logis dari keharaman sesuatu yang masih paralel hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya dilakukan sepihak, sementara pihak lain yang masih terkait dibolehkan begitu saja, maka tidak ada efek hukum yang dihasilkan dari pelarangan tersebut. Dan ini termasuk kategori sadd al-zarai’.
As-suyuti menyebutkan beberapa contoh kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ ini:
Pertama: Haram hukumnya memiliki alat-alat yang melalaikan.[6] Hal ini dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk musik ataupun permainan. Semua  mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) sepakat untuk mengharamkannya.[7]

Kedua: Haram hukumnya memiliki bejana yang terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik untuk wadah makanan atau hiasan. Rasulullah saw bersabda: “ Janganlah kamu meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya itu untuk orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di akhirat”.[8]

Ketiga: Haram hukumnya memelihara anjing yang bukan digunakan untuk berburu. Atau memelihara babi. Hal ini diharamkan karena binatang-binatang tersebut dilarang untuk dimakan.

Keempat: Haram hukumnya untuk semua orang terlibat dalam urusan khamar. Karena dikhawatirkan akan meminumnya hingga jatuh pada perbuatan haram. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmudzi disebutkan bahwa ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar, yaitu: produsen, distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan harga hasilnya, pembeli dan pemesan.[9]

Kelima: Haram hukumnya menyimpan perhiasan (emas) bagi laki-laki, begitu juga dengan sutra. Karena tidak boleh bagi laki-laki mengenakan keduanya berdasarkan nas-nas hadis.
Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan di atas bisa dipahami bahwa suatu hukum bersifat paralel dengan sebab yang sebelumnya karena mengarah pada akibat yang akan muncul sesudahnya. Jika sebuah akhir adalah haram, tentu mengharamkan permulaannya adalah langkah yang lebih tepat sebagai bentuk pencegahan dini.
Oleh karena itulah, setiap benda yang haram digunakan maka apapun cara memperolehnya, meski tergolong  pada cara yang halal maka tetap dihukumkan haram. Dan sebagai konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram maka seluruh aktifitas yang berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan atau diminum – kalau berupa makanan dan minumuan- semuanya juga haram. 




[1] Mustafa al-galayayni, Jami’ ad-durus al arabiyyah, (Beirut: Maktabat al-asriyah, 2000), Vol 1, h. 140.
[2] Lihat al Mu’jam al wasith yang diterbitkan oleh Majma’ al lughat al arabiyyah Republik Arab Mesir.
[3] المحرم هو ما طلب الشارع الكف عن فعله طلبا حتما (lihat : Usul Fiqh karangan Abdul Wahab Khalaf)
[4] Ibn Manzur, Lisan al-arab, (Kairo: Dar al-hadis, 2003), vol 1, h. 93.
[5] H.A. Dzajuli, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.96.
[6] As-Suyuti., Op.cit., h. 193
[7] Wahbah az-zuhaili, Fiqh al-islam wa adillatuhu, (Beirut: Dar al-fikr, 2003), h.2662-2667.
[8] HR. Bukhori dan Muslim.
Kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ “Sesuatu yang dilarang memanfaatkannya, maka dilarang pula memilikinya”. Kaidah ini diawali dengan huruf “  ما” yang merupakan ism mausul. Menunjukkan bahwa hal yang disifati tergolong pada sesuatu yang umum (nakirah mausuf). Biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat kebendaan atau yang bukan manusia (li ghair al-‘aqil), meskipun terkadang digunakan untuk manusia (li al-‘aqil).[1] Dalam hal ini, maka objek hukum kaidah yang dimaksud adalah ditujukan pada benda apa saja.
 
Berikutnya kata  حرم  adalah fi’il madhi bina ma’lum dengan timbangan فعل  yang artinya terlarang. Secara bahasa kata haram digunakan untuk melarang seseorang agar tidak melakukan sesuatu.[2] Sedangkan menurut istilah adalah tuntutan Syari’ (Allah) kepada mukallaf untuk menahan satu perbuatan (tidak melakukannya), dengan tuntutan yang keras.[3] Dan sebagai konsekuensinya bagi orang yang mengerjakannya maka ia berdosa dan bagi yang meniggalkannya maka ia berpahala.

Kata “ إستعماله” adalah fail dari fi’il madhi mazid dengan tiga huruf dari kata عمل (mengerjakan). Setelah ditambahkan ا- س- ت maka artinya mempekerjakan, memanfaatkan atau menggunakan.
Adapun kata “ إتخاذه” adalah fail dari fiil mazid dengan dua huruf, dari kata أخذ  (mengambil). Setelah penambahan ا – ت maka menjadi إإتخذ yang kemudian menggabungkan (idgham) dua hamzah tersebut dan menggantikannya (ibdal) dengan “ت” lalu dibaca إتخذ (mengambil dengan usaha).[4] Dalam hal ini, kata إتخاذه berarti usaha untuk memperoleh sesuatu untuk dimiliki.
Prof. H.A. Djazuli mengartikan kaidah ini sebagai berikut: “Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”.  Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya, baik dimakan, diminum, atau dipakai, maka haram pula mendapatkannya.[5]

Jika kita cermati dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa setiap yang haram digunakan, maka usaha untuk memperolehnya juga diharamkan. Ini konklusi logis dari keharaman sesuatu yang masih paralel hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya dilakukan sepihak, sementara pihak lain yang masih terkait dibolehkan begitu saja, maka tidak ada efek hukum yang dihasilkan dari pelarangan tersebut. Dan ini termasuk kategori sadd al-zarai’.
As-suyuti menyebutkan beberapa contoh kaidah ما حرم إستعماله حرم إتخاذ ini:
Pertama: Haram hukumnya memiliki alat-alat yang melalaikan.[6] Hal ini dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk musik ataupun permainan. Semua  mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) sepakat untuk mengharamkannya.[7]

Kedua: Haram hukumnya memiliki bejana yang terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik untuk wadah makanan atau hiasan. Rasulullah saw bersabda: “ Janganlah kamu meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya itu untuk orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di akhirat”.[8]

Ketiga: Haram hukumnya memelihara anjing yang bukan digunakan untuk berburu. Atau memelihara babi. Hal ini diharamkan karena binatang-binatang tersebut dilarang untuk dimakan.

Keempat: Haram hukumnya untuk semua orang terlibat dalam urusan khamar. Karena dikhawatirkan akan meminumnya hingga jatuh pada perbuatan haram. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmudzi disebutkan bahwa ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar, yaitu: produsen, distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan harga hasilnya, pembeli dan pemesan.[9]

Kelima: Haram hukumnya menyimpan perhiasan (emas) bagi laki-laki, begitu juga dengan sutra. Karena tidak boleh bagi laki-laki mengenakan keduanya berdasarkan nas-nas hadis.
Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan di atas bisa dipahami bahwa suatu hukum bersifat paralel dengan sebab yang sebelumnya karena mengarah pada akibat yang akan muncul sesudahnya. Jika sebuah akhir adalah haram, tentu mengharamkan permulaannya adalah langkah yang lebih tepat sebagai bentuk pencegahan dini.
Oleh karena itulah, setiap benda yang haram digunakan maka apapun cara memperolehnya, meski tergolong  pada cara yang halal maka tetap dihukumkan haram. Dan sebagai konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram maka seluruh aktifitas yang berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan atau diminum – kalau berupa makanan dan minumuan- semuanya juga haram. 




[1] Mustafa al-galayayni, Jami’ ad-durus al arabiyyah, (Beirut: Maktabat al-asriyah, 2000), Vol 1, h. 140.
[2] Lihat al Mu’jam al wasith yang diterbitkan oleh Majma’ al lughat al arabiyyah Republik Arab Mesir.
[3] المحرم هو ما طلب الشارع الكف عن فعله طلبا حتما (lihat : Usul Fiqh karangan Abdul Wahab Khalaf)
[4] Ibn Manzur, Lisan al-arab, (Kairo: Dar al-hadis, 2003), vol 1, h. 93.
[5] H.A. Dzajuli, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.96.
[6] As-Suyuti., Op.cit., h. 193
[7] Wahbah az-zuhaili, Fiqh al-islam wa adillatuhu, (Beirut: Dar al-fikr, 2003), h.2662-2667.
[8] HR. Bukhori dan Muslim.

2 komentar:

 

Blogger news

Blogroll

About